Sungguh sayang, tayangan kuliner di Indonesia belum digali secara lebih mendalam. Padahal, potensinya sangat besar….
Kuliner, selalu menjadi topik yang menyenangkan untuk dikulik. Mulai dari cita rasa, bentuk, hingga cara memasak. Tak pernah ada habisnya. Apalagi, Indonesia terkenal dengan keberagaman kulinernya. Bisa dipastikan bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki kuliner khas.
Berdasarkan penelitian pakar kuliner senio, Prof. Dr. Ir. Murdijati Gardjito, terdapat sekitar 3.259 kuliner khas di Indonesia. Daftar tersebut bakal bertambah karena masih banyak kuliner yang belum diketahui namanya.
Melihat potensi yang besar, media tentu tidak mau ketinggalan untuk mengkomersialkannya dong. Terhitung sejak 2008, terdapat belasan hingga puluhan tayangan soal penganan di televisi. Para pecinta tayangan kuliner pasti ingat dengan celotehan legendaris “mak nyus” Wisata Kuliner.
Ketika media televisi mulai tergusur oleh YouTube, kuliner masih menjadi magnet tersendiri untuk dikomersialkan. Buktinya ada istilah baru bernama food vlogger yang kontennya ditonton hingga jutaan kali. Siapa yang tak kenal Ria SW, Magdalena, dan Bara Ilham, hingga Nex Carlos. Mereka rajin mengunggah konten-konten mirip dengan Wisata Kuliner pada masa jayanya almarhum Bonda Winarno.
Malangnya, berkah beragamnya kuliner di Indonesia tak dibarengi dengan beragamnya kemasan tayangannya. Pakem dalam tayangan kuliner hampir tidak berubah secara signifikan selama 8 tahun terakhir.
Kritik pernah dilontarkan oleh pengamat kuliner bernama Fadly Rahman lewat artikel berjudul “Di Balik “Kenikmatan” Tayangan Kuliner” pada 2012 lalu. Artikel tersebut berhasil terpilih sebagai salah satu artikel yang masuk dalam buku “Orde Media” terbitan Remotivi (2014). Sayangnya, kritik ini dianggap angin lalu bagi media dan para host tayangan kuliner. Seakan-akan, mereka sudah memiliki pakem yang tak boleh diutak-atik.
Coba sesekali perhatikan alur tayangan kuliner. Monoton. Tayangan kuliner selalu diawali dengan host yang berkunjung ke sebuah tempat makan, lalu membicarakan profil singkat. Dari sini saja sudah terlihat betapa dangkalnya tayangan kuliner.
Jarang sekali tayangan kuliner menyuguhkan profil mendalam tentang rumah makan seperti sejarah singkat dan alasan rumah makan itu dianggap spesial (selain karena makanannya). Informasi yang disajikan hanya seputar alamat, menu, dan harga.
Setelah itu, host, beberapa kali akan mengikuti proses memasak disertai sedikit tips cara memasak. Ada juga yang hanya menampilkan proses memasak, tanpa memberitahu tips secara detail.
Sebenarnya pada sesi ini, penayangan sudah cukup baik. Namun, akan lebih baik lagi jika host mengulik tentang cara memasaknya di zaman dulu, di mana bumbu, bahan, dan alat masak belum seinstan hari ini.
Lanjut, pada sesi terakhir, host akan memakan makanan yang sudah disajikan rapi di atas meja. Diawali dengan sedikit intermeso tentang bahan makanan dan harga. Patut disayangkan, pada sesi intermeso tidak pernah dibahas mengenai sejarah terciptanya makanan tersebut.
Selepas intermeso, biasanya host akan memakan makanan yang disajikan dengan mengandalkan karisma lidahnya. Jika Sukarno memiliki karisma pada setiap lontaran kata-kata dan Soeharto punya karisma di balik senyum manisnya, host tayangan kuliner selalu memiliki karisma di lidahnya yang membuat makanan apa pun terasa nikmat.
Hampir semua tayangan kuliner memiliki alur serupa, mulai dari Wisata Kuliner, Bikin Laper, hingga konten food vlogger di YouTube. Toh, kalau pun ada inovasi paling hanya ditambahi adu kuat menghabiskan makanan porsi besar, kecepatan menghabiskan makanan, dan ketahanan level kepedasan.
Padahal, tayangan kuliner bukan hanya perkara cita rasa dan cara memasaknya saja. Lewat sebuah sajian menu, bisa digali tentang budaya, sejarah, dan geografis khas daerah masing-masing.
Tak jarang terciptanya sebuah kuliner diawali dengan sebuah krisis bahan makanan sehingga harus diganti dengan jenis makanan baru, contohnya di Kabupaten Gunungkidul terdapat makanan khas bernama thiwul yang berasal dari ketela. Konon katanya, kuliner tersebut tercipta karena bencana gagal panen padi akibat hama tikus pada 1960-an.
Saya rasa, tayangan kuliner di mana saja punya potensi besar untuk berbagi informasi. Makanan, selalu mengiringi perkembangan zaman. Bahkan, sebuah menu makanan adalah cerminan zaman yang jika digali secara mendalam, akan jadi tayangan kuliner yang dahsyat.
BACA JUGA Gimana sih Rasanya Kuliah dan Lulus dari Jurusan yang Katanya “Madesu”? dan tulisan Rofi’i Zuhdi Kurniawan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.