Kisah ini datang dari kawan saya, sebut saja Intan. Kami kuliah di kampus dan jurusan yang sama di kota pahlawan. Dua tahun lalu, angkatan kami diberangkatkan dan disebar ke desa-desa di dua kabupaten di Jatim untuk melaksanakan salah satu dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Ya, pengabdian masyarakat atau istilah lainnya Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Alkisah. Basecamp kelompok Intan tidak terletak di pelosok desa, melainkan lumayan dekat dengan jalan raya yang menghubungkan antara kabupaten tempat kami mengabdi. Intan dan anggota kelompok lainnya ditempatkan di salah satu rumah warga yang jika dilihat dari luar bisa dikatakan kecil, tapi berbeda halnya jika sudah masuk ke dalamnya, rumah itu bisa dikatakan cukup luas, memiliki banyak bilik kamar tidur, tidak tanggung-tanggung ada tujuh kamar tidur dalam rumah itu. Itu belum terhitung ruang-ruang lainnya yang ada di bagian belakang rumah tersebut.
Di antara tujuh kamar tersebut, hanya ada dua kamar yang diperbolehkan untuk dijadikan sebagai kamar tidur, sisanya tetap terkunci dan terlihat di sela-sela ventilasi plafon yang sudah mengelupas, dan terlihat tak terawat.
Kelompok Intan berjumlah 15 anak, jumlah yang sama seperti kelompok lainnya. Dengan komposisi 10 perempuan dan 5 laki-laki. Anak laki-laki ditempatkan di rumah yang berbeda, tapi tetap di rumah warga. Hanya saja basecamp utama tetap di rumah yang ditempati oleh anak perempuan.
Awal mula masuk ke dalam rumah itu—dengan di dampingi oleh Mbok Supiyah saudara siempunya rumah—ada sebagian anak yang merasa tidak nyaman dan sumuk, termasuk Intan. Mungkin jendela-jendela dari rumah itu tidak di buka dan lama tidak ditinggali, pikirnya. Dan benar saja meja dan kursi tamu nampak diselimuti debu yang cukup tebal.
Sawang laba-laba pun terlihat di setiap sudut plafon rumah. Yang membuat Intan dan beberapa kawan perempuan lainnya cukup “terganggu” adalah lukisan seorang perempuan setengah baya, menggenakan kebaya warna putih dan bawahan batik berwarna cokelat kehitaman dengan pose duduk agak menyerong ke kanan, dan tanpa senyuman alias datar, matanya menatap tajam ke depan. Siapapun yang melihatnya walau sekilas, mungkin akan risih dan tak nyaman dengan keberadannya.
“Rumah ini sudah setahun tidak ditempati mas, mbak. Jadi, ya seperti ini kondisinya sekarang. Terakhir saya bersihkan sudah tiga bulan yang lalu, sebab saya sibuk dengan kerjaan saya.”
Demi mendengar informasi itu, mereka semua saling bersitatap, merasa agak wagu dan langsung merasa tidak nyaman saja.
“Si empunya rumah ini sudah pindah ke Jakarta setahun lalu dan rumah ini untuk sementara saya yang menjaga dan membersihkannya,” imbuhnya.
Intan hanya mengangguk sembari melihat ke sekeliling rumah.
…
Minggu pertama berlalu, semua agenda berjalan normal. Bersilaturrahmi ke kepala desa, carik, pamong desa, juga warga sekitar basecamp. Melakukan pemetaan desa, hingga penelitian demografis desa pun dimulai.
Minggu kedua. Sekira pukul 03.30 pagi, Intan mulai merasakan hal yang aneh ketika ia sedang mandi. Pada siraman pertama dan kedua, ia tidak merasakan hal aneh. Pada siraman yang ke sekian, pas gayung berada di atas kepala, Intan merasakan seperti ada yang menekan gayung dari atas, “Mungkin hanya perasaannya saja,” batinnya. Hal itu terjadi lagi pada siraman berikutnya. Tapi ia mencoba untuk tetap positive thinking. Hingga siraman yang ke sekian, tekanan itu cukup keras, hingga gayung itu sedikit menyentuh kepalanya. Intan cukup panik, dan buru-buru keluar dari kamar mandi.
Dari situlah, Intan merasa ada yang tidak beres di rumah itu. Tapi ia enggan menceritakan kepada kawan-kawannya perihal kejadian ganjal yang dialaminya, sebab jika kejadian itu diceritakan, boleh jadi rasa takut dan was-was yang ada padanya akan menjalar ke anggota lainnya. Oleh karenanya, Intan membiarkan kejadian aneh nan miterius itu dialami sendiri oleh kawan-kawannya.
Minggu ketiga, di hari kamis malam Jum’at. Intan dan kawan-kawan lainnya memenuhi undangan tahlilan dari pak carik, dan menyisakan dua teman perempuan yang sedang sakit dan tidak ikut pada acara tersebut.
Mula-mula mereka berdua tidak merasakan gangguan apapun, mereka sibuk dengan gawainya masing-masing dan sesekali mengobrol. Disaat mereka asyik memainkan gawai, tiba-tiba disalah satu kamar kosong itu terdengar tiga kali suara ketukan yang terdengar cukup pelan. Ketukan itu terulang ke dua kalinya setelah jeda 30 detik, mereka fikir itu adalah warga, hingga pada akhirnya salah satu diantara mereka menuju pintu depan untuk membukakan pintu. Pintu dibuka, tapi tidak ada siapa-siapa disana, pintu pun ditutup kembali.
Selang beberapa menit, ketukan itu kembali terdengar, kini suaranya cukup nyaring, Mereka mendengarkan dengan saksama dimana sumber suara tersebut. Dan mereka baru menyadari bahwa suara ketukan itu bukan berasal dari pintu depan, melainkan dari salah satu kamar yang tertutup rapat dibagian belakang rumah, padahal tidak ada siapa-siapa di rumah itu selain mereka berdua.
Pada ketukan yang ketiga kalinya, mereka saling bersitatap dan mulai merasakan bahwa ada yang tidak beres di rumah itu dan mulai merasakan bahwa ada “makhluk lain” selain mereka. Lalu mereka buru-buru menuju teras rumah untuk mencari sinyal dan langsung mengabari Intan via whatsapp, bahwa ada hal menyeramkan yang mereka alami, dan menyuruh seluruh anggota untuk segera pulang.
Pada malam itu juga, mereka berdua menceritakan tentang kejadian yang barusan mereka alami. Tapi, anak laki-laki menangapinya dengan santai, mungkin hanya halusinasi mereka saja, karena kebetulan mereka sedang sakit, secara tubuh dalam keadaan lemah, sehingga ada kemungkinan mereka halu dalam waktu yang bersamaan.
Kali lain, lewat tengah malam. Ketika Intan dan seluruh anggota perempuan lainnya bersiap untuk tidur di ruang tengah. Mereka mendengar adanya suara guyuran air dari kamar mandi, seperti ada yang mandi, padahal mereka semua ada di kamar tengah. Mereka bersitatap satu sama lain, medengarkan lagi dengan saksama guyuran air itu yang jaraknya tidak terlalu jauh. Dan benar ada suara guyuran air dari dalam kamar mandi. Mengetahui hal itu, seketika mereka menarik selimut dan menutupi kepala hingga kaki, dengan telinga disumpal dengan tangan.
Dari kejadian itu, pintu kamar mandi ditempeli tulisan doa sebelum masuk kamar mandi, tujuannya jelas, agar terhindar dari hal-hal yang tak diinginkan. Namun kejadian aneh itu terulang di keesokan lusa, lebih tepatnya di tanggal ganjil. Intan pun berinisiatif untuk membuat WhatsApp grup khusus perempuan, tanpa sepengetahuan anak laki-laki. Ini dimaksudkan untuk saling bertukar informasi perihal kejadian aneh yang belakangan ini mereka alami bersama.
Di tanggal ganjil berikutnya, hampir lewat tengah malam, mereka sudah bersiap untuk menanti guyuran air itu. Keringat dingin mulai mengucur disela-sela kulit tangan dan dahi. Ditunggunya guyuran air itu. Selama 15 menit, 30, 45, dan satu jam berlalu, tidak ada tanda-tanda adanya guyuran air. Dan ketika mereka memutuskan untuk tidur, suara ketukan pintu itu kembali terdegar, tiga ketukan dengan interval waktu 5 menit, kemudian terdengar lagi dengan jumlah ketukan yang sama. Mereka ketakuatan setengah mampus atas teror malam itu.
Setelah ketukan, mendadak ada suara tangisan yang sangat lirih, seperti merintih kesakitan, meminta pertolongan. Tangisan misterius itu berdurasi 1 menit. Intan dan teman perempuan lainnya tidak berani keluar dari selimut, mereka berpelukan satu sama lain. Setelah itu barulah ada guyuran air dari kamar mandi. Sembari menutupi dirinya dengan selimut, Intan mencoba untuk menghubungi seluruh anggota laki-laki. Beruntung ada dua orang yang belum tidur, maka mereka berdua segera menuju basecamp, yang jaraknya 300 meter dari basecamp laki-laki.
Setelah ketua dan satu anggota lainnya sampai, mereka berdua mendapati anak perempuan lainnya sedang menutup diri dengan selimut, sejurus dengan itu suara guyuran itu sirna. Dari situlah Intan dan seluruh anggota perempuan lainnya menceritakan hal-hal yang dirasa sangat ganjal dan misterius, membuat mereka merasa tak nyaman dan ketakuan.
Pak ketua mencoba untuk menenangkan suasana, dan bilang besok pagi kelompoknya akan kedatangan tamu, dan kebetulan salah satunya dapat mengetahui keberadaan makhluk tak kasat mata. Sebenarnya ia memperkiran dan ingin bilang bahwa sosok penganggu itu kemungkinan besar adalah miss K alias kuntilanak. Tapi ia mengurungkannya.
Singkat cerita, tamu yang ndilalah juga teman Intan itu memang melihat ada satu sosok miss K dengan daster berwarna putih yang nampak lusuh dan kumal di bagian perut ke atas dan merah dari perut hingga ke bawah, ia suka mondar-mandir antara kamar mandi dan kamar tempat ia suka mengedor pintu dan menangis. Warna merah itu lebih karena darah yang mengucur dari kedua tangannya. Mukanya tak terlihat karena tertutup rambutnya.
Mendengar kesaksian itu, sontak Intan dan teman perempuan lainnya terperanjat dan secara otomatis merasa ketakutan sekaligus merinding bahwa ada sosok kuntilanak di rumah yang selama ini mereka tinggali. Dan ia berpesan untuk mendo’akan makhluk itu, agar ia tenang dan tidak menggangu lagi dengan seizin-Nya tentunya.
Keesokan harinya, seluruh anggota kelompok memanggil Mbok Supiyah, ke rumah, hanya untuk sekadar meminta keterangan sebenarnya ada rahasia apa yang masih tersembunyi di dalam rumah ini. Mbok Supiyah pun bercerita.
“Jadi kamar itu adalah kamar bekas bunuh diri seorang wanita, lebih tepatnya istri si pemilik rumah yang sebelumnya dibeli oleh saudara saya. Wanita itu bunuh diri karena sudah tidak tahan dengan perlakuan bejat suaminya.”
“Perlakuan seperti apa yang membuatnya bunuh diri?” ujar ketua kelompok.
“Sang suami sering mabuk-mabukan, akhirnya hilang kesadaran lalu memukuli istrinya dengan benda-benda yang ada di dekatnya. Sang istri berusaha untuk menghindar dan menenangkannya, tapi nihil. Kejadian itu terulang kembali hingga beberapa bulan. Dan puncaknya, sang suami membawa perempuan lain ke rumah. Sang istri mempertanyakan siapa perempuan itu, belum usai bertanya, sang suami malah menampar sang istri sekencang-kencangnya. Sang istri tidak terima, lantas meninggalkan rumah itu untuk sementara waktu, entah ia pergi kemana, yang jelas ia butuh ketenangan.” Intan dan seluruh anggota kelompok khusyuk mendengarkan.
“Hingga pada keesokan harinya, sang istri ditemukan tak bernyawa di kamar itu dengan mulut berbusa dan tangan bersimbah darah. Kemungkinan besar ia menenggak racun, kamudian menyayat tangan kirinya dengan silet.” Seluruh anggota merinding seketika.
“Saya meminta maaf jika tidak memberitahu hal ini kepada kalian di awal. Karena takutnya jika saya beritahu hal ini di awal, kalian tidak akan menempati rumah ini dan saya pikir tidak ada lagi rumah tak berpenghuni yang fasilitasnya selengkap rumah ini.”
Intan beserta seluruh anggota memaklumi akan hal itu. Usai bercerita, ketua kelompok berinisiatif untuk mendoakan, demi ketenangan dan keselamatan ruhnya, di samping juga agar tidak lagi diganggu olehnya dan makhluk astral lainnya. Seluruh anggota menyetujui, lantas mereka beserta Mbok Supiyah mendoakan ruhnya.
Tepat H-2 sebelum pulang, seluruh anak perempuan tidak lagi merasakan adanya gangguan, tidak ada lagi yang mengetuk pintu, mandi lewat tengah malam, dan tangisan di kamar itu. (*)