Saya pergi ke Dieng bukan karena sedang mencari jawaban hidup, tapi karena promo tiket kereta api yang menggoda. Sayangnya, waktu ke sana, hujan datang tiba-tiba, deras, dan bikin pusing.
Padahal saya sudah menyusun rencana dengan rapi. Mulai dari melihat sunrise di Bukit Sikunir, nyore di Telaga Warna, dan menyepi sambil menyeruput purwaceng. Tapi, hujan membatalkan semuanya.
Hari-hari yang seharusnya penuh healing berubah jadi perjuangan melawan dingin, lumpur, dan jaket yang nggak waterproof. Niat awalnya mau menenangkan pikiran, tapi yang ada malah nambah beban mental gara-gara sepatu nyelup got dan itinerary bubar jalan. Jadi, kalau kamu kepikiran mau ke Dieng pas musim hujan, mending baca tulisan ini sampai habis.
Daftar Isi
Dieng yang dinginnya sangat serius
Sebagai warga Planet Bekasi, pergi ke Dieng itu semacam ziarah spiritual. Saya pikir, setelah sekian lama dijemur oleh panas yang bikin minyak wajah meleleh kayak lilin, tubuh ini layak mendapat bonus udara pegunungan. Tapi ternyata, semesta punya rencana lain.
Bayangkan, orang yang biasa hidup di suhu sekitar 34 derajat mendadak dilempar ke suhu 6 derajat, bahkan kadang minus. Alih-alih merenung di tepi telaga, saya malah sibuk nyari warung kopi buat sekadar menghangatkan jari. Dinginnya Dieng kemarin bikin saya pengin masuk rice cooker. Apalagi kalau hujan turun.
Hujan turun, rencana bubar
Yang paling menyakitkan dari liburan ke Dieng saat hujan bukan cuma soal dingin. Semua tempat wisata yang udah saya idam-idamkan sejak masih di bangku kerja, jadi bubar. Saya hanya bisa menikmati pemandangan dari balik kaca penginapan. Itu saja berkabut tebal. Sial.
Bayangin, Bukit Sikunir yang katanya surganya sunrise, saya cuma bisa melihat kabut dan genangan air. Telaga Warna? Nggak kelihatan warnanya. Yang ada cuma warna abu-abu hasil kombinasi antara mendung, hujan, dan kepala pusing nggak jadi wisata.
Kawah Sikidang yang katanya aktif dan seru? Yah, aktif sih, tapi yang lebih aktif justru hujannya.
Setiap mau keluar, hujan turun. Begitu hujan berhenti, saya keluar. Eh, baru 5 langkah, hujan turun lagi. Saya pernah berdiam 1 jam di teras warung mie rebus cuma demi menunggu langit sedikit terang.
Ada momen di mana saya berdiri di depan plang “Welcome to Telaga Merdada” sambil mikir keras. “Ini air telaga atau sisa hujan semalam sih?” Tanah jadi becek, batu jadi licin, dan kamera saya ngambek karena terus-terusan kena gerimis. Mau selfie pun susah, karena yang nongol di foto cuma siluet samar mirip adegan film horor low budget.
Pada titik tertentu saya pasrah. Dieng yang katanya magis dan penuh aura spiritual berubah jadi background sendu.
Jalan longsor, hati ikut ambrol
Sudah basah kuyup, kedinginan, nggak bisa menikmati Dieng, eh cobaan belum berakhir. Pas mau pulang, saya dapat bonus jalan longsor. Lengkap sudah penderitaan ini.
Kendaraan yang saya tumpangi mendadak berhenti. Di depan sudah ada yang antre, dan ada orang dengan kalem berkata, “Wah, sepertinya kita harus muter, Mas. Jalan di depan ketutup tanah longsor.”
Saya yang mendengar cuma bisa melongo, setengah pasrah setengah pengin rebahan. Saya bahkan sempat mikir, kalau ada ojek paralayang jurusan Wonosobo–Purwokerto, saya bakal naik tanpa mikir 2 kali.
Waktu akhirnya berhasil cari jalan alternatif, yang artinya naik kendaraan dengan rute lebih panjang, saya cuma bisa merenung. Bukan menikmati pemandangan, tapi memastikan nggak ada lagi tanah yang tiba-tiba ngajak jatuh bareng.
Tapi, ya, begitulah hidup. Kadang niat healing malah bikin pusing, tapi justru dari situ kenangannya tumbuh subur. Meski penuh lumpur, kabut, dan longsor, perjalanan ke Dieng tetap worth it.
Setidaknya saya jadi tahu rasanya napas keluar uap tanpa harus jadi naga, belajar pasrah sama cuaca, dan sadar bahwa kadang liburan nggak perlu sempurna. Mungkin memang bukan healing yang saya dapat, tapi pelajaran ikhlas. Ayo wisata ke Dieng!
Penulis: Raihan Muhammad
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Jika Tidak Ada Dieng, Mungkin Wonosobo Jadi Lebih Maju
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.