Ada satu keseruan yang ternyata belum saya lakukan selama di kampung dan akhirnya saya coba setelah sampai di Jogja, yakni ngompreng truk di lampu merah. Apa mungkin karena lampu merah di Oku Timur sedikit dan akhirnya pengalaman ini belum sempat saya lakukan? Atau karena ejekan dan bujukan kawan baru di Jogja dapat membuat hati ini ingin memiliki pengalaman tersebut secara langsung?
Singkatnya, malam itu saya bersama dua kawan, Bowo dan Rossi, telah berdiri di lampu merah barat Stasiun Purwosari Solo. Lalu, Bowo yang paling berpengalaman, memberi instruksi beberapa tahap yang bisa dilakukan ketika hendak ngompreng truk di lampu merah.
Datangi sopir dan bicaralah secara sopan
Menurut Bowo, dengan cara ini para pengendara truk akan lebih hormat pada calon penumpang. Selain itu, paling tidak ketika ditolak mereka juga akan berkata dengan sopan santun. Sembari menunggu lampu merah menahan truk-truk yang kosong muatan, catatan-catatan pengalaman si Bowo pun, kalau tidak bisa disebut ceramah, berkeluaran dari selongsong tenggorokannya.
“Bro, tahap ini bisa diartikan sebagai cara negosiasi bangsa Timur. Maksudnya, bisa dikatakan kesopanan adalah cara yang paling beradab dan terhormat, terutama saat meminta untuk ikut ngompreng.”
Saya adalah keturunan ketiga dari keluarga Jawa yang bertransmigrasi ke Sumatera Selatan. Di tanah kelahiran saya, Oku Timur, nilai-nilai Jawa seperti kesopanan pada orang lain, masih dipegang teguh sebagian besar masyarakat kami. Oleh karena itu, saya tidak menentang yang dikatakan Bowo.
Selang beberapa waktu kemudian, ada dua truk kosong yang berdiri berdampingan. Si kawan menarik lengan saya dan berkata lirih, “Ayo, itu udah ada.”
“Pak, saget tumut ke arah Jogja?” tanya Bowo pada sopir, “Tiang telu.”
Si sopir tolah-toleh, seperti ingin mengizinkan. Akan tetapi, tampak tertahan aturan baru terkait kendaraan bak terbuka yang tak boleh muat orang. Sopir pun menjawab secara aman dan sopan, “Wah, ora nyampek Jogja, cuma di situ, lo, belok kiri, Mas.”
Bowo mengangguk dan bergegas menuju sopir truk lainnya. Sayang, sang sopir selanjutnya menjawab dengan lebih keras. Bowo pun hanya mengangguk lagi. Ketika berjalan menuju trotoar, ia berbisik, “Kita pakai tahap kedua.”
Datangi sopir dan gunakan bahasa jalanan
Tak sampai habis satu batang rokok, sekira tujuh menit, ada tiga truk tertahan lampu merah. Bowo pun langsung mengajak seperti sebelumnya, mendatangi sopir dan meminta izin. Hanya dalam tahap ini kesopanan sudah dibuang ke gorong-gorong.
“Arah Jogja, Bos? Melu, ya!” ucap Bowo.
“Ora, Mas. Aku arep turu neng pom!” jawab sopir truk.
“Nggak apa-apa wis, tak melu sampek pom.”
“Aku muat barang iki, Mas. Nggak isa ditumpangi.”
Bowo ngotot kayak ibu-ibu pembeli di pasar. Saya yang yakin akan ada lagi-lagi penolakan, memilih kembali ke trotoar, duduk di samping Rossi, dan tanpa aba-aba ia berkata: “Kalau era sekarang, tahap satu dan dua tak bisa berfungsi, Bro, langsung aja naik.”
Bowo melihat jam di handphone-nya, ia sudah mulai khawatir, garuk-garuk kepala, dan seperti tidak menyukai tahap ketiga. Prasangka itu baru saya ketahui ketika sudah naik truk beberapa menit lagi setelah tahap tiga yang tidak bakalan gagal. Bowo teriak kepada Rossi,
“Si, ayo siap-siap.”
Rossi berdiri, mengajak saya dengan anggukan, dan inilah tahap yang terakhir.
Langsung naik lewat belakang dan teriak, “Melu, Bos!”
Untuk tahap ini, Bowo akhirnya cerita, bahwa tahap ini tidaklah menarik. Bukan karena apa-apa, tapi karena pengendara truk tidak semuanya akan legowo dinaiki penumpang gelap. Belum lagi kalau ada polisi malam yang sangat mungkin mencegat di pos-pos ketika mengetahui ada orang di bak truk. Tapi, bagaimanapun, pengalaman ini harus segera saya rasakan.
“Kalau nggak hari ini, kapan lagi punya kesempatan.”
“Iya,” jawab saya sekadarnya pada Bowo.
“Wan,” sahut Rossi, “Bowo pernah jatuh dari truk karena naik sendirian, awal-awal belajar ngompreng dulu. Jadi ceritanya, Ia tak tahu jalan, sedangkan lima kawannya tak ada yang sempat naik truk. Malam itu naik dengan cara lari dan loncat ke bak truk yang melaju pelan-pelan ketika melewati rel kereta daerah Kertosono.”
Rossi sempat menoleh ke Bowo yang sedang berdiri, “Saking bingungnya Bowo sesudah naik truk, ia memberanikan untuk turun kembali dengan cara lompat ke jalan raya.”
“Kok bisa selamat?”
“Ia ingat kata-kata para kenek bus, dahulukan kaki kiri.”
Saya tidak sempat membayangkan bagaimana Bowo lompat dari truk. Yang penting, malam ini saya bisa merasakan pengalaman ngompreng truk dengan tiga tahap di atas. Sepanjang perjalanan kami diam di atas truk yang membawa kami dari Solo sampai Janti, Yogyakarta.
BACA JUGA Perihal Cinta Kita Nggak Ke Mana-mana, Masih di FTV Aja dan tulisan H.R. Nawawi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.