Tutorial Bikin Puisi Pascakontemporer yang Artsy

pascakontemporer

“Puisi kamu bagus?” begitu yang dijawab salah satu laman yang menampung puisi-puisi bagus saat menjawab pertanyaan kontributor ketika bertanya ngirim puisi di situ dapat honor atau enggak. Tentu saja jawaban itu bikin hati sesak menengok nggak ada salahnya nanya honor tentang karya yang mau dipublikasi.

Jawabannya itu mengingatkan saya kepada mas-mas progresif kampus yang kalau ditanya kegiatan yang ia buat berdampak apa bagi peserta, ia bakalan mencak-mencak dan menyeret semua isme-isme yang ia baca selama di perpustakaan kampus. Tapi, ya nggak masalah lah, kadang kan maba ketika bertemu ilmu baru, bakalan merasa bisa mengendalikan dunia lewat pemikirannya.

Kalau saya ditanya “Puisi kamu bagus?” oleh media tersebut, saya nggak bakal marah kok. Malah saya bertanya, “Lah, emang saya bikin puisi?”

Akun puisi itu membawa—katanya sih—embusan baru bagi dunia perpuisian. Yakni pascakontemporer. Ya nggak masalah sih. Tapi, ya kenapa nggak sekalian neo-kontemporer saja gitu lho. Biar lebih terkini dan makin ndakik-ndakik. Tapi saya baru ingat, “Pasca” ini lebih puitis ketimbang “neo”.

Pascakontemporer awkwkwkkwk. Maap, kelepasan ketawa.

Lantas banyak warga net yang bertanya, puisi pascakontemporer ki opooo? Apakah kita harus membaca Ferdinand de Saussure atau Michel Foucault dulu? Nyatanya tidak, kawan-kawan. Saya coba buatkan kiat membuat puisi yang pascakontemporer abiesss biar puisimu nggak ditanya “puisi kamu bagus?” sama bapak puisi pascakontemporer sedunia itu.

#1 Harus memuat nama-nama tokoh

Salah satu penggalan puisi milik bapak puisi pascakontemporer sedunia itu bertuliskan begini, “Kita mencibir yves bonnefoy” (nama Yves Bonnefoy nggak saya ganti pakai huruf capital agar nggak mengurangi nilai artsy puisi blio). Sedang Yves Bonnefoy ini adalah seorang sastrawan asal Prancis.

Lantas dalam penggalan puisi milik bapak puisi pascakontemporer sedunia yang lain bertuliskan gini, “di negeri dostoyevsky” (lagi-lagi, nama Dostoyevsky nggak saya ubah pakai huruf kapital biar pascakontemporer abiess). Sedang Dostoyevsky, salah satu penulis asal Russia favorit saya. Saya udah baca yang Crime and Punishment.

Nah, kalau Anda kepengin pascakontemporer abis, tinggal masukkan saja nama-nama tokoh dunia. Misalnya,

“Senyum indah seperti lengkungan hasil sepak Trent Alexander-Arnold.”

“Berat napas Enny Arrow.”

“Hidupku ka-chow seperti Lightning McQueen.”

“Pekik keras Uncle Muthu.”

“Kau menyihirku, Draco Malfoy.”

#2 Cari kata sulit di KBBI

Seperti kita tahu, salah satu contoh puisi apik dan memenuhi syarat pascakontemporer itu harus ndakik. Puisi favorit saya, milik Beni Satrio, “Aku menunjuk struk-struk yang terselip di bawah mangkuk acar. Itu apa? Harga yang harus kita bayar.” Palingan hanya dikomentari, “Puisi kamu bagus?”

Puisi milik bapak puisi pascakontemporer sedunia begini bentuknya, “Meneropong Oriental dari Occidental” (“Oriental” dan “Occidental” saya nggak edit dan tetap pakai kapital, soalnya pascakontemporer memang begitu, nama tokoh huruf kecil, sedang kata ndakik pakai kapital). Lantas apa itu oriental? Lantas occidental ini siapanya dokter gigi? Sila buka KBBI.

Nah, saya kasih kiat-kiat supaya puisi kamu lebih berbentuk pascakontemporer dan nggak dipermasalahkan ketika ditanyai honor.

“Kawan lama adalah adarusa ketika ada maunya.”

“Tempat monyet ada di gembiraloka, kalau kamu ada di asmaraloka.”

“Senja ini jatmika banget.”

“Tuk utuk, Handoko, eh, Hamtaro makan kanigara.”

“Pasha adalah vokalis band Kirmizi.”

“Ketika dirangsang, kukila selalu bangun.”

“Inspector Gadget pakai suryakanta.” Kok malah pengen tak bales “Cakeuuup!”

Intinya, pakai kata-kata yang jarang dipakai. Itu sudah. Eh, kurang pascakontemporer seperti “Membuat sarang di bibit lazuardi”? Tunggu sampai kamu membaca yang ini:

“Dua sisi bak sebuah taksa.”

“Mput-mputan di warung ugahari.”

“Tumbuh mejadi wanodya yang berdikari.”

Nah, itu dia kiat-kiat biar puisimu masuk dalam jajaran pascakontemporer. Ya, walau kita (atau lebih tepatnya saya) nggak bakalan bisa mendekati level bapak puisi pascakontemporer sedunia, setidaknya dengan kiat-kiat ini, puisi saya kelak nggak bakal ditanyain, “Emang puisimu bagus?” Modyaaar kowe nek ditakoni itu.

Sumber Gambar: Pixabay

Editor: Rizky Prasetya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version