The Lighthouse: Adu Testosteron hingga Metafora Prometheus-Proteus

resensi review film the lighthouse film horor psikologis sinopsis mojok.co

resensi review film the lighthouse film horor psikologis sinopsis mojok.co

Setelah sukses debut dengan film The Witch pada 2015, Robert Egger kembali menunjukkan karyanya lewat The Lighthouse dengan menggandeng Robert Pattinson dan Willem Dafoe sebagai pemain. Film ini bergenre horor psikologis yang tidak biasa dan membingungkan. Sepanjang pemutaran film, kita akan dibuat bingung dengan siapa yang benar dan siapa yang salah. Untuk mengetahui nama karakternya saja, kita harus menunggu sampai menit ke-31 dan 46. Sampai di akhir film pun, kita masih dibuat melongo dengan ending yang rancu.

(Tulisan ini mengandung spoiler.)

Kisah dua pria penjaga mencusuar terdampar di pulau terpencil

The Lighthouse Berlatar tahun 1890-an, Thomas Wake, penjaga mercusuar senior yang egois, suka memerintah, dan percaya takhayul mendapat rekan baru seorang pemuda pendiam dan kaku bernama Ephraim Winslow untuk menjaga mercusuar selama empat minggu. Dengan watak mereka yang demikian, hidup hanya berdua tanpa hiburan pengusir bosan, tentu hanya adu testosteronlah yang bisa dibayangkan. Adu kekuatan, saling menunjukkan siapa yang paling berhak memerintah, dan mempertahankan harga diri masing-masing sebagai pria.

Bermodal usia tua dan jam terbang yang (katanya) sudah tinggi, Wake memperlakukan aturan kerja yang timpang untuk Winslow. Winslow ia beri pekerjaan berat di siang hari, mulai dari mengangkut batu, mengangkat tong minyak untuk lampu mercusuar, mencari makan, sampai membersihkan rumah. Tidak hanya memerintah dengan tidak adil, Wake juga sering melontarkan kata kasar ketika pekerjaan Winslow kurang beres. Wake sendiri hanya menjaga lampu mercusuar di malam hari dan melarang keras Winslow untuk naik ke puncak menara. Hal itu membuat Winslow penasaran berat dan mulai berhalusinasi, menerka-nerka apa yang ada di atas sana.

Hingga di hari terakhir mereka berjaga, ternyata cuaca buruk dan badai menghantam pulai terpencil itu. Tidak ada kapal atau perahu yang menjemput mereka. Winslow yang sudah tidak tahan pun semakin gila begitu tahu ia terdampar bersama atasan otoriter tanpa tahu kapan bisa pulang.

Dua karakter utama The Lighthouse bisa membuat penonton ikut sinting

Ketika menonton sebuah film, setidaknya kita akan memihak kepada salah satu karakter, terutama karakter protagonis. Namun, dua tokoh ini memiliki karakter yang buram dan sama-sama tidak bisa dipercaya. Winslow yang pendiam dan kelihatan lebih waras daripada Wake, ternyata tidak bernama Winslow, tapi Thomas Howard. Wake yang gemar kentut sembarangan begitu percaya takhayul soal manusia duyung dan kutukan membunuh burung camar karena di dalam raga burung camar ada jiwa-jiwa pelaut yang mati. Mungkin saja Wake telah membunuh rekan kerja sebelumnya dan menjadikan Winslow santapan berikutnya.

Di malam terakhir mereka berjaga, mereka meminum banyak alkohol yang membuat mereka mabuk berat dan berbicara ngelantur. Setiap mereka mabuk, kita akan dibuat bingung dengan gelagat mereka yang tiba-tiba akrab bernyanyi bersama, lalu mencaci satu sama lain, kemudian saling berpelukan, tidak lama kemudian mereka saling memukul lagi.

Ketika mereka siap untuk pulang, ternyata tidak ada kapal atau perahu yang menjemput. Thomas Howard percaya bahwa mereka terlambat bangun karena mabuk. Namun, Wake mengatakan mereka telah tidur berminggu-minggu. Ketika Thomas Howard ingin kabur dengan kapal kecil di pulau tersebut, Wake mengejarnya dengan kapak dan beralasan tidak ingin ditinggal sendirian di mercusuar. Namun, Wake mengatakan Thomas Howard-lah yang mengejarnya dengan kapak. Semua seakan menutupi kebohongan masing-masing dengan kebohongan-kebohongan baru dan saling memutar fakta.

Ditambah dengan halusinasi Thomas Howard yang tiba-tiba melihat manusia duyung yang sangat cantik, kemudian berubah melihat banyak tentakel gurita yang mencekiknya, sosok Winslow asli yang mati saat bekerja, dan penemuan kepala manusia bermata satu di perangkap kepiting yang menurut Thomas Howard, itu adalah potongan kepala rekan lama Wake. Sampai akhir cerita pun kita bingung siapa di antara mereka yang gila. Atau mereka semua memang gila sejak awal dan membuat kita ikut-ikutan gila? Siapa tahu.

Film horor yang dikemas berbeda dan lebih membuat sesak.

YouTuber Filo Sebastian pernah bilang, manusia lebih menyeramkan daripada hantu karena memiliki kesempurnaan fisik yang bisa kapan saja mengancam dan melukai orang lain tanpa aba-aba. Film ini menekankan bagaimana rasa kesepian dan pertaruhan ego sesama laki-laki bisa mempengaruhi kejiwaan masing-masing dan memicu rasa ingin membunuh antara keduanya. Jika kalian berharap ada jumpscare kuntilanak atau hantu tanpa kepala, film ini akan mengecewakan kalian.

Film ini memiliki standar horornya sendiri dengan warna hitam putih dan rasio gambar yang membuat layar tiba-tiba hanya sekubus kecil di tengah, membuat kita sebagai penonton dilingkupi rasa sempit yang sesak. Didukung dengan soundtrack yang mengandalkan suara-suara nyata, seperti suara mesin mercusuar, deburan ombak, teriakan burung camar, dan kentut Wake, menambah kesan horor yang berbeda dari yang lain. Kita dibuat curiga dan waswas dengan setiap suara yang ada.

The Lighthouse memakai metafora mitologi Yunani Prometheus dan Proteus

Saya, dan mungkin semua yang menonton pertama kali­, akan dibuat bingung dengan jalan cerita, ending, dan pesan yang akan disampaikan sutradara. Setelah membaca banyak sumber, saya menemukan bahwa film ini merupakan metafora dari mitologi Yunani Prometheus dan Proteus. Di sini, Proteus (dilambangkan oleh Thomas Wake) yang merupakan penguasa lautan yang sangat cerdas. Namun, ia sangat pelit ilmu. Ini terbukti dengan sikap Thomas Wake yang tidak memberikan kesempatan Winslow/Howard untuk naik ke lampu mercusuar.

Di sisi lain, Prometheus (dilambangkan oleh Winslow/Howard) dikenal sebagai pemberi. Ia terkenal karena membuat Zeus marah akibat mencuri api dan menyebarkan kecerdasan kepada umat manusia. Di film ini, Winslow/Howard begitu berambisi untuk “mencuri” lampu mercusuar yang merupakan simbol dari api yang dicuri Prometheus.

Namun, ada satu teori yang menurut saya juga masuk akal. Lampu mercusuar diibaratkan sebagai “surga” tempat kenikmatan dan cahaya hanya didapat orang tertentu. Di sini, Wake diibaratkan sebagai “penjaga surga” yang terus memaksa Winslow/Howard untuk kerja keras dan melarang naik ke lampu mercusuar sebagai penebusan dosa di dunia. Wake juga identik dengan buku catatan kerjanya yang bisa saja merupakan simbol “buku catatan amal baik dan buruk” Winslow/Howard.

Namun, Winslow/Howard malah terhasut godaan duniawi dan melakukan maksiat dengan membayangkan bersetubuh dengan putri duyung. Di akhir cerita juga ditunjukkan bagaimana Winslow/Howard yang berhasil naik ke atas lampu dengan cara membunuh Wake. Bukannya mendapat kenikmatan, ia malah terlempar jatuh ke bawah dan mayatnya disantap oleh burung camar.

Secara keseluruhan, film ini wajib ditonton oleh penggemar film horor psikologis. Kalian akan dituntut untuk berpikir jernih, menebak siapa yang salah, dan jangan sampai ikut-ikutan gila seperti mereka.

BACA JUGA Rekomendasi Film Adaptasi Novel Anti Gagal. Biasa Mengecewakan, yang Ini Lumayan 

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version