4 Alasan Kenapa Mahasiswa FEB Bukan Pasangan Ideal

mahasiswa FEB

4 Alasan Kenapa Mahasiswa FEB Bukan Pasangan Ideal

Biasanya, saya membaca tentang artikel perihal alasan kenapa mahasiswa dari jurusan tertentu merupakan pasangan yang ideal. Dan, bagi saya hal tersebut sangat biasa. Bukan tanpa sebab, upaya untuk meninggikan derajat diri sendiri itu hal yang mudah. Memuji diri sendiri itu hal yang gampang. Padahal, dalam hidup kita harus membiasakan diri untuk melihat dari dua atau lebih sudut pandang. Kalau ada yang lebih, pasti ada kurangnya. Kalau ada yang bagus, pasti ada buruknya.

Bagi saya, ini bukan sesuatu yang perlu disembunyikan. Karena, dengan mengetahui kekurangan dan kelemahan, kita bisa menjadikannya bahan evaluasi setelah bilas muka dan gosok gigi. Hasilnya, terjadilah keseimbangan hidup dan menyadari bahwa tidak ada yang benar-benar baik dan tidak ada yang benar-benar buruk. Apasi~

Agar tak terlalu ngelantur, baiknya langsung saja pada pembahasan. Tapi ini berbeda. Saya ingin menuliskan yang sebaliknya. Berhubung saya kuliah di FEB, maka yang menjadi objek utama adalah diri saya sendiri secara khusus dan diri mahasiswa FEB secara umum. Saya mohon izin untuk menjlentrehkan beberapa alasan mengapa mahasiswa Feb bukan merupakan pasangan ideal.

Alasan pertama, terlalu perhitungan

Mengenai alasan ini, semua yang kuliah di FEB, pasti dari awal semester hingga akhir diberikan mata kuliah yang tak jauh-jauh dari hal hitung-menghitung. Akuntansi selalu melakukan pencatatan terhadap kas, debit, kredit, dst. Ilmu Ekonomi selalu menghitung-hitung pendapatan negara secara makro, menghitung pertumbuhan ekonomi, proyeksi ekonomi suatu negara, dst. Begitupun dengan jurusan manajemen, seluruh mata kuliahnya pasti perihal laba-rugi suatu perusahaan, keuangan, menghitung apakah investasi untung atau buntung, menghitung apakah biaya yang dikeluarkan bisa lebih rendah dari yang didapatkan, menghitung apakah bisa memproduksi barang atau jasa dengan modal yang kalau bisa sedikit tapi dengan hasil yang banyak. Semuanya tak pernah lepas dari hitung-hitungan.

Namanya pendidikan, kan, tujuannya adalah membentuk pola pikir, karakter, dan sikap seseorang. Dan dari sini saya yakin, kalau mahasiswa FEB yang setiap harinya dijejali dengan hitung-menghitung maka, ia akan membawanya ke kehidupan sehari-hari termasuk dalam menjalani proses yang-yangan.

Kalau perhitungan apa yang salah? Loh, begini. Kalau sudah terbiasa hitung-menghitung, seluruh pengeluaran yang digunakan untuk membiayai pasangan bakalan dicatat dan disimpan dengan rapi. Biaya nonton, makan, minum, bensin, dst. bakal dibuatkan semacam tabel khusus. Nota-nota, faktur, dan bukti pembayaran lainnya akan selalu disimpan. Mengapa? Jika sewaktu-waktu putus, dia akan menunjukkan semua itu untuk diminta ganti rugi. Kalau kata Sujiwo Tejo, cinta itu sudah tidak lagi pakai hitung-hitungan. Kalau masih menghitung, itu namanya kalkulasi.

Menyoal masalah kalkulasi, coba tanyakan pada mahasiswa yang kuliah di FEB, apakah dia punya kalkulator atau tidak. Saya yakin, mayoritas dari mahasiswa FEB bakal menjawab punya. Dan ini menurut saya mengindikasikan bahwa hidupnya tak bakal jauh-jauh dari perhitungan. Semua akan dicatat dan semua akan ia simpan rapi.

Alasan kedua, punya mindset profit-oriented.

Kalau ini sudah tidak bisa ditolak lagi. Seluruh jurusan di FEB memberikan mata kuliah agar entah itu keuangan pribadi, perusahaan, atau negara sekalipun mengerjakan sesuatu yang sekiranya memiliki nilai keuntungan. Kalau saya di manajemen, ketika menempuh mata kuliah manajemen strategi, komponen utamanya adalah agar perusahaan memiliki competitive advantage dari perusahaan yang diolahnya. Dan ini tujuannya tidak lain dan tidak bukan agar perusahaan mampu menjadi perusahaan pilih tanding yang kalau bisa tetap tegak jika diterjang badai dan gelombang persaingan sebesar apapun.

Bagi saya, ini adalah poin alasan yang sangat berbahaya jika sampai terbawa dalam hal yang-yangan. Begini, dalam memilih pasangan, bisa jadi mahasiswa FEB yang punya mindset profit-oriented ini, akan memilih orang yang sekiranya membawanya pada hal-hal yang menguntungkan. Mungkin menguntungkan bisa didefinisikan sebagai hidup enak karena pasangan yang dipilih kaya, punya bisnis, dan berbagai pertimbangan menguntungkan lainnya. Ini baru dalam hal memilih pasangan. Tapi bagaimana jika sudah berpasangan? Wah, pola pikirnya bakal begini. “Gimana, ya, caranya dapat untung dari pasangan saya ini?”. Saya harap, jangan sampai ada yang berpikir, “Lebih baik dijual saja”. Astaghfirullah.

Alasan ketiga, kebanyakan pertimbangan.

Dua alasan di atas, adalah hal paling mendasar yang dimiliki oleh mahasiswa FEB. Dampaknya, ya, di alasan ketiga ini. Waktu saya belajar manajemen, biasanya disana sangat banyak metode, strategi, dan cara-cara yang dianggap ampuh dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Misalnya, bagaimana perusahaan yang incumbent tetap bertahan di arus disrupsi yang ngedap-edapi ini? Nah, caranya itu, nanti kita disuruh pilih. Mau pakai cara perusahaan A yang memilih untuk menyasar pasar yang lepas dari pandangan banyak perusahaan atau perusahaan B yang memilih untuk mengembangkan insan-insan yang ada di dalam organisasi agar memiliki karakter yang bergerak cepat dan responsif. Ketika sudah hampir memilih, ternyata ada opsi lain lagi, bahwa lebih baik meniru perusahaan C saja yang memilih untuk membeli satu platform usaha yang lebih kecil untuk kemudian digunakan dengan mengganti nama platform tersebut. Dah, intinya njlimet. Disuruh milih lama buangett dan punya pertimbangan seabrek.

Bayangkan jika jadi pasangan ketika ingin jalan-jalan. “Ini mau ke tempat A yang dekat sungai dan suasananya asri atau tempat B yang tempatnya classy, bersih, dan eyecathing? Atau kita pilih tempat C saja yang punya konsep sederhana, desain interiornya memakai konsep tradisional, dan tersedia makanan yang uueenak pol?” Ribet puool, kesuwen milih akhir e gak sido budal.

Alasan keempat, selalu menginginkan sesuatu yang baru.

Saya masih sangat ingat, kalau di FEB, seluruh upaya yang dilakukan itu harus selalu berbeda dan kalau bisa tidak seperti yang pada umumnya dilakukan. Atau sederhananya, selalu berinovasi. Nah, kalau inovasi ini, kan, intinya mencari-cari sesuatu yang baru agar entah itu perusahaan atau negara sekalipun punya value agar bisa pesaing keder ketika melihatnya. Di manajemen, seperti ada keharusan untuk selalu memperbaharui produk, layanan, dan dalam banyak lini lainnya. Kalau inovasi ini konteksnya yang-yangan bagaimana? Ya selalu cari yang baru, lah. Bosen yang ini, buang. Cari yang lebih fresh. Bosen lagi? Ya cari lagi.

Dari sini, apa ada yang mau mengatakan kalau anak FEB ini merupakan pasangan ideal? Saya harap, yang sekarang punya pasangan anak FEB dimohon lebih waspada lagi. Wkwk.

Wah, jadi panjang gini ya. Tapi harap diingat, ya. Walaupun saya sendiri ini mahasiswa FEB, saya tidak punya sifat-sifat di atas, loh. Untuk alasannya, bisa dilihat di tulisan saya yang judulnya ‘Bagi saya gelar S.E. bukan Sarjana Ekonomi, Tapi Sarjana Edan’. Di tulisan itu, saya rasa bisa jadi alasan kenapa saya tidak memiliki sifat-sifat di atas ini. Sekian~

BACA JUGA Habis Putus terus Ngeluh Udah Ngabisin Biaya Banyak buat Pacaran. Dipikir Cinta itu Investasi? dan tulisan Firdaus Al Faqi lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version