Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar nama Gunungkidul?
Kalau yang ada di kepala kalian adalah pulung gantung, gersang, dan suka kekeringan, tentu nggak salah. Hanya saja nggak sepenuhnya benar juga. Sebelum mengenal wilayah Gunungkidul secara utuh, sebaiknya nggak usah nyinyir soal kekeringan dan gersang melulu. Sebab, setiap wilayah di Bumi Handayani memiliki karakter tanah dan curah hujan yang berbeda-beda.
Kita tahu, Gunungkidul adalah kabupaten paling luas di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kalau mau diukur, tanah kelahiran saya ini memiliki luas wilayah 1.475,147 kilometer persegi. Bayangkan saja, luasnya sekitar 46,63 persen dari total luas di Yogyakarta. Nyaris separuh Bumi Mataram. Mendekati seperempat negara Maladewa, Bolo!
Dengan luas segitu besarnya, setiap wilayah di Gunungkidul tentu (sangat mungkin) memiliki karakteristik permukaan tanah atau bumi yang berbeda-beda. Untuk membedakan setiap wilayah itu, maka Bumi Handayani dibagi menjadi tiga zona, yaitu zona Batur Agung (bagian utara) Ledoksari (wilayah tengah), dan Gunung Sewu (sisi selatan).
Pembagian tiga wilayah di Gunungkidul, satu kabupaten tapi beda nasib
Saya coba jelaskan masing-masing zona dengan lirih dan mode pelan, ya. Begini, bagian utara atau biasa disebut pengembangan Batur Agung berada pada ketinggian dua ratus hingga tujuh ratus di atas permukaan laut. Wilayah ini memiliki lahan berbukit-bukit dan sumber air tanah. Zona Batur Agung sendiri meliputi Kapanewon Semin, Nglipar, Ngawen, Gedangsari, Ponjong bagian utara, dan Patuk.
Kalau saya pribadi kebetulan hidup dan bernapas di Kapanewon Semanu bagian utara, yang masuk zona Ledoksari. Kawasan ini memiliki ketinggian 150 hingga 200 meter di atas permukaan laut. Karakter tanah di wilayah ini terbentuk dari pelapukan batu kapur dan batuan sedimen yang biasa disebut mediteran merah. Selain Semanu bagian utara, zona tengah di Gunungkidul ini juga meliputi Kapanewon Wonosari, Playen, Karangmojo, dan Ponjong bagian tengah.
Sementara itu, pengembangan zona selatan atau yang disebut Gunung Sewu memiiki ketinggian 0-300 meter di atas permukaan laut. Wilayah ini terbentuk dari batuan kapur dengan ciri khas bukit-bukit kerucut. Sederhananya, zona selatan termasuk ke dalam kawasan karst yang memiliki banyak Sungai bawah tanah. Adapun kapanewon di Gunungkidul yang masuk zona selatan, yakni Rongkop, Saptosari, Girusubo, Semanu bagian selatan, Tepus, Panggang, dan Purwosari.
Nggak semua wilayah Gunungkidul itu rawan kekeringan
Dengan kondisi permukaan bumi yang berbeda-beda, tentu akan memengaruhi curah hujan, aliran air, dan pertanian. Artinya, meski masih satu kabupaten, nasib setiap wilayah di Gunungkidul nggak bisa disamaratakan. Yang mana zona utara atau Batur Agung, seperti Pathuk, Ngawen, dan Nglipar bagian utara cenderung cocok ditanami buah-buahan. Terbukti kawasan tersebut menjadi salah satu penghasil buah durian terbesar di DIY.
Sementara itu, zona tengah disebut-sebut sebagai kawasan yang cenderung lebih aman dari bencana kekeringan. Pasalnya, wilayah ini memiliki tipe tanah mediteran merah. Yang mana saat musim kemarau, zona ini masih terdapat air. Artinya, beberapa wilayah seperti tempat tinggal saya, Wonosari, dan Playen, amat sangat jarang kekurangan air bersih. Nggak percaya? Main ke sini tak gebyur banyu!
Apa yang terjadi di zona tengah, tentu cukup berbeda dengan wilayah selatan atau Gunung Sewu. Kawasan ini merupakan sentra pegunungan karst dan memiliki aliran sungai bawah tanah. Selain itu, di sini juga banyak ditemukan pantai pasir putih yang indah dan menakjubkan. Kondisi ini tentu nggak dimiliki zona tengah seperti Kota Wonosari.
Sayangnya, di zona selatan ini cukup rentan kekeringan. Beberapa kapanewon seperti Tepus, Rongkop, Panggang, Girisubo, Saptosari, dan Tanjungsari setiap musim kemarau datang, berpotensi besar kesulitan air bersih.
Stigma yang harus dihapuskan
Kesimpulannya adalah bahwa nggak semua wilayah di Gunungkidul itu rentan kekeringan. Kalau masih ada yang suka gebyah uyah atau menganggap kondisi di setiap kapanewon itu sama, berati belum memahami pembagian zona ini.
Jadi, buat yang suka nyinyir kalau Gunungkidul itu gersang lah, kekeringan lah, tanahnya nggak subur lah, mulai sekarang hentikan. Itu nggak relevan dan semakin nggak masuk akal. Sebab, setiap zona memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri.
“Tapi, kenapa ya setiap mendengar nama Gunungkidul yang ada di kepala itu gersang dan kekeringan?”
Untuk menutup sekaligus menjawab pertanyaan tersebut, saya akan mengutip fragmen novel berjudul Angin Kering Gunungkidul halaman 26 yang ditulis Agnes Yani Sardjono, seperti berikut:
“Itulah bentuk kejahatan dari yang namanya stigma masyarakat. Kalau masyarakat sudah terlanjur memberi cap atau stempel, sulit menghilangkannya. Mata mereka baru terbuka setelah ada bukti-bukti sejarah. Dan sekaranglah saatnya kabut sejarah yang berabad-abad mengungkung Bumi Gunungkidul dikuak. Dan Gunungkidul ternyata lebih hebat dibanding Yogya, hahaha…”
Penulis: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 3 Pantai di Gunungkidul yang Baiknya Dihindari Wisatawan karena Bikin Ketakutan.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
