Bagi anak Indonesia Timur, Unhas Makassar bisa dianggap—tanpa mengerdilkan kampus yang lain—sebagai kampus paling top seantero Indonesia Timur. Semua manusia dari berbagai daerah di Indonesia Timur seperti berkumpul di Unhas. Mulai dari tanah Sulawesi: Makassar, Toraja, Manado, Palu, Kendari, Raha, Buton, dll. Sampai di luar Sulawesi juga ada: Lombok, Kupang, Ternate, Ambon, Papua. Unhas menjadi tuan rumah bagi Indonesia Timur itu sendiri.
Label Unhas juga adalah sinonim kebanggaan bagi masyarakat Sulsel itu sendiri. Tidak ada orang tua yang tidak bangga jika anaknya berhasil lolos seleksi masuk di Unhas. Kalau sudah begitu, tidak jarang keluarga si calon mahasiswa akan buat acara syukuran ngundang orang-orang sekampung jika anaknya lolos di Unhas. Menandakan betapa bangganya orang tua di sana dengan nama besar Unhas.
Namun sebagai alumni Unhas, jujur saja tidak ada yang spesial yang saya rasakan. Apalagi jika Anda adalah alumni Unhas yang memilih berkarier di Jawa, di mana semua kampus top Indonesia berkumpul. Unhas jadi tidak ada harganya di sini.
Unhas Makassar reality check
Berdasarkan QS WUR 2026, Unhas Makassar menempati peringkat 951-1000 di seluruh dunia. Sedangkan di level nasional, Unhas menepati peringkat 11. Fakta ini saja sudah cukup untuk menjelaskan bagaimana mediokernya Unhas dibanding kampus-kampus di Jawa. Sepanjang pengetahuan saya, Unhas bahkan belum pernah mencapai peringkat 5 secara nasional. Padahal Unhas nomor 1, loh, di Indonesia Timur.
Di sisi lain, Unhas tercatat sebagai salah satu kampus dengan profesor terbanyak di Indonesia. Ada 441 profesor di Unhas. Jumlahnya sama dengan UI yang berada di puncak klasemen. Tapi, toh, dengan jumlah profesor sedemikian banyaknya, Unhas hanya mampu nangkring di peringkat ke 11 sebagai kampus terbaik di Indonesia.
Ada prestasi lain, sih, yang ditorehkan profesor itu: menjadikan Unhas sebagai kampus nomor 4 dengan integritas riset terburuk se-Indonesia. Apa artinya? Bahasa bayinya gini: itu berarti risetnya Unhas gak bermutu makanya bolak-balik ditarik. Aduh, prof.
Kurikulumnya kurang praktis
Kurikulum pendidikan di Unhas juga kurang membekali alumninya dengan kemampuan praktis. Sebagai alumni jurusan Teknik Elektro, tentu sangat penting untuk mempunyai kemampuan praktis penggunaan aplikasi semisal AutoCAD, ETAP, MATLAB, dkk. Namun semua itu tidak saya dapatkan di bangku kuliah–gak tahu lagi, deh kalau sekarang. Kalau ingin mempelajari semua software itu, satu-satunya cara adalah belajar dari senior atau teman yang sudah mahir. Atau kalau punya duit banyak ambil saja kursus.
Saya masih ingat ada mata kuliah bahasa pemrograman waktu kuliah. Dan tahu bahasa pemrograman apa yang diajarkan waktu itu: Fortran. Benar, kamu tidak salah. Kami diajarkan Fortran bahasa pemrograman jadul itu. Jujur sampai sekarang saya masih bingung kenapa Unhas masih memasukkan Fortran di perkuliahan tahun 2014. Mengapa bukan C++, PHP, atau Phyton yang lebih populer digunakan saat itu.
Berbanding terbalik dengan alumni kampus top di luar Jawa yang sudah mahir mengoperasikan software dasar ketika sudah lulus kuliah. Saya kadang jadi minder di hadapan mereka kalau tidak bisa mengoperasikan software dasar itu. Jadinya setelah lulus kuliah, saya baru mengejar ketertinggalan.
Masih ada positifnya dikit-dikit
Yah, walaupun Unhas cuma jago kandang, masih ada kok aluminya yang bisa berkiprah positif di level nasional. Jusuf Kalla pernah jadi Wapres, Abraham Samad pernah jadi Ketua KPK, Hamdan Zoelva pernah jadi Ketua MK. Yang kiprahnya negatif juga tidak kalah keren, siapa lagi kalau bukan Harun Masiku.
Unhas sebenarnya punya satu bidang yang saya yakin bisa menjadi juara nasional, apalagi kalau bukan kuliner. Unhas punya “workshop” sebagai pusat kekayaan kuliner. Tapi jangan salah. Ini bukan workshop tempat bongkar pasang mesin, loh. Workshop bagi anak Unhas hanyalah semacam istilah yang merujuk ke pujasera alias tempat makan-makan. Di dalamnya berkumpul semua jenis penjual makanan. Dan tahu sendiri bagaimana rasanya kuliner Makassar. Mama mia lezatos!
Yah, begitulah nasib Unhas Makassar. Juara di regional, tapi tersengal-sengal di kancah nasional. Memang begitulah kenyataan hidup. Kita bisa saja jadi yang terbaik di satu kolam, tapi begitu ditaruh di lautan, kita jadi tahu, dunia kelewat luas, laut kelewat gelap, dan pemangsa sebenarnya berkumpul di sana.
Penulis: Riun Alwirun
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Sisi Gelap Kota Makassar: Pak Ogahnya Sangar, Tukang Parkirnya Kasar!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
