Toyota Calya: Tangguh, Irit, tapi Joknya B Aja

Calya

Pada weekend kemarin, saya-istri beserta teman-istrinya jadi berlibur ke pantai selatan di daerah Gunungkidul. Sebut saja Pantai Somandeng. Ya, jadi akhirnya… karena awalnya kami berencana berangkat jam empat sore. Namun, sempat di-ghosting berjam-jam dan cus berangkat jam delapan malam.

Saya sempat berpikir bahwa dia akan datang dengan “mobil khas sejuta umat”, sesuai kata kunci yang dikirimkan ke WhatsApp saya. Namun, persepsi saya mendadak berubah saat mobilnya datang dengan berkali-kali mengklakson di depan rumah.

Lo, Avanza/Xenia kok oranye?

Ternyata setelah saya mendekat, lalu mempersilakan mereka untuk masuk dan berpamitan kepada Ibu, baru terlihat jelas. Mobil kinclong di bawah temaram lampu jalan itu adalah Calya. Mirip lagu India yang pernah viral satu dekade silam saat dinyanyikan oleh Briptu Norman Kamaru.

Kalian ada yang tau lagu ini? Ketauan tua.

Dari luarnya, Calya ini tampak seperti mobil masa kini, alias transmisi matic. Meskipun menurut pengakuan teman saya, mobil ini adalah Calya model transmisi manual. Mulus dan elegan memang. Sebuah tanggapan singkat-padat-jelas dari penumpang macam saya. Hehehe.

Akhirnya kami berangkat, dan mobil distarter dan rasanya cukup halus. Bodinya nggak keder, nggak kalah sama mobil MPV sejuta umat.

Dengan mengucap basmalah, kami berempat pun berangkat. Dia dan istrinya duduk di bangku baris terdepan, sedangkan saya dan istri duduk di bangku baris kedua. Untuk bangku baris ketiga, joknya dilipat untuk ditaruh barang-barang bawaan kami, seperti koper, tas, tripod, payung, termasuk tikar untuk leyeh-leyeh di pantai.

Lalu, saya memandangi sekilas interior mobil ini. Ada panel AC, panel musik, speedometer analog untuk kecepatan dan RPM, serta indikator bensin digital. Memang, sih, bahan dashboard-nya itu terkesan pas-pasan. Apalagi mobil ini termasuk dalam kategori LCGC, yang katanya ekonomis dan ramah lingkungan itu.

Satu hal yang membuat saya cukup lama memandang interior mobil ini adalah tempat persnelingnya yang menurut saya nggak biasa. Persnelingnya nggak berada di antara pengemudi dan penumpang depan seperti mobil pada umumnya, tapi di dashboard. Hal ini mengingatkan saya pada tuas persneling Honda Stream.

Hanya pada putaran satu, embusan AC mobil ini sudah terasa sangat sejuk. Terlebih lagi, saya baru sadar kalau mobil ini belum menggunakan AC double blower. Kalau kata dia, istilahnya itu pakai air circulator. Semacam kipas angin, jadi kayak ada efek semilirnya, begitu.

Nah, untuk kualitas speaker musiknya, saya belum tahu. Soalnya sepanjang perjalanan, kami nggak menyetel musik sama sekali. Barangkali, dia adalah tipe orang yang lebih mengutamakan interaksi sosial daripada kepuasan pribadi.

Kemudian, pada bangku baris kedua sudah terdapat panel power electric window beserta tempat minum. Saya juga melihat ada seat belt pada bangku baris kedua dan ketiga. Hal ini tentu menambah kenyamanan, supaya nggak gampang megal-megol di setiap melintasi tikungan tajam.

Sepanjang perjalanan, awalnya saya merasa nyaman dengan jok mobil khas fabric kelir ini. Lama-kelamaan, saya mulai merasakan pegal di bagian punggung. Kami berangkat dari Kartasura, Sukoharjo. Lah, baru sampai daerah Ceper, Klaten, saya sudah mulai mengganti-ganti posisi duduk. Tapi, nggak sampai jongkok, lo, ya, hehehe.

Saya pikir, mungkin karena postur tubuh saya yang tinggi, sekitar 172 cm, adalah alasannya. Namun, istri juga mengalami keluhan yang sama. Dengan postur tubuh sekitar 155 cm, dia merasa pegal di bagian tengkuk.

“Ah, harusnya bantal tidur di kamar tadi kubawa!” gerutunya.

Padahal, kalau saya perhatikan lagi jok ini sudah dilengkapi dengan headrest. Yah, walaupun kalau menurut saya, headrest-nya masih menyatu dengan jok dan terlalu rendah. Jok ini juga belum dilengkapi dengan arm rest. Jadi, kalau tangan sudah mulai kaku, saya biasa memegang handgrip di bagian atas pintu mobil. Namun, untuk sekadar mengoletkan kaki atau selonjoran, masih cukup lega, kok.

Saat melewati sepanjang jalan di Bukit Bintang yang khas menanjak dan berkelok-kelok, saya mulai merasa ada efek limbung dari mobil ini. Terlebih lagi saat berpapasan dengan bus atau truk berkecepatan tinggi. Mungkin karena faktor material bodinya yang tipis.

Namun, tarikan gas mobil ini masih cukup responsif dan menanjak tanpa kesulitan yang berarti, sekalipun di depan ada truk urug yang terus-terusan ngeden mesinnya itu. Pengereman dan pengendalian mobil yang saya rasakan pun berjalan dengan smooth. Terlebih lagi, fitur lampunya yang benderang sangat cocok untuk melintasi perbukitan dan hutan-hutan gelap.

Saat melewati sepanjang Jalan Baron yang khas enggak rata permukaannya, saya rasa mobil ini masih cukup nyaman. Mungkin karena suspensinya yang empuk. Jadi, masih bisa ditoleransi, lah, efek grudug-grudugnya. Saya juga nggak merasakan efek gasruk dari mobil yang katanya terkenal amblas ini, lo. Sepertinya mobil ini sudah mengalami maintenance atau semacamnya.

Akhirnya, kami tiba di penginapan dekat Pantai Somandeng tengah malam. Yah, sekitar empat jam perjalanan. Sudah termasuk istirahat makan soto ayam-teh hangat dan isi bensin di SPBU Kartasura. Saya pernah mendengar kalau mobil ini terkenal irit konsumsi bensinnya. Dan ternyata memang benar adanya. Seratus ribu rupiah masih turah, lo, untuk perjalanan Kartasura—Pantai Somandeng PP. Wow, good bener!

Sebelum kami turun dari mobil, petugas penginapan mengarahkan mobil kami untuk parkir ke tempat yang lebih nyaman. Saat teman saya melakukan perpindahan gigi mundur, saya mendengar semacam suara biiip… yang katanya itu suara sensor parkir. Dengan begitu, kita jadi lebih mudah memarkirkan mobil, apalagi di tempat yang sempit dan gelap.

Setelah kami semua turun dari mobil, saya melihat-lihat lagi bagian luar mobil ini. Dari pelat nomornya tertulis tanggal 10.23. Menurut ilmu titen yang saya pelajari, kita dapat mengetahui tanggal produksi mobil berdasarkan kode plat nomor tersebut. Jadi, saya yakin sekali bahwa mobil Calya ini model tahun 2018. Selain itu, mobil ini termasuk varian EMT yang sudah ABS (kata dia lagi).

Kesimpulannya, mobil ini sip buat keluarga kelas menengah ke bawah, termasuk saya. Kalau soal ketangguhannya, saya, sih, yes. Namun, kalau soal kenyamanannya, saya, sih, average. Mungkin kalau buat perjalanan dekat, masih bisa dikategorikan nyaman. At least, mobil ini nggak kalah modis sama mobil lainnya yang mejeng di penginapan dan sekitar pantai saat itu. Bolehlah kalau sekadar buat bilang ke orang-orang: This is our Calya!

Sumber Gambar: Unsplash

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version