Ternak Puyuh dan Pasar yang Luput Diciptakan

ternak puyuh mojok.co

ternak puyuh mojok.co

Pagebluk covid-19 belum menunjukan adanya indikasi untuk menurun, tapi sejumlah orang secara terpaksa sudah keluar rumah. Alasannya beragam seperti cuan mulai menipis hingga ke urusan perut yang tak bisa diganjel dengan omong kosong atau janji.

Oleh karena itu, kita melihat sejumlah pegawai yang dirumahkan kembali bergeliat untuk melamar pekerjaan. Ada juga yang memilih pulang kampung untuk menjadi peternak. Salah satu pekerjaan yang bisa dipertimbangkan adalah menjadi seorang peternak burung puyuh. Ternak puyuh bukanlah hal mudah tapi patut dicoba.

Berbicara ternak puyuh, saya jadi teringat perjuangan Ayah saya dalam beternak burung berukuran kecil ini.

Saya masih ingat sewaktu kelas 2 SMP, Ayah saya memutuskan untuk banting stir dari penjual buah-buahan di pasar menjadi seorang peternak burung puyuh. Meski sama-sama bidang informal, tapi saat itu beternak burung puyuh ditinjau memiliki prospek cerah lantaran bisa berjalan dengan modal minimal dan balik modal kurang dari setahun.

Berbicara keuntungan memang selalu menarik bagi semua orang. Begitu juga yang ada di benak Ayah saya. Sedikit banyak keputusan Ayah untuk beralih profesi dilatari kisah sukses seorang peternak di daerah tempat kami tinggal yakni Majalaya, kabupaten Bandung. Sebut saja peternak sukses itu bernama Abah. Penyebutan Abah seringkali kami lontarkan untuk seorang lelaki yang dituakan atau dikenal lantaran memiliki keahlian di bidang tertentu.

Saya tidak ingat kapan pertama kali Ayah bertemu Abah. Namun yang pasti, saya beberapa kali diajak oleh Ayah untuk main ke peternakan milik Abah. Peternakan Abah berada jauh dari keramaian dan dekat rumpun bambu. Suasana pedesaan begitu terasa.

Selain soal keuntungan, alasan lain yang makin memperkuat perpindahan profesi Ayah saya ialah peta persaingan peternak puyuh di daerah saya yang masih minim sehingga untuk menjadi pelopor dan besar sangat terbuka lebar. Di luar hal itu, Ayah saya memang memiliki ketertarikan dan ulet untuk mengurus hewan.

Singkat cerita, Ayah lalu membangun kandang dari bambu di loteng rumah atau tempat jemur. Kandang tiga tingkat dengan panjang 2 meter dan lebar 1 meter, satu tingkatnya diisi 50 ekor burung puyuh betina atau petelur. Permukaan kandang dibuat miring supaya nanti telur menggelinding ke depan yang akan memudahkan untuk mengambil telurnya.

Saat itu Ayah memulai dengan 2 kandang tingkat, total menampung 300 ekor puyuh siap petelur. Kalian bisa keluarin jokes “wung ape tu man?” di rumah saya, kan saya ternak puyuh beneran. Kalau saya tidak salah ingat satu burung puyuh siap bertelur dibandrol diharga tujuh hingga sembilan ribu rupiah per ekor. Seminggu kemudian setelah proses adaptasi dengan lingkungan baru beberapa puyuh mulai belajar bertelur. Salah satu tanda bahwa burung puyuh masih belajar bertelur adalah ukuran telurnya yang lebih kecil daripada ukuran normal tetapi sudah bermotif.

Jadi jelas ya, motif telur puyuh itu nggak digambar sama penjualnya.

Jika sesuai prediksi di bulan pertama, setiap harinya minimal memproduksi 250 telur. Satu puyuh satu telur setiap hari sehingga dalam sebulan sekitar 7.500 butir. Namun pada realitanya di bulan pertama prediksi tersebut meleset, hanya sepertiga dari target yang telah ditentukan.

Setelah konsultasi dengan Abah ternyata burung puyuh rentan terkena stress yang akan mempengaruhi produktifitasnya. Salah satu penyebab stressnya bisa dari lingkungan yang terlalu ramai. Karena perlu diingat burung puyuh bukanlah burung murai atau beo yang bisa dilihat kapan saja dan akrab dengan keramaian. Mereka salah satu burung introvert.

Harus diakui saat itu antusias orang rumah terhadap burung puyuh sangat tinggi. Sehingga setiap jam hampir selalu ada anggota keluarga yang melihat burung sambil berharap menemukan telur puyuh. Bahkan ketika jadwal pemberian makan di pagi hari dan sore, saya, ibu dan adik ikut menemani Ayah. Gimana nggak kaget si burung puyuh melihat rombongan setiap hari. Ternak puyuh ternyata tak semudah yang dipikir.

Tak cuma antusias melihat burung, kami pun antusias untuk melahap telur puyuh. Di bulan pertama, kami rajin mengkonsumsi telur puyuh. Telur bemotif ini diolah menjadi berbagai rupa makanan seperti telur rebus sate telur hingga jadi bahan baku kue. Ayah pun tak lupa untuk membagikan telur puyuh matang kepada sanak saudara terdekat dan tetangga sekitar. Sekedar mencicipi dan promosi.

Memasuki bulan kedua, produksi burung puyuh mulai sesuai dengan harapan. Karena kami tak lagi bergerombol menemui si burung puyuh. Suasana lebih tenang membuat mereka leluasa untuk mengeluarkan telur setiap harinya. Sekedar informasi burung puyuh memiliki usia produktif sekitar 12 bulan.

Pasca produktifitas telur puyuh mulai stabil, kami sekeluarga dihujani optimisme bahwa Ayah bisa sukses di bidang ini. Terlebih dari satu ekor burung puyuh tidak ada yang terbuang, ketika bertelur bisa menjual telurnya. Ketika puyuh tak lagi bertelur, bisa dijual dagingnya. Namun Ayah lupa memperhitungkan pasar. Bahwa memang benar adanya pasar bisa diciptakan, tapi tak bisa berdiri sendiri perlu ekosistem yang terbangun mulai dari peternak, pedagang hingga konsumen.

Akhirnya terpaksa terjadi penumpukan stok telur puyuh di rumah. Telur puyuh hanya bertahan selama satu minggu, lebih dari itu akan banyak yang busuk. Melihat hal tersebut, Ayah mencoba cari solusi dengan melakukan pemasaran dari pasar ke pasar. Namun tak sesuai dengan harapan karena saat itu permintaan telur puyuh belum banyak terlebih telur satu ini belum menjadi prioritas konsumsi.

Dari hal ini Ayah memberikan tips jika ingin beternak puyuh sebisa mungkin pertimbangkan permintaan pasar. Jangan hanya peduli dengan supply tapi abai dengan demand. Lebih baik menciptakan pasar lebih dulu lalu berusaha memenuhinya. Karena ini adalah hakikat bisnis.

BACA JUGA Ragam Celoteh ala Kaskuser yang Terus Saya Amalkan dan tulisan Rulfhi Alimudin lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version