Jika kita membahas tempat-tempat bersejarah di Kediri, mungkin akan ada banyak tempat yang bisa disebutkan, misalnya Candi Surowono, Candi Tegowangi, Goa Selomangleng, Setono Gedong, dll. Hal itu tak lepas dari Kediri yang merupakan daerah cukup tua di Indonesia. Keberadaan Kediri sebagai daerah sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Ketika sekarang kita mengenal Mas Abu dan Mas Dhito sebagai pemimpin daerah Kediri, dulu ada Mas Jayabaya yang tak kalah kondang dari mereka. Jayabaya kemudian meninggalkan Sendang Tirto Kamandanu yang dianggap masyarakat sebagai tempat terakhir Jayabaya sebelum akhirnya moksa.
Pada masa selanjutnya, tercatat Islam masuk ke Kediri dengan meninggalkan jejak berupa kompleks pemakaman Setono Gedong. Pemakaman tersebut merupakan tempat Syekh Wasil, penyebar agama Islam di Kediri, dimakamkan. Setono Gedong berada di dekat Sungai Brantas yang merupakan jalur lalu lintas pada masa itu. Hingga kini, kompleks pemakaman tersebut masih ramai dikunjungi khususnya pada hari-hari tertentu seperti malam Jumat atau bulan Suro. Dalam kompleks juga ada makam-makam para pemimpin Kediri pada masa Mataraman dan beberapa pejabat daerah lainnya.
Kemudian pada masa pendudukan Belanda, Kediri menjadi daerah keresidenan yang membawahi beberapa daerah seperti Blitar, Trenggalek, Tulungagung, dan Nganjuk, sebelum akhirnya pecah menjadi pemerintahan yang independen seperti saat ini. Sebagai daerah yang pernah menjadi pusat keresidenan, tidak banyak orang yang tahu tentang peninggalan Belanda di Kediri. Tidak seperti kota-kota besar lainnya yang menjadikan bangunan peninggalan Belanda sebagai tempat wisata, peninggalan Belanda di Kediri hampir tidak terekspos sama sekali. Ada beberapa tempat yang merupakan peninggalan kolonial Belanda, namun tak banyak masyarakat yang tahu bahwa tempat tersebut memiliki nilai historis.
#1 Jembatan Lama
Jika Mas Abu meresmikan Jembatan Brawijaya pada tahun 2019, 150 tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1869, pemerintah juga pernah meresmikan sebuah jembatan bernama Brug Over den Brantas te Kediri. Jembatan yang kini dikenal sebagai Jembatan Lama dulunya merupakan satu-satunya akses penyeberangan dari Surabaya menuju Madiun dan sebaliknya.
Bahkan sampai tahun 2019 pun Jembatan Lama masih layak jadi tempat penyeberangan sebelum akhirnya ditutup saat pandemi. Dampak dari penutupan jembatan tersebut adalah jembatan jadi kurang terawat. Meski telah dilakukan seremonial peresmian sebagai benda cagar budaya pada tahun 2019 lalu, masyarakat masih memandang Jembatan Lama sekadar jembatan penyeberangan. Padahal jika masyarakat dan pemerintah lebih sadar akan nilai historis dan potensi wisata, Jembatan Lama mungkin bisa jadi daya tarik sebagai wisata edukasi dan jadi ikon Kota Kediri.
#2 Kawasan Pecinan di Timur Jembatan Lama
Tempat kedua yang menjadi peninggalan era kolonial dan tak diketahui banyak orang adalah kawasan pecinan yang berada di bagian timur Jembatan Lama. Kawasan pecinan merupakan perkampungan yang dikhususkan untuk orang-orang keturunan Tionghoa di Kediri pada masa kolonial. Tujuan didirikannya kawasan tersebut adalah untuk dapat mengontrol massa pada waktu itu.
Kawasan pecinan sangat luas mencakup area jalan raya menuju arah klenteng, utara Jembatan Lama, dan beberapa jalan kecil seperti Jalan Monginsidi dan Jalan Wahidin. Kawasan ini sebenarnya sangat potensial jadi kawasan wisata lantaran masih banyak bangunan lama khas era kolonial. Namun, kebanyakan bangunan tersebut tak terawat.
#3 Benteng Blokhuis
Belanda pernah mendirikan sebuah benteng di Kediri, tepatnya di sebelah utara Pasar Bandar. Sayangnya, tidak ada yang tahu pasti nama benteng tersebut. Tetapi, beberapa orang menyebutnya Benteng Blokhuis. Alih-alih jadi tempat wisata bernilai historis, saat ini Benteng Blokhuis dijadikan kantor Polres Kota Kediri.
Itulah beberapa bangunan peninggalan kolonial Belanda yang ada di Kediri hingga saat ini. Kediri sebenarnya juga memiliki wisata heritage yang tidak kalah dari kota-kota lainnya. Semoga saja peninggalan-peninggalan tersebut bisa dirawat dengan baik dan lestari hingga nanti.
Penulis: Mohammad Sirojul Akbar
Editor: Intan Ekapratiwi