Saya punya seorang teman yang rajin minum minuman berenergi sebagai suplemen saat olahraga dan bekerja. Dia menganggapnya sebagai surungan, alias pendorong stamina. Mirip seperti Nos di gim balap mobil. Itu untuk fisik, raga, alias tubuh. Selain mengonsumsi minuman semacam itu, ia juga memakai sebuah kepercayaan yang umum digunakan oleh masyarakat kita, punya utang sama bank. Lantaran menurut banyak orang, kalau punya utang, orang jadi rajin kerja. Alias, mereka punya stimulus atau suplemen untuk kerja keras.
Memang ada orang yang jadi tambah rajin kerja, atau entah karena punya utang bank jadi harus kerja lebih keras. Namun, ada juga yang hanya rajin utang, tapi malas membayar atau mencicil utang. Ada? Banyak!
Soal jadi rajin kerja atau kerja keras, memang harus begitu. Kalau nggak kerja, gimana cara bayar utang? Namun, jangan sampai pandangan semacam itu digunakan sebagai pembelaan atas sikap hobi ngutang. Pasalnya, banyak orang yang punya utang segambreng, padahal hanya untuk memenuhi gaya hidup dan segala hal tak penting. Alias berutang bukan untuk kebutuhan dan tak sadar dengan kemampuan. Besar pasak dari pada tiang, kalau kata orang dulu.
Nah, saat diingatkan, dia tinggal ngomong bahwa karena utang bank etos kerjanya jadi meningkat. Oleh karena itu, katanya tak masalah punya utang banyak untuk hal tak penting itu. Padahal, itu hanya pembelaan diri saja atas sifat borosnya. Dan banyak dari mereka yang akhirnya hancur karena kebanyakan kredit.
Utang atau rajin ngutang, bisa jadi berbahaya. Apalagi saat sudah sampai taraf kecanduan. Lantaran, sudah terbiasa terpenuhi segala keinginannya lewat berutang, seseorang bisa jadi tukang ngutang yang akut. Pengin sesuatu tapi lagi bokek, langsung kredit. Padahal, dia nggak perlu-perlu banget. Kadang hanya karena korban tren atau mengejar gengsi sosial. Tetangga benerin rumah, ikut renovasi, sampai utang puluhan juta. Tetangga beli mobil, ikut ganti mobil, utang lagi. Kalau nggak segera kesampaian, ia malu dilihat tetangga. Menikah harus mewah, sampai utang juga. Saat ditagih WO, minggat. Ada? Buanyak buanget!
Lalu, salahkah berutang? Tidak, asal sesuai kaidahnya dan sesuai kebutuhan, atau untuk modal usaha. Apalagi sampai ikut pinjol yang aneh-aneh itu, jangan sampai, deh!
Berutang memang bisa dianggap sebagai pendorong semangat kerja, meningkatkan etos kerja juga. Atau bisa juga bikin seseorang agak terpaksa kerja lebih keras dari sebelumnya. Hal yang nggak boleh adalah menganggap utang bank sebagai satu-satunya jalan keluar dan akhirnya menjadi kecanduan berutang. Berbahaya!
Bagaimana dengan orang yang nggak punya utang bank, apakah ia tak punya etos kerja? Nggak, lah. Di lingkungan saya, banyak buruh sawah dan empang yang tak punya jaminan untuk berutang. Mau kredit motor saja tak sanggup membayar uang muka. Padahal mereka kerja sejak pagi buta sampai sore. Kadang harus ke sawah saat tengah malam juga, mbanyoni atau menata saluran air ladang. Lha, kurang rajin dan kurang keras apa mereka bekerja? Rumah dibangun sedikit-sedikit, motor bebek bekas, tapi mereka tetap rajin kerja. Etos kerjanya tak perlu dipertanyakan lagi.
Pasalnya, rajin itu soal sikap. Etos kerja itu bukan hanya tentang hutang sama bank atau tidak. Sayangnya, para kaum buruh menengah ke bawah ini yang kerap dianggap malas di lingkungan saya. Tentu karena tak punya rumah dan kendaraan seperti yang dimiliki para tetangganya itu. Dengan kata lain, anggapan tak punya kemampuan ngutang sama dengan malas, itu salah.
Mau punya kreditan di bank atau tidak, tak sepantasnya kita meremehkan usaha orang lain. Apalagi hanya karena melihat hasilnya dan apa yang terparkir di rumahnya. Tak semua orang punya kesempatan dan privilese yang sama. Bahkan dalam hal berutang ke bank sekalipun.
BACA JUGA Seharusnya Utang Piutang Masuk dalam Kurikulum Pendidikan Indonesia dan tulisan Bayu Kharisma Putra lainnya.