Menjelang 1 Oktober 2024, saya kesulitan menata pikiran. Saya bahkan merasa tidak sanggup untuk menulis soal 2 tahun Tragedi Kanjuruhan. Bagi saya, tragedi tersebut sudah menjadi titik kulminasi bahwa sepak bola Indonesia tidak akan pernah menjadi baik. Setidaknya itulah ranah pesimisme saya terhadap sepak bola Indonesia.
Celakanya, salah satu kegelisahan saya terkait 2 tahun Tragedi Kanjuruhan itu terwujud. Siang ini (Selasa, 1 Oktober 2024), pukul 12:42 ketika saya mulai menulis, topik Tragedi Kanjuruhan tidak menguasai kolom trending di media sosial. Setelah memeriksa Google Trend, saya tidak menemukan topik tersebut.
Tema jadwal pertandingan dan artis masih menguasai kolom Google Trend Indonesia. Artinya, jika saya mendapat izin untuk membuat analisis serampangan, topik Kanjuruhan bukan lagi tema yang cukup “penting”. (Mungkin) Setidaknya itu yang muncul di benak banyak orang.
Daftar Isi
Dunia dalam doa
Sebelum menulis ini, saya memeriksa juga kolom “News” di pencarian Google. Di sana, saya menemukan banyak berita dengan sudut pandang yang sama. Banyak media yang bermain dengan kata kunci “doa bersama”. Ada Hallo Malang, Viva Malang, dan Tugu Malang ID.
Fenomena di atas tentu bukan hal buruk. Memang begitu kita seharusnya “mengingat sebuah tragedi”. Kita, manusia yang lahir dalam konteks religi, hidup dalam dunia doa. Jadi, di kesempatan ini, saya juga ingin mengirim doa kepada 135 korban Tragedi Kanjuruhan. Saya hanya bisa berdoa karena keadilan di tragedi ini cuma seperti fatamorgana di sebuah negara yang cuacanya sedang panas-panasnya.
Komentar tidak relevan terkait momen 2 tahun Tragedi Kanjuruhan
Doa bersama yang banyak saya temukan, disertai harapan-harapan klise. Misalnya, Yusrinal Fitriandi, General Manager Arema FC mengungkapkan sesuatu yang bagi saya tidak relevan.
Jadi, Yusrinal mengatakan bahwa momen 2 tahun Tragedi Kanjuruhan bukan sekadar mendiakan dan mengenang. Dia memandang momen ini sebagai “momentum untuk membangkitkan kembali semangat sepak bola Indonesia.”
Pak General Manager Arema bilang gini:
“Kami berharap, dengan adanya kegiatan-kegiatan seperti ini, semangat persatuan dan kesolideran di antara seluruh pecinta sepak bola Indonesia semakin kuat. Kita harus terus berjuang bersama-sama untuk mewujudkan sepak bola Indonesia yang lebih baik.” Saya mengutip kalimat beliau dari Viva.
Sejak Minggu (30 September 2024), saya sudah memprediksi omongan seperti ini akan terjadi. Omongan yang tidak perlu dan tidak relevan. Alasan saya adalah, kenapa tidak memanfaatkan momen 2 tahun Tragedi Kanjuruhan sebagai “titik yang lain lagi” untuk menuntut keadilan bagi korban?
Bukankah ajakan untuk bergerak dari Arema FC sendiri pasti memberi dampak yang besar? Ya mohon maaf, usaha Pak Midun gowes Malang-Jakarta untuk mengingatkan kita akan tragedi kemanusiaan ini akan sia-sia saja. Minggu depan, kita sudah akan lupa dengan Tragedi Kanjuruhan. Kita baru akan mengingat dan berdoa lagi di momen 3 tahun Tragedi Kanjuruhan.
Kita sama-sama tahu, mengharapkan keadilan untuk korban Tragedi Kanjuruhan sama seperti berharap sepak bola jadi lebih baik. Rakyat biasa seperti kita tidak berdaya di dunia dalam doa seperti ini. Ya mohon maaf sebelumnya. Ini pendapat saya pribadi.
Semoga 135 nyawa korban masuk surga dan tidak sia-sia
Saya tidak ingin menulis terlalu panjang untuk sebuah harapan, yang saya tahu akan sia-sia. Saya ingin langsung mengakhiri tulisan ini dengan harapan lain.
Bagi saya, saat ini, hanya bisa mendoakan 135 korban Kanjuruhan masuk surga. Semoga keluarga yang menanggung kesedihan yang teramat sangat selalu tegar. Terutama, saya tahu, setiap tahun mereka memegang harapan akan sebuah keadilan. Padahal, semakin hari berjalan, saya khawatir ini semua akan jadi seremonial belaka.
Semoga 135 korban ketidakadilan masuk surga dan menjalani hidup penuh kebahagiaan. Kita, yang masih berjalan di atas bumi pertiwi ini akan terus mendoakan. Karena hanya itu yang bisa kami lakukan. Karena semua hal semakin tidak relevan dan lip service belaka.
Semoga kita semua dihindarkan dari busuknya sepak bola Indonesia. Terutama dari orang-orang nir empati yang nyatanya tak pernah peduli dengan nyawa sesama. Sampai jumpa di peringatan 3 tahun Tragedi Kanjuruhan.
Sekali lagi mohon maaf jika kalimat-kalimat di atas terdengar nir empati kepada korban. Padahal sebenarnya tidak. Saya hanya menulisnya perasaan saya. Sebuah perasaan yang mungkin tidak bisa dan tidak berani kamu ungkapkan.
Penulis: Yamadipati Seno
Editor: Yamadipati Seno
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.