Pernahkah kamu berkomunikasi dengan orang yang bikin kamu bingung? Misal ketika kamu tanya, “Kamu mau makan apa?” Kemudian dia jawab, “Terserah.” Jawaban tersebut membuat kita jadi bertanya-tanya, sebenernya maunya apa? Atau ketika kita sudah mengambil keputusan, dia malah bilang, “Kok pilih yang ini?” padahal awalnya bilang “Ngikut kamu saja.”, “Aku Idem” dan yang semisal. Kamu pun merasa mengalami momen yang oleh Tahi Lalat dipopulerkan sebagai AKH moment.
Atau pernah nggak kamu ditanya siapa role model kamu? Kuliah nanti mau ambil jurusan apa? Nanti habis lulus kuliah mau jadi apa? Kemudian kamu jawab ngasal aja. Padahal sebenarnya kamu nggak tau maunya jadi apa. Bahkan kadang pertanyaan itu nggak datang dari orang lain, melainkan datang dari diri kamu sendiri. Kamu mulai mempertanyakan eksistensi kamu di dunia ini. Biasanya pertanyaan ini menjadi lebih sensitif ditanyakan pada orang-orang di fase quarter-life crisis.
Sehingga, kamu pun jawab sekadarnya saja. Menjawab dengan tujuan biar percakapannya berjalan dan tidak perlu ada konflik horizontal.
Sebenernya pola pertanyaan yang membuat trigger jawaban “terserah” atau yang asal jawab aja sering banget terjadi. Sehingga baik subjek yang bertanya atau yang menerima pertanyaan itu sama-sama bingung.
Jawaban yang ngasal aja atau yang membingungkan semacam “terserah” itu pada dasarnya nggak salah. Sebab, memang kadang, tuh, sulit juga dalam mengambil keputusan atau memberi jawaban yang akurat. Nggak mudah untuk memberi jawaban yang nggak asal jawab. Nggak mudah memberi jawaban yang beneran merepresentasikan apa yang kita inginkan atau kita butuhkan.
Di sisi lain, jawaban demikian, yang terdengar nggak satset, membuat kita sulit menentukan keputusan ke depan. Jadinya langkah kita terhambat dan tidak ada progres. Akhirnya malah nggak ke mana-mana.
Namun, daripada memperdebatkan siapa yang salah, lebih baik cari cara yang lebih produktif. Cara yang bisa membuat kita sama-sama bisa bergerak ke depan dan mengambil langkah selanjutnya.
Solusi atas permasalahan tersebut adalah alat pengambilan keputusan yang disebut via negativa. Via negativa adalah cara mengambil keputusan dengan mengeleminasi pilihan yang mengandung red flags; pilihan yang tidak kita inginkan.
Kita ambil contoh analogi makan di warung prasmanan. Di meja makan ada tiga jenis makanan; ada cap cay Tiongkok, ayam bakar Karawitan, dan opor ayam Trenggalek. Kamu belum pernah coba semuanya. Jadi kamu masih belum tau mana yang kamu suka. Maka cara yang bisa dipakai adalah identifikasi elemen yang ada dalam masing-masing makanan yang tidak kamu suka; elemen yang merupakan red flags bagimu.
Kamu tidak suka wortel, santan, dan buncis. Maka kamu melihat di antara tiga makanan yang tersaji di meja makan, mana yang mengandung wortel, santan, ataupun buncis. Oleh karena cap cay Tiongkok mengandung wortel dan buncis. Sedangkan opor ayam Trenggalek mengandung santan, maka dua opsi tersebut bisa dieliminasi. Sehingga kamu akhirnya bisa memilih ayam bakar Karawitan.
Cara ini tentu bisa diterapkan ketika kamu mau mengambil keputusan-keputusan yang lebih krusial; keputusan yang punya dampak besar untuk masa depan kamu. Misalnya ketika kamu mau kuliah, bekerja, menentukan siapa role model hidup kamu, atau keputusan apa pun, lah. Coba kamu otak-atik sendiri.
Tapi aku kasih contoh lain, lah, ya. Misalnya dalam hal kuliah. Kamu belum tau mau ambil jurusan apa. Maka kamu bisa mengeliminasi jurusan-jurusan yang nggak kamu suka.
Katakanlah kamu nggak suka matematika. Maka kamu bisa ambil jurusan yang nggak ada mata kulaih berhitung. Nah, dari sana pilihannya mungkin masih banyak juga. Dan nggak mungkin kamu daftar di semua jurusan yang jumlahnya ratusan itu, kan? Maka cari variabel red flags yang lain, yang bisa membantu. Baru kemudian dikerucutkan lagi.
Begitupun dalam menentukan pilihan atau keputusan yang lain dalam hidup. Kalau kata mbak Dara Nasution dalam twitnya pada 17 Des 2021, “I don’t have any role models. Instead, I have a couple of anti-role models–those whom I’ll never grow up to be like them.”
Jadi, ketika kita nggak tau mana pilihan yang diinginkan, kita bisa tetap bergerak ke depan dengan mengeliminasi pilihan-pilihan yang tidak kita suka. Dengan kata lain, dalam proses kita menemukan metode yang tepat untuk mendapatkan ide yang bagus adalah dengan mengeliminasi ide-ide yang buruk.
Dalam pandangan via negativa, cara menjadi orang tua yang tidak toxic lebih penting daripada cara menjadi orang tua yang baik. Memilih pekerjaan yang relatif tidak menyengsarakan lebih penting daripada mencari pekerjaan yang disukai, dan seterusnya.
Sebab, kadang kita lebih mudah untuk tau mana yang buruk, mana yang salah, mana yang merugikan, mana yang tidak berguna. Daripada mana yang benar, mana yang baik, mana yang lebih menguntungkan, dan mana yang berguna.
Ada satu tip agar proses eksekusi keputusan menggunakan metode via negativa berjalan dengan baik: buat pilihan yang terbatas.
Menggunakan metode via negativa bukan berarti harus mencari semua pilihan dan mengeliminasinya satu-satu. Jangan sampai pilihannya tak terhingga. Tentukan pilihannya apa aja. Dan dari sana eliminasi yang mengandung unsur “ini bukan untukku”.
Sebenernya prinsip ini sama dengan ketika kita mengerjakan soal multiple choice atau pilihan ganda. Kalau kita nggak tau mana pilihan yang bener, kita bisa menjawab dengan cara mengeliminasi pilihan yang salah.
Namun, akhirnya via negativa adalah salah satu alat untuk membuat keputusan. Tentu mengkombinasikan berbagai alat sesuai kebutuhan bisa lebih efektif. Nggak ada alat yang lebih unggul dari alat yang lain. Semua tergantung kebutuhan.
Sumber Gambar: Pixabay
Editor: Rizky Prasetya