3 Pelajaran Berumah Tangga dari Sinetron ‘Mahabharata’ di ANTV

3 Pelajaran Berumah Tangga dari Sinetron Mahabharata di ANTV terminal mojok

Saya sudah berkali-kali nonton sinetron Mahabharata di ANTV. Anehnya setiap kali saya nonton, meskipun sudah tahu alur ceritanya bagaimana, selalu ada hal baru yang bisa saya pelajari. Kalau dulu ketika masih lajang, saya mempelajari bahwa ternyata lagu Mahabharata enak juga jika dindangdutke koplo. Liriknya yang simple, dipadukan musik yang mblakpung mblakpung mblaem mblaem itu ternyata enak juga buat joget.

Tapi sekarang, ketika sudah menikah, saya tersadar bahwa kisah ini tak hanya tentang Kurawa dan Pandawa. Ada banyak hal yang bisa saya pelajari, termasuk pelajaran dalam berumah tangga. Berikut 3 pelajaran berumah tangga yang saya dapatkan dari sinetron Mahabharata ANTV:

Utamakan kualitas daripada kuantitas

Waktu kecil, saya kerap kali mendengar ungkapan “banyak anak banyak rezeki”. Waktu dewasa lain lagi, orang-orang—khususnya dari KB—mengatakan bahwa punya anak tidak usah banyak-banyak. Supaya anak-anak nantinya bisa mendapatkan pendidikan, gizi, dan kasih sayang yang cukup dari orang tuanya. Lantas, dari dua hal yang bertentangan ini mana yang harus saya ikuti?

Berkaca dari kisah Mahabharata, saya cenderung pada pernyataan kedua, punya anak tidak usah banyak-banyak. Pandawa dan Kurawa sudah menunjukkannya. Begini, memang rezeki sudah yang ngatur, tapi mari kita lihat Pandawa dan Kurawa. Pandawa jumlahnya 5 orang, sementara Kurawa jumlahnya 100 orang. Secara jumlah, Kurawa seharusnya mendapat lebih banyak rezeki ketimbang Pandawa.

Namun fakta di lapangan justru sebaliknya. Pandawa nyatanya unggul di segala bidang dibanding Kurawa. Pandawa lebih kuat, lebih ganteng, lebih kaya, dan lebih bijaksana dibanding Kurawa. Di kubu Pandawa, karena kelima orang anggotanya punya kelebihan, semua personelnya populer. Sejak SD bahkan saya sudah hafal kalau Pandawa itu anggotanya ada 5: Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Sementara Kurawa? Yang paling terkenal cuma Duryudana. Yang lainnya? Saya tak hafal. Paling yang saya tahu ya pamannya Kurawa itu, Sengkuni.

Ibarat Mojok, sebenarnya Pandawa itu seperti Essai Reguler, sementara Kurawa seperti Terminal Mojok-nya. Meskipun sama-sama membanggakan bisa masuk di Mojok, tapi satu Essai Mojok yang terbit, nilainya lebih besar daripada 5 Terminal Mojok yang terbit, kan?

Judi itu berat, biar Puntadewa saja. Kita tidak usah ikut-ikutan

Di antara para Pandawa, Puntadewa merupakan yang paling tua dan paling bijak. Nilai-nilai Dasadarma pramuka tercermin betul dari tingkah lakunya. Mulai dari takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, cinta alam dan kasih sayang sesama manusia, hingga suci dalam pikiran, perkataan, maupun perbuatan. Semuanya ia amalkan. Singkatnya, ia sosok yang terpuji. Tak mengherankan apabila anggota keluarga yang lain hormat dan segan terhadapanya.

Namun demikian, bukan berarti ia tak pernah berbuat salah. Ia pernah berbuat sembrono sekali, sewaktu ikut main dadu. Itupun awalnya karena iseng, mengikuti ajakan Sengkuni dan Duryudana daripada gabut. Hasilnya sungguh mencengangkan. Puntadewa yang awalnya iseng, lalu ketagihan, main terus, main terus, kemudian kalah. Kalahnya pun tak tanggung-tanggung. Kelasnya Puntadewa kan ksatria, hartanya banyak, jadi tidak mungkin judi dadunya 2.000-an gitu. Hla, apa dipikir ini judi di ronda? Sekali taruhan ya puluhan juta, ratusan juta. Dalam semalam, iseng-iseng berhadiahnya membuat hartanya yang amblas. Istri dan kerajaannya pun ikut tergadai.

Belum lagi, sebagai kesepakatan lain dalam berjudi, ia dan personel pandawa yang lain ditundhung minggat, harus meninggalkan rumahnya selama 12 tahun. Dalam kurun waktu 12 tahun itu, mereka juga harus sembunyi tanpa boleh seharipun ketahuan Kurawa. Sebab kalau ketahuan meski cuma sekali, masa hukuman ditambah lagi 12 tahun. Piye? Mumet po ra?

Masih untung Pandawa yang lain mau menerima. Mereka rela menjalani hukuman kalah judi yang dilakukan kakaknya dan mengasingkan diri. Coba bila ini terjadi pada kita? Apa yang kira-kira akan terjadi? Saya tidak bisa membayangkan. Yang jelas, bojo tidak ngajak pegat saja sudah syukur.

Makanya, dari kasus Puntadewa saya belajar, tinggalkan judi apa pun alasannya. Apalagi sekarang saya sudah berumah tangga. Yang dipikir bukan lagi diri sendiri, ada anak istri yang harus dinafkahi. Lagi pula, tidak ada ceritanya orang yang rajin judi bisa kaya raya. Saya kok belum pernah lihat, orang-orang di sekitar saya di usia 25 tahun, berkat kegigihannya dalam berjudi, punya tabungan 100 juta.  Atau berkat konsistensi di meja judi, tetangga saya yang berusia 40 tahun mampu membeli rumah seisinya. Belum pernah sekalipun. Tapi itu yang saya tahu. Kalau panjenengan mau mencoba menjadi orang yang sukses karena judi, dan memutarbalikkan apa yang saya percaya, ya monggo. Waktu dan tempat dipersilakan.

Pentingnya surat-surat

Apa yang menyebabkan Pandawa dan Kurawa geger gedhen? Mengapa mereka sampai bacok-bacokan padahal mereka masih bersaudara? Bagi yang sudah nonton sinetron Mahabharata di ANTV tentu tahu, bahwa itu semua terjadi gara-gara warisan. Ya, baik Pandawa maupun Kurawa gelut gara-gara memperebutkan kerajaan Astina.

Pandawa merasa berhak mewarisi kerajaan karena Astina memang punya bapaknya, Prabu Pandu. Sementara Kurawa ngeyel, tidak mau menyerahkan. Permasalahan tidak bisa dirembuk baik-baik, endingnya malah perang Bharatayudha. Coba, keturunan dewa saja bisa ribut perkara warisan. Apalagi kita yang orang biasa?

Belajar dari kisah Mahabharata yang tayang di ANTV, jangan sampai kita mengulangi kesalahan yang diperbuat Prabu Pandu. Ia memang sudah niat mewariskan kerajaannya pada Pandawa. Tapi waktu itu Pandawa masih belum akil balig, jadi dititipkan pada pamannya. Nanti ketika Pandawa sudah dewasa, Prabu Destarasta selaku pamannya Pandawa ini, baru menyerahkan kerajaan itu. Tapi apa yang terjadi? Destarasta mblenjani janji. Pandawa sudah dewasa, tapi kerajaan malah diserahkan ke Kurawa.

Mau bagaimana lagi, Prabu Pandu nitip warisannya waktu itu juga cuma secara lisan. Tidak punya kekuatan hukum. Coba waktu itu ia menghadirkan notaris untuk ikut menyaksikan. Selain kuat, tulisan dari notaris juga kan kekuatan hukum. Sehingga, perang Bharatayudha mungkin saja tidak akan terjadi.

Saya sudah kenal banyak orang, yang ketika orang tuanya masih hidup, mereka adem ayem. Tidak ribut-ribut perkara warisan. Tapi ketika orang tuanya sudah tiada, barulah ribut. Saudara tertua merasa berhak mendapat banyak warisan, karena ia yang paling tua. Sementara yang muda merasa berhak mendapat banyak warisan, karena selama orang tua sakit, ia yang banyak berkorban. Macam-macam kasusnya. Yang jelas, ending-nya jarang yang berakhir baik. Masalah keluarga yang seharusnya bisa dirembuk kekeluargaan, justru berakhir di meja pengadilan karena orang tua masih menggampangkan perkara warisan.

Sumber Gambar: YouTube Go Tube

BACA JUGA ‘Gerhana’, Sinetron Paling Supranatural pada Masanya dan tulisan Riyan Putra Setiyawan lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version