3 Jenis Mahasiswa Berbahaya di UGM yang Wajib Kamu Waspadai. Jangan Sembarangan kalau Nggak Pengin Malu

UGM Punya 3 Jenis Mahasiswa yang Berbahaya. Waspada! (Unsplash)

UGM Punya 3 Jenis Mahasiswa yang Berbahaya. Waspada! (Unsplash)

Menjadi kampus ternama di Jogja, bahkan Indonesia, membuat kampus UGM menjadi ladang subur bagi mahasiswa hebat. Kehebatan ini tidak hanya berasal dari keunggulan akademis saja. Mahasiswa yang kuliah di sini bisa merasakan iklim kampus yang mendukung. Di sini, kamu bisa bertemu banyak mahasiswa “berbahaya” dengan kualitas dan jaringan begitu luas.

Sikap low profile mahasiswa seperti ini kadang menutupi kehebatan mereka. Yang sering terjadi, mereka terlihat nggak tahu apa-apa. Tapi yakinlah, penampilan seperti itu sangat menipu dan mereka jago menyembunyikan identitas asli. Mereka memang nggak suka hidupnya dipenuhi oleh pertanyaan yang nggak perlu.

Selama kuliah di UGM, saya sering mengamati dan mendapati mahasiswa seperti ini. Yah, seperti kata orang. Penampilan memang bisa sangat menipu. Inilah dia 3 jenis mahasiswa “berbahaya” yang saya temui di UGM. 

#1 Makan sederhana, tapi ternyata pemilik usaha multinasional

Pusat Jajanan Lembah atau Pujale adalah kantin di UGM yang menempati kasta terendah. Selain karena harga makanan di sini termasuk murah, fasilitasnya tidak lebih baik dari kantin fakultas. Oleh sebab itu, mahasiswa yang mengunjungi Pujale, biasanya, isi dompetnya pas-pasan. 

Namun, saya pernah berkenalan dengan seseorang dari Fisipol UGM di Pujale. Beliau merupakan mahasiswa S2 dari Jakarta. Melihat penampilannya sama sekali tidak menunjukkan bahwa dirinya berasal dari golongan ekonomi elite. Malahan dia memesan makanan yang cenderung murah yaitu batagor dengan segelas air putih.

Karena duduk sebangku dengan saya yang sedang menyantap sup buah, kami mulai terlibat perbincangan intens. Dari soal daerah asal, dunia perkuliahan, hingga materi di jurusan masing-masing. 

Tampak pembawaan mudah bergaul. Dia juga tidak menggunakan diksi bahasa langit yang mengawang-awang. Setelah makan siang selesai, kami bertukar Instagram. Setelah itu dia pamit karena akan pulang ke Jakarta sore itu.

Ketika kembali ke fakultas untuk mengakses wifi gratis, muncul notifikasi pertemanan dari “mas-mas biasa” tadi yang mengobrol di Pujale. Maka alangkah terkejutnya saya ternyata barusan ngobrol dengan salah satu CEO dari perusahaan multinasional yang namanya sering saya dengar. Untung, dalam hati, saya tidak punya kebiasaan menganggap orang lain lebih rendah.

#2 Mahasiswa pendiam, eh jadi pembicara di forum PBB

Cerita ini berawal dari sebuah forum di perpustakaan pusat UGM. Seperti biasa, bukan saya kalau tidak mengobrol dengan peserta sebelah. Untunglah, waktu itu ada seorang cowok duduk di sebelah saya. Dia terlihat sebagai mahasiswa angkatan akhir yang sedang sibuk dengan coretan penelitian. 

Suasana agak kaku ketika awal kami mengobrol. Mungkin dia agak kurang nyaman karena sedang sibuk memikirkan catatan penelitian. Namun, perlahan suasana lebih cair ketika saya tawarkan sebuah permen. Dirinya menyambut baik.

Namun, saya mulai menyadari, dirinya lebih banyak menjawab “iya” atau sekadarnya saja. Khas mahasiswa pendiam. Saya menghormati jalan pikiran seperti itu. 

Ketika acara selesai, saya berinisiatif untuk meminta akun Instagram miliknya. Dirinya menyodorkan hape miliknya supaya saya menulis nama akun Instagram saya terlebih dahulu. Ketika sudah selesai, dirinya langsung mengikuti saya di Instagram dan seperti biasa saya akan mengikuti balik. 

Cowok itu kemudian beranjak terlebih dahulu karena ada janji dengan seorang teman. Selepas pergi, saya menerima permintaan pertemanan dan baru saya ketahui ternyata orang yang baru saya ajak ngobrol sering wara-wiri ke berbagai forum di PBB untuk menjadi pembicara.

#3 Jangan pernah pamer di depan mahasiswa UGM, bisa malu sendiri

Yang terakhir, mungkin yang paling banyak saya temui. Jadi, masih banyak mahasiswa UGM yang berasal dari keluarga berada, tapi penampilannya biasa saja. Bahkan, beberapa dari mereka terlihat seperti mahasiswa dengan uang saku pas-pasan. Mereka yang kayak gini biasanya sudah pernah merasakan sulitnya mencari uang.

Mereka berasal dari keluarga kaya, tapi mendapat pendidikan yang keras di keluarganya. Untuk bisa merasakan “kekayaan” itu, mereka harus ikut berusaha dulu. Misalnya dengan kerja paruh waktu selama kuliah. Istilahnya, mereka jadi lebih menghargai uang.

Oleh sebab itu, kebiasaan pamer di depan “sembarang” mahasiswa UGM bisa berujung malu. Apalagi di depan mahasiswa yang “biasa saja”, tetapi ternyata “berbahaya”. Antara mereka jadi kaya dengan usaha sendiri atau punya IQ di atas rata-rata. Jangan meremehkan orang, sih.

Penulis: Yoga Aditya L

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA 5 Aturan Tidak Tertulis di UGM, Jangan Dilanggar Nanti Bikin Malu

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version