Suatu hari, beberapa tahun lewat, teman dekat perempuan saya pernah bertanya, “Kamu percaya, nggak, kalau cewek sama cowok bisa temenan deket tanpa timbul perasaan suka atau cinta dan berakhir drama?”
Barangkali, pertanyaan tersebut juga pernah muncul dalam kehidupan sosialmu. Kamu pun kebingungan atau ragu untuk menjawabnya. Di samping mungkin kamu memiliki pasangan yang perasaannya harus dijaga, juga mungkin karena kamu takut jatuh ke lubang yang bernama cinta. Atau mungkin, kamu sudah mengalaminya dan, ya, baik-baik saja.
Akan tetapi, bagi banyak orang hubungan macam ini dianggap suatu kemustahilan. Kalau nggak percaya, lihat saja hate dan bad comment di kolom reply dan retweet dengan quote postingan ini.
Bisa dilihat sendiri, padahal si mbak itu dalam twitnya pengin bilang bahwa ia hanya butuh seseorang untuk bersandar, mendengar curhatnya, pergi, dan senang-senang bareng. Ya, layaknya seorang teman. Memang, ia me-mention kata “pacaran” yang tentu merujuk pada sosok pria (opposite sex-nya) untuk ia “ajak” menjalin hubungan macam itu. Tapi, tetap saja ia hanya butuh sosok yang nyaman meski hanya berstatus teman. Dan, menurut saya itu sah-sah saja.
Lalu, kenapa masih banyak yang marah sama twit Mbak Chika “Tik-Tok” itu, ya? Entahlah. Padahal, maksud beliau bukan berniat nggak mau berkomitmen, atau sekadar friendzone yang seenaknya bisa nge-ghosting. Sekali lagi, ia cuma butuh teman! Bukankah, itu wajar-wajar saja?
Ditambah lagi, menjalin hubungan platonik macam itu (yang tanpa ada rasa, ikatan, ataupun komitmen) justru nisbi lebih sehat. Sebab, kedua belah pihak sama-sama dalam kesadaran menjalin hubungan hanya untuk berteman sehingga hasrat untuk dan/atau rasa memiliki (sesuatu yang kerap menimbulkan masalah karena keegoisan) bakalan sirna.
Lantas, kita tak akan menuntut dan mendapat tuntutan balik seperti dalam hubungan romantis (yang biasanya ngadi-ngadi). Harus tampil bersikap beginilah, harus ngasih perhatian begitulah, dan keharusan-keharusan lainnya. Saya bilang lebih sehat, bukan berarti saya antipacaran, ya. Maksud saya, bagaimanapun hubungan yang seseorang jalani adalah pilihan dan tentu diambil dengan risiko yang sudah dipertimbangkan. Termasuk risiko untuk dilarang atau diputusin oleh pasangannya.
Namun, memang perlu dipertanyakan lagi, sih. Apa salahnya berhubungan yang tak lebih dari teman alias punya hubungan platonik dengan lawan jenis? Apakah semua hubungan macam itu harus dilandasi perasaan cinta? Apakah hubungan pertemanan yang dekat dengan lawan jenis merupakan hal yang utopis? Atau, jangan-jangan banyak orang hanya terjebak pada stigma kuno bahwa pertemanan macam ini akan berakhir drama?
Dulu saya pun terjebak pada stigma itu. Namun, pada akhirnya saya mengalaminya sendiri dan percaya bahwa punya hubungan platonik tersebut sangat mungkin terjadi. Dari dulu sampai sekarang, kami pun tak pernah terlibat drama perasaan. Saya nggak baper, apalagi dia. Dia sudah punya pacar, saya juga. Dan kami tetap baik-baik saja tanpa ada pengkhianatan di belakang pasangan masing-masing.
Dari situlah, saya percaya bahwa tidak semua orang (terutama yang lawan jenis atau oppsite sex) cocok untuk diajak hubungan romantis, macam pacaran. Mungkin dengannya kita bisa curhat-curhatan, ngobrol intim, saling perhatian, main, atau nongkrong bareng dalam jangka waktu yang panjang dan tetap saja nggak timbul perasaan cinta.
Kalau baper, sih, mungkin kamu yang bermasalah. Alias kamu masih gampang ke-geer-an. Kamu masih menganggap keakraban atau perhatian yang diberikannya didasari oleh cinta atau sedang PDKT. Kamu masih percaya bahwa solidaritas antarteman, kepedulian, perhatian, dan hal semacamnya hanya bisa terjadi di hubungan teman sesama jenis atau pacaran doang? Kalau gitu, tangio, lah, Cuk!
Singkatnya, pertemanan sedekat apa pun harusnya nggak mengenal gender. Wong sama-sama manusia, og. Pertemanan antara sesama pria atau wanita dan persilangannya, harusnya bisa berbentuk sama: dekat, akrab, saling perhatian, dan bisa jadi tempat nyaman untuk pulang. Sebab, sebaik-baiknya teman itu yang bisa memberikan rasa aman dan nyaman macam rumah. Kita semua tahu, rumah nggak punya jenis kelamin. Bukankah begitu?