Penantian panjang itu akhirnya terbayarkan. Ya, Garuda Pertiwi akan (kembali) tampil di Piala Asia 2022 di India setelah absen lebih dari tiga dekade.
Memang bukan kali pertama Timnas Putri Indonesia berlaga di turnamen terbesar se-Asia itu. Ini adalah keikutsertaan kelima kalinya para Srikandi di ajang tersebut, setelah sebelumnya pada 1977, 1981, 1986, dan yang terakhir 1989.
Prestasi Timnas Putri Indonesia terdahulu juga terbilang bagus. Pada turnamen 1977 di Taiwan misalnya, Indonesia berhasil finish di urutan keempat dari enam negara yang ikut serta (Indonesia, Taiwan, Jepang, Thailand, Singapura, dan Hong Kong).
Saat itu, Timnas Putri Indonesia mampu melangkah sampai ke babak semi final. Namun sayang, di partai tersebut, Garuda Pertiwi harus takluk dari Thailand dengan skor 1-2, lalu menyerah pada Singapura di perebutan juara ketiga.
Absen pada gelaran 1979 di India, Timnas Putri kita kembali ambil bagian pada 1981 di Hong Kong. Berharap menuai hasil yang lebih baik dari edisi sebelumnya, para pasukan putri tanah air justru gagal total. Tergabung dalam grup neraka bersama Taiwan, Thailand, dan Jepang, Indonesia harus legowo menerima 13 kali kebobolan dalam 3 pertandingan tanpa bisa menyarangkan bola satu pun ke gawang lawan.
Mencoba melupakan kenangan pait sebelumnya, pada gelaran Piala Asia 1986 yang juga diselenggarakan di Hong Kong, Timnas Putri kita berangkat dengan kepercayaan diri tinggi. Alhasil, Garuda Pertiwi mampu melangkah ke semifinal untuk kedua kalinya setelah mendapatkan 6 poin hasil dari menekuk Hong Kong dan Nepal.
Namun sayang, batu besar kembali menghadang Garuda Pertiwi. Di laga empat besar, China menjelma menjadi tembok yang sangat sulit ditembus. Sembilan gol harus diterima para Srikandi tanpa memasukkan satu gol pun ke gawang China.
Tak patah arang, Indonesia masih ingin berupaya menebus kegagalan sembilan tahun yang lalu, yang mana mereka gagal menjadi juara ketiga tatkala dihempaskan oleh Negeri Singa.
Sayangnya, Indonesia kembali gagal. Lagi-lagi Thailand kembali menjadi mimpi buruk bagi para Garuda Putri.
Tiga tahun berselang, tepatnya di 1989, Timnas Putri Indonesia juga tak mampu berbicara banyak di persaingan kancah kontinental ini.
Tergabung dalam grup B, Indonesia dilumat Jepang pada pertandingan pembuka dengan skor 11 gol tanpa balas. Sebetulnya, Indonesia masih berpeluang lolos ke fase selanjutnya setelah menekuk Nepal delapan gol tanpa balas. Namun, hasil imbang kontra Hong Kong di pertandingan ketiga membuat Indonesia harus rela pulang lebih awal.
Tahun ini Indonesia berkesempatan kembali ke persaingan kancah kontinental tersebut. Keberhasilan Timnas Putri kita bisa dikatakan adalah sebuah anomali yang janggal. Bagaimana tidak, prestasi ini ujug-ujug datang tanpa sebuah proses yang panjang dan terstruktur.
PSSI sebagai federasi tertinggi dinilai gagal dalam membantu proses pembinaan sepak bola putri. Ketiadaan kompetisi dan pembinaan usia dini merupakan bentuk kealpaan dari federasi.
Tapi, apakah PSSI lepas tangan begitu saja terhadap sepak bola putri? Jelas tidak. Iwan Bule selaku ketua PSSI menghidupkan kompetisi elit resmi di bawah naungan PSSI dengan nama Liga 1 Putri pada 2019 lalu.
Di edisi perdana, Liga ini baru diikuti oleh 10 tim, yaitu Arema Putri, Bali United Women, Galanita Persipura, Persebaya Putri, Persib Putri, Persija Putri, PSIS Putri, PSM Putri, PSS Putri, dan Tira-Persikabo Kartini. Namun kompetisi ini berumur singkat, Liga 1 Putri seakan terlupakan tatkala liga di sektor putra kembali bergulir.
Kali ini, anak asuh Rudy Eka Priyambada harus siap menghadapi raksasa sepak bola seperti Australia dan Thailand, dua negara dengan iklim sepak bola wanita yang lebih mentereng dibandingkan kita. Selain itu ada Filipina, yang jujur, lebih baik dari kita di atas kertas. Sebab, mereka menempati pot 4 dalam undian atau setingkat di atas Indonesia.
Jalan gelap dan terjal harus mereka lewati, bermodalkan “senjata” yang tidak lebih baik dari lawan, kita tidak boleh sekalipun merasa kalah sebelum bertanding.
Ya, lawan kita memang berada pada level yang berbeda. Nama-nama beken berlabel Eropa memang banyak mengisi skuat The Matildas. Seperti Sam Kerr yang bermain untuk Chelsea, Ellie Carpenter yang dikontrak oleh raksasa sepak bola wanita, Olympique Lyon. Keduanya pun telah mencicipi atmosfer Liga Champions wanita.
Ya, keduanya akan beradu kemampuan dengan Shalika Aurelia dan kolega tatkala Indonesia bertemu Australia.
Pun dengan Thailand, musuh bebuyutan Indonesia di kancah ASEAN ini juga siap menjegal langkah Garuda Pertiwi untuk tampil di fase yang lebih tinggi. Dan, Filipina juga datang dengan persiapan yang matang, pemusatan latihan sejak November dan kembali menggiatkan liga lokal menjadi bukti tim ini ingin prestasi yang lebih baik.
Berbicara mengenai sepak bola wanita, jelas tidak akan semeriah sepak bola putra. Jangan berharap tentang nyanyian suporter yang berkumandang 90 menit penuh, stadion yang penuh sesak oleh pendukung, atau giant flag yang terbentang dari tribun satu ke tribun yang lain. Tidak. Sepak bola putri kita masih jauh untuk mencapai level itu.
Sepak bola di sektor putri dan putra layaknya dua hal yang berbeda dimensi. Bagi masyarakat kita, sepak bola wanita masih asing terdengar.
Namun, kali ini, kita tampil di Piala Asia. Sebuah ajang yang terakhir kita rasakan pada tahun 2007, saat kita menjadi tuan rumah bersama dan menyaksikan perjuangan Elie Aiboy dan kolega menghadapi Bahrain, Arab Saudi, dan Korea Selatan.
Kali ini berbeda, Timnas Putri kita yang akan tampil dengan gagah memperebutkan piala yang belum pernah disentuh oleh para pemain kita. Baik putra maupun putri.
Harapan tentu selalu ada, serta dukungan juga akan selalu diberikan untuk siapapun yang berlaga menggunakan dengan lambang garuda di dada. Berjuanglah Garuda Putri. Tuntaskan!
Penulis: Devandra Abi Prasetyo
Editor: Rizky Prasetya