Sudah lebih dari dua tahun saya tinggal di Labuan Bajo. Kerja, bertahan, dan diam-diam berharap bisa punya masa depan cerah di sini. Niat awalnya sih begitu. Tetapi ya… begitulah.
Buat wisatawan, Labuan Bajo mungkin seperti mimpi yang jadi nyata. Laut biru bening, bukit hijau, sunset yang selalu fotogenik, dan tentu saja Komodo, si primadona dunia. Tetapi buat kami yang tinggal di sini, ada cerita lain. Cerita yang tidak selalu masuk dalam brosur wisata.
Karena di balik keindahan yang dirayakan di Instagram, ada realitas yang makin hari makin bikin kepala pening dan hati sesak.
#1 Pantai yang dulu milik warga, sekarang dijaga satpam hotel
Dulu, anak-anak bisa lari ke pantai kapan saja. Orang tua bisa duduk di pasir, ngobrol sambil jagain jaring. Sekarang? Satpam berdiri tegak di gerbang masuk. “Maaf, ini area privat,” katanya. Seakan-akan pantai di Labuan Bajo bisa jadi properti pribadi yang dibatasi pagar dan plang.
Pernah ada warga yang hanya ingin duduk sebentar melihat laut, tapi malah diusir. Dibilang mengganggu tamu hotel. Ironis. Padahal tamu itu hanya numpang tiga hari, sementara warga sudah di sini seumur hidup.
Wakil Gubernur NTT, Johni Asadoma, pernah bilang kaget melihat vila-vila mewah berdiri di atas laut. Tapi kaget model begini biasanya cuma formalitas. Tidak mungkin bangunan muncul tanpa izin. Artinya, ada proses yang disepakati, ada tangan yang merestui.
Sekarang, coba sebutkan pantai mana di Labuan Bajo yang masih bebas dimasuki warga tanpa bayar? Jawabannya: Pantai Pede dan Atlantis. Sisanya? Siapkan dompet sebelum kaki menyentuh pasir.
#2 Labuan Bajo, wisata rasa internasional, harganya tak terjangkau warga lokal
Di satu restoran pinggir laut, saya pernah melihat satu porsi seafood dihargai setara gaji buruh pelabuhan Labuan Bajo sehari. Itu belum termasuk pajak layanan dan senyum pelayan yang kadang terlalu dipaksakan.
Memang masih ada warung murah: nasi bungkus ibu-ibu, lapak kecil pinggir jalan. Tetapi ruang untuk warga terasa makin sempit. Kafe-kafe yang nyaman lebih banyak diisi turis dan influencer. Anak-anak muda Bajo? Lebih sering masak sendiri di rumah, atau cari mie instan di warung.
Labuan Bajo hari ini seperti panggung besar: turis jadi bintang utama, warga jadi penonton. Kita menonton mereka menikmati kota yang katanya dibangun untuk semua, tapi nyatanya tak bisa dinikmati oleh siapa saja.
#3 Ketika surga jadi sempit untuk nelayan
Laut dulu tempat mencari nafkah dan ketenangan. Sekarang berubah jadi jalur lalu lintas kapal wisata. Jumlahnya ratusan, belum termasuk yang ilegal. Nelayan dengan perahu kecil harus mengalah, menghindar, pindah ke zona yang katanya “bukan haknya”.
Laut kini terasa asing bagi warga lokal Labuan Bajo. Dan ketika mereka berusaha bertahan, malah dianggap melanggar. Ditangkap, disidang, seakan-akan mereka perusak surga, bukan penjaganya.
Pembangunan ini katanya untuk kesejahteraan semua. Tetapi yang terasa justru tekanan makin berat bagi warga.
Labuan Bajo mungkin bukan lagi milik semua orang. Tapi semoga harapan belum dijual. Sunset masih bisa kita nikmati dari rumah. Dan semoga, suatu hari nanti, kita bukan cuma penonton di tanah sendiri.
Penulis: Teofilus Afres
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















