Terminal Bungurasih Surabaya, Terminal Paling Sibuk se-Asia Tenggara Itu Nggak Cuma Berisi Calo dan Tukang Palak

Terminal Bungurasih Surabaya Bukan Milik Calo dan Tukang Palak (Unsplash)

Terminal Bungurasih Surabaya Bukan Milik Calo dan Tukang Palak (Unsplash)

Meski super sibuk, sebuah tempat pasti masih punya titik damai! Percaya nggak percaya, 2 hal yang kelihatannya berlawanan, ramai sekaligus damai, bisa kamu temukan bersamaan di Terminal Purabaya, atau yang lebih akrab dikenal sebagai Terminal Bungurasih Surabaya.

Terminal Bungurasih Surabaya adalah terminal tipe A. Terminal ini menjadi yang paling sibuk di Indonesia. Konon, bahkan di Asia Tenggara

Nama Bungurasih sendiri diambil dari letaknya di Desa Bungurasih, perbatasan Sidoarjo dan Surabaya. Bukan cuma jadi kebanggaan warga Jawa Timur, Terminal Bungurasih Surabaya selalu bikin perdebatan seru. Jadi, sebenarnya, Bungurasih ini milik Surabaya atau Sidoarjo?

Awal perkenalan saya dengan Terminal Bungurasih Surabaya

Setahun lalu, saya memulai hidup jadi mahasiswa baru di Surabaya. Sama seperti kebanyakan kawan yang rumahnya di sekitaran Surabaya, mereka memilih pulang ke rumah kalau lagi senggang. 

Jadi ya, saya juga begitu. Setiap akhir pekan, pasti bolak-balik dari Mojokerto ke Surabaya. Awal-awal memang sempat naik kereta. Tapi lama-lama, saya mikir, kok tiap minggu pengeluaran agak ugal-ugalan. Paling terasa untuk membeli tiket Dhoho Penataran, belum lagi ditambah tarif ojol dari Wonokromo ke kos yang bikin dompet mahasiswa nangis.

Akhirnya, saya mulai survei. Ternyata, dari kos ke Terminal Bungurasih Surabaya cuma perlu naik bus dalam kota yang cuma bayar Rp2 ribu! 

Saya cobalah naik bus itu, baru nanti kalau sampai Bungur pindah ke bus antarkota arah Mojokerto. Ketika tahu itu, saya coba hitung-hitung selisihnya. Ternyata saya bisa hemat sampai Rp24 ribu sekali jalan.

Sejak saat itu, saya selalu naik bus dari Terminal Bungurasih Surabaya. Kebiasaan ini malah melahirkan sesuatu di dalam diri saya. Jadi, saya merasa lebih bisa menikmati keramaian, alih-alih menggerutu atau kesal. 

Saya menikmati duduk sebentar di Terminal Bungurasih Surabaya. Melihat orang lalu-lalang. Lalu muncul berbagai imajinasi. Sebanyak ini manusia, dengan latar belakang berbeda. 

Obrolan random yang selalu menarik di Terminal Bungurasih Surabaya

Terminal Bungurasih Surabaya dan bus-bus di sana sering mempertemukan saya dengan berbagai cerita random. Misal waktu itu, saya lagi perjalanan ke Mojokerto. Saya duduk agak belakang. 

Tidak lama, ada 2 tentara yang saya kira sedang perjalanan pulang. Salah satunya duduk di sebelah saya. Dia sama seperti saya, berasal dari Mojokerto. Intinya, beliau mau nongkrong santai dulu sepulang kerja. Eh, tapi ternyata ada kabar kalau istrinya melahirkan malam itu.

Cerita lain, seorang bapak berusia 50 tahun penasaran ingin mencoba bus listrik Trans Semanggi. Saat itu, beliau baru pulang kerja jadi memang sudah kelelahan. Eh, di dalam bus, beliau malah tertidur, dibawa bus keliling kota, dan akhirnya kembali ke Terminal Bungurasih Surabaya.

Ada juga seorang bapak, yang merantau dari Sukoharjo untuk jualan bakso di Surabaya. Sudah 14 tahun beliau merantau di Surabaya. Salah satu kekesalan beliau adalah dompet yang tertinggal di bus ketika naik dari Terminal Bungurasih Surabaya. Namun, dia bahagia sekali ketika cerita anaknya lulus kuliah dengan predikat cum laude. Saya ikut senang.

Tempat yang menyenangkan untuk merenung

Healing nggak harus ke tempat wisata di puncak bukit atau menyendiri di hutan. Terminal Bungurasih Surabaya yang ramai juga bisa. Tapi, tentu saja, dengan cara-cara tertentu.

Bagi saya, mendengar cerita unik dan tidak biasa dari orang itu bisa jadi healing. Bagus untuk menaikkan mood yang sedang ambyar. Selain itu, orang yang bercerita juga merasa di-manusia-kan karena cerita mereka didengar. Bagi kita, cerita mereka mungkin sepele. Namun, bagi mereka, cerita itu punya makna dan kesan mendalam.

Saya menyebut kehidupan di terminal itu saya kayak “gerbang kehidupan”. Artinya, terminal kadang jadi tempat pertemuan, pengharapan, hingga perpisahan. 

Bagi sebagian orang lainnya, terminal juga bisa jadi rumah yang tidak pernah mereka pilih. Dan pasti ada ketidaknyamanannya di situ, tapi tetap saja, mereka menyebut Terminal Bungurasih Surabaya sebagai “rumah”.

Penulis: Ahmad Dzaki Akmal Yuda

Editor: Yamadipati Seno

 BACA JUGA Pengalaman Saya Dipalak dan Ditipu Calo di Terminal Bungurasih Surabaya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version