3 Dosa Pedagang Rawon di Surabaya yang Mengecewakan dan Merugikan Wisatawan

3 Dosa Pedagang Rawon di Surabaya yang Merugikan Wisatawan (Pexels)

3 Dosa Pedagang Rawon di Surabaya yang Merugikan Wisatawan (Pexels)

Rawon di Surabaya adalah salah satu kuliner yang dicari wisatawan. Umumnya, mereka datang dengan ekspektasi selangit.

Makanan legendaris dengan kuah hitam pekat ini memang punya pesona tersendiri. Apalagi kalau sudah melihat fotonya yang lengkap dengan sambal, tauge pendek, dan telur asin.

Tapi, ada satu isu yang jarang dibahas, yaitu dosa-dosa pedagang yang merugikan dan bikin kecewa wisatawan. Yang paling umum adalah tidak semua rawon di Surabaya itu enak. Bahkan, ada yang cuma bermodal nama doang, tapi rasa dan isiannya bikin kita merasa seperti ditipu harapan.

#1 Harapan tinggi sebelum makan rawon di Surabaya

Ketika mendengar kata “rawon”, yang langsung muncul di benak banyak orang adalah: potongan daging sapi yang empuk, kuah kluwek yang gurih khas, plus aroma daun jeruk yang menggoda. Harapannya sih begitu.

Apalagi kalau kamu datang dari luar kota. Setelah menempuh perjalanan panjang, lalu mampir ke warung rawon yang katanya viral, harapan kita pasti tinggi. Minimal mendapat sensasi makan yang bisa diceritain pas pulang kampung.

Tapi kenyataan? Saya cuma dapat seuprit daging. Sudah begitu rasanya hambar.

Saya punya satu pengalaman yang membekas ketika kali pertama mencoba rawon di Surabaya. Warung makan ini cukup terkenal.

Setelah memesan, yang datang adalah seporsi rawon, dengan potongan daging nyempil kayak malu-malu. Bahkan, lebih banyak lemaknya ketimbang dagingnya. 

Sudah begitu, kuahnya lebih mirip air rendaman kluwek sisa semalam. Warnanya sih oke, tapi rasanya? Nggak ada “klek”-nya sama sekali. Hambar, nyaris kayak air cucian piring tapi warnanya gelap.

Porsi daging yang pelit itu menjadi sumber kekecewaan paling hakiki. Kalau cuma 2 potong kecil dan keras, lebih baik tambah tahu atau tempe aja sekalian. Setidaknya nggak bikin gigi kerja lembur karena mengunyah daging keras.

#2 Faktor viral yang menyesatkan

Salah satu jebakan wisata kuliner zaman sekarang adalah tempat viral belum tentu enak. Banyak warung makan yang tiba-tiba ramai karena kunjungan food vlogger. Eh ternyata cuma gimmick doang.

Salah satunya adalah rawon di Surabaya. Ada satu tempat yang dulu enak banget. Sudah begitu, viral pula karena memang enak dan jadi konten food vlogger. Eh, setelah viral dan warung jadi ramai, kualitasnya menurun. Ada saja pedagang yang kejar volume pelanggan. Mungkin di pedagang ini merasa “Ya udah, orang bakal datang juga.”

Padahal, rawon itu makanan yang sangat bergantung pada keseimbangan rasa. Kalau asal masak demi cepat disajikan, ya hasilnya rawon instan. Warnanya gelap, tapi rasanya gagal.

#3 Harga rawon di Surabaya yang nggak sesuai rasa

Saat ini, harga seporsi rawon di beberapa warung di Surabaya udah mulai nggak main-main. Banyak yang ngasih harga di atas Rp25 ribu, bahkan ada yang sampai Rp40 ribuan untuk versi rawon campur empal.

Okelah, kita bisa terima kalau harganya naik. Tapi ya minimal rasa dan porsi dagingnya masuk akal. Masa sudah bayar mahal, dagingnya cuma 3 potong dan 2 di antaranya ngumpet di balik nasi?

Ingat, rawon adalah salah satu warisan kuliner Jawa Timur. Tapi kalau hanya jadi alat jualan karena viral, lalu lupa pada esensi rasa, yang tersisa cuma kekecewaan wisatawan.

Jadi, kalau kamu ke Surabaya dan makan rawon, siapkan ekspektasi yang wajar. Nggak semua warung itu menyediakan sajian yang nendang.

Tapi kalau kamu nemu yang enak? Nikmatin pelan-pelan, sambil bersyukur kamu nggak cuma dapet kluwek rebus dan air garam.

Penutup

Pengalaman makan rawon di Surabaya yang benar-benar memuaskan justru terjadi di warung kaki lima, bukan tempat viral. Tempat-tempat ini mungkin nggak punya nama besar, tapi mereka memasak dari hati.

Saya pernah makan rawon di warung kecil dekat Pasar Pabean. Nggak ada yang spesial dari tempatnya. Bahkan kursinya seadanya. 

Tapi rawon mereka? Dagingnya empuk, kuahnya nendang banget. Wangi kluweknya terasa, tapi nggak lebay. Sambalnya juga pedasnya pas. Dan yang paling penting: seporsi cuma Rp18 ribu, dengan potongan daging yang bikin kenyang tanpa harus minum air putih 3 gelas dulu.

Satu hal yang harus dicatat buat wisatawan adalah jangan 100% percaya sama ulasan food vlogger. Yang “bahaya” adalah selera orang itu beda-beda. Kadang yang kita kira enak, bagi yang lain cuma biasa aja. 

Jadi, kalau ke Surabaya dan mau cari rawon enak, lebih baik tanya langsung ke warga lokal. Supir ojek online, tukang parkir, atau ibu kos biasanya juga tahu.

Dan jangan gengsi masuk warung yang tampak sederhana. Justru di situlah kamu bisa menemukan rasa yang otentik. Ingat, makanan enak itu nggak harus tampil mewah. Rawon enak itu yang berani gelap tapi gurihnya nggak malu-maluin.

Penulis: Ayu Lestari Sipayung

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA 4 Hal yang Membuat Saya Sangat Kecewa dengan Rawon Jogja karena Menyalahi Kodratnya Sebagai Kuliner Jawa Timur

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version