Bagi sebagian karyawan, resign atau mengundurkan diri dari perusahaan adalah sesuatu yang dilematis. Tidak bisa dilakukan secara sembrono dan serampangan. Perlu pemikiran yang jernih dan matang.
Pemikiran mengendap seperti, “Nanti di kantor baru akan lebih baik nggak, ya?” selalu membayangi pemikiran banyak karyawan, ketika sedang mempertimbangkan apakah akan menetap di kantor yang sama selama bertahun-tahun, atau justru pindah ke perusahaan lain dalam kurun waktu tertentu.
Sering kali merasa dilema bikin para pekerja melankolis. Apalagi hubungan dengan rekan kerja di kantor terbilang sangat baik. Bahkan tak jarang, kantor sudah dianggap seperti rumah sendiri. Lantaran lima hari dalam seminggu, 20 hari dalam sebulan, 240 hari di setiap tahunnya, 1.920 jam dalam setahun—bisa jadi lebih—seorang karyawan lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor.
Itulah kenapa, pada titik tertentu, keputusan resign menjadi suatu hal yang cukup sulit. Di sisi lain, resign adalah hak bagi semua karyawan. Peraturan “one month notice” dibuat bukan untuk menyulitkan, apalagi sebagai penghalang. Melainkan agar bisa teratur secara administratif. Juga supaya ada waktu untuk menemukan pengganti karyawan yang resign.
Dari sisi karyawan, banyak yang, pada akhirnya, memutuskan resign untuk mendapatkan segala sesuatu yang dirasa lebih baik. Peningkatan karier, pendapatan sekaligus benefit, dan lingkungan kerja yang membikin nyaman, hanya sebagian kecil di antaranya. Namun, tidak sedikit pula karyawan yang memutuskan untuk resign karena hal yang sulit diperkirakan sebelumnya.
Jujur saja, selama menjadi seorang recruiter, saya tidak pernah—bahkan, tidak akan sekalipun—menahan atau melarang rekan kerja yang lain agar tidak resign. Selama untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik apalagi diproyeksikan untuk jangka panjang, pikir saya, kenapa tidak? Sebab, tidak bisa dimungkiri kelak saya pun akan melakukan hal serupa.
Namun, bicara soal resign, sebagai recruiter, pada waktu yang bersamaan, saya juga menyarankan kepada kalian—para pekerja—untuk menghindari resign karena tiga hal berikut.
#1 Menghindari seseorang yang menyebalkan di kantor
Percayalah, jika kalian ingin sekali resign hanya karena ada seseorang yang tidak disukai—bahkan dibenci—di kantor, sebaiknya pikirkan kembali dengan baik juga secara perlahan. Resign karena alasan emosional sesaat tidak akan menyelesaikan masalah. Malah, bisa jadi hanya akan menambah masalah di kemudian hari.
Mungkin kalian akan membatin, “Kalau sudah kadung toxic dan membikin kinerja jadi kacau, gimana?”
Sebentar, sebentar. Coba pikirkan kembali atau setidaknya lakukan analisa sederhana. Kinerja menurun itu karena faktor internal atau eksternal. Kalaupun betul karena orang lain—dalam hal ini seseorang yang menyebalkan di kantor—baiknya diselesaikan secara baik-baik. Bisa secara personal dengan berdialog atau meminta bantuan kepada seseorang yang punya pengaruh di kantor, baik HRD atau atasan dari suatu divisi.
#2 Hanya ikut-ikutan tanpa tujuan yang jelas dan pasti
Mau bagaimana pun, sesulit apa pun, keputusan resign sebaiknya disertai dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Harus dipikirkan juga, apa yang akan dilakukan setelah resign.
Ikut-ikutan resign dalam konotasi tidak menentu dan tanpa tujuan yang pasti apalagi tanpa dasar keyakinan yang mumpuni, pada titik yang paling menyebalkan, hanya akan menyisakan penyesalan. Lantaran keputusannya tidak dibuat dengan sepenuh hati.
#3 Menghindari tugas yang dianggap sulit
Rasanya keliru jika alasan seorang karyawan resign karena ingin menghindari tugas yang dirasa sulit dan menyerah begitu saja tanpa mempelajari segala sesuatunya terlebih dahulu. Sebab, di kantor mana pun, pasti selalu ada kesulitan sesuai dengan porsinya masing-masing yang cepat atau lambat akan dihadapi dan harus diselesaikan oleh para karyawan.
Penyelesaian kadang tidak didapat dengan mudah atau secepat mengedipkan mata. Ada kalanya harus melalui proses yang rumit, trial & error, bahkan tak jarang melibatkan diskusi panjang antar divisi. Dibanding gegabah mengajukan resign, alangkah baiknya jika memilih untuk pelajari prosesnya sampai mendapat hasil yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
Disadari atau tidak, memutuskan untuk resign dan berhenti dari suatu pekerjaan memang gampang-gampang-susah. Gampang saja, ketika yakin dengan keputusan yang dibuat dan/atau sudah mendapatkan tempat kerja baru yang dirasa lebih baik. Susah, ketika tidak dipikirkan secara baik-baik saat menjalani prosesnya.
BACA JUGA Menimbang Keputusan Resign buat Jadi Pengangguran dan artikel Seto Wicaksono lainnya.