Saya percaya bahwa tidak semua konspirasi itu teori kosong. Beberapa benar-benar terjadi. Termasuk yang satu ini: konspirasi terhadap motor-motor tangguh seperti Suzuki New Shogun 110.
Saya punya unit tahun 2001. Model yang dirilis saat dunia belum kenal TikTok, belum sibuk membahas smart key, apalagi fitur start-stop engine. Di zaman itu, Shogun 110 muncul sebagai jawaban bagi masyarakat yang butuh motor tahan banting, irit, dan bisa “diurus” bengkel kecil tanpa takut bikin bon servis panjang kayak skripsi mahasiswa semester 12.
Dan kini, setelah dua dekade berjalan, New Shogun 110 saya masih bisa diajak ngebut, nanjak, bahkan bonceng dua plus galon. Tapi yang bikin saya curiga, kenapa motor dengan kualitas sebagus ini justru disuntik mati, dan harus digantikan Shogun 125 plus Smash yang ampas itu?
Mesin tangguh yang terlalu awet
Mari kita bicara spesifikasi dulu. New Shogun 110 dibekali mesin 4-tak SOHC 109 cc, karburator Mikuni VM17, dan sistem transmisi semi manual 4 percepatan. Tenaganya sekitar 8,5 PS di 8.000 rpm, dengan torsi puncak mencapai 8,5 Nm di 4.000 rpm. Mesin ini nggak neko-neko. Pendinginannya pakai udara, bukan radiator yang kalau bocor harus buru-buru ke bengkel resmi.
Koplingnya unik: menggunakan sistem plat pegas yang menggantikan fungsi per kopling konvensional. Efeknya? Perpindahan gigi jadi mulus, enteng, dan nggak bikin betis kamu trauma karena harus mencongkel perseneling. Ditambah dengan bobot motor sekitar 95 kg, New Shogun 110 termasuk motor yang lincah tapi tetap stabil.
Memang, kalau diperhatikan mesinnya sederhana, tapi justru itu kelebihannya. Tidak banyak sensor, tidak ada ECU, tidak ada fitur yang membuat montir harus buka laptop dulu sebelum servis. Namun, hasilnya? Motor ini tahan lama. Terlalu tahan lama malah.
Dan dengan konstruksi mesin sederhana namun output tenaga turah-turah, hingga banyak team balap waktu itu memenangkan ajang roadrace.
Namun itulah masalahnya.
Fitur minim, tapi fungsional
Kalau kamu bandingkan dengan motor zaman sekarang, New Shogun 110 memang kalah gaya. Panel speedometer-nya masih analog. Lampu depan masih bohlam halogen. Nggak ada USB charger, nggak ada indikator eco riding yang nggak guna itu, bahkan bagasi pun nyaris tidak layak disebut bagasi.
Tapi justru karena itu, dia bisa bertahan. Tidak ada fitur yang gampang rusak. Tidak ada part plastik yang gampang patah. Yang ada cuma hal-hal esensial: rem yang pakem, shockbreaker yang empuk, mesin yang tahan banting, dan konsumsi bensin yang super irit—rata-rata 45–50 km/liter, tergantung gaya riding.
Bagi orang seperti saya, ini cukup. Saya nggak butuh lampu yang bisa kedip warna-warni atau motor yang bisa disambung ke HP. Saya butuh kendaraan yang bisa ngantar saya dari titik A ke B tanpa drama. Dan New Shogun 110 menjawab kebutuhan itu sampai saat ini.
Shogun 110, motor yang terlalu jujur untuk industri yang manipulatif
Nah, di sinilah saya mulai mencium aroma konspirasi.
Motor seperti ini nggak cocok buat model bisnis sekarang. Sebab, motor ini terlalu awet, nggak pernah rusak. Dan karena kontruksi mesin simpel, jadi bisa diservis oleh tetangga yang lulusan STM jurusan mesin.
Industri otomotif modern bukan cuma jual motor. Mereka jual paket langganan servis, jual part aftermarket, jual gimmick, dan—secara tidak langsung—jual kekhawatiran. Dan sekarang, kalau motor kamu nggak ada indikator ini-itu, kamu jadi merasa kurang aman.
Padahal dulu, orang naik Shogun ke luar kota cuma bermodal obeng dan kunci 10. New Shogun tidak menghasilkan ketergantungan. Dan itu masalah bagi bisnis.
Shogun 110 disuntik mati dengan elegan
Tahun-tahun setelah masa jayanya, perlahan New Shogun 110 mulai dipinggirkan. Produk-produk baru bermunculan. Matik mulai jadi tren. Pabrikan mulai bermain di pasar “kenyamanan instan”. Shogun, dengan desain ramping dan mesin gahar, mulai kalah pamor.
Akhirnya, produksinya benar-benar dihentikan. Dianggap usang. Dianggap tak laku. Padahal kalau kamu tanya anak-anak roadrace era 2000-an, mereka pasti tahu: New Shogun 110 itu raja trek lurus. Bahkan sempat jadi basis motor balap underbone yang disegani.
Tapi seberapa tangguh pun dia, dia tetap disingkirkan. Bukan karena gagal, tapi karena terlalu berhasil.
Yang tersisa: legenda hidup di pinggiran
Sekarang, sisa-sisa New Shogun 110 bisa kamu temui di kampung-kampung, di garasi rumah tukang ojek, atau di tangan orang yang nggak mau repot ribet sama motor dengan beragam fitur digital. Mereka yang tahu, tetap merawat. Bahkan di grup Facebook, komunitas New Shogun masih aktif jual beli part, sharing tips, dan nostalgia bareng.
Saya pribadi masih pakai motor ini. Bukan karena nggak mampu beli yang baru, tapi karena saya tahu kualitas bukan soal kemasan, tapi ketahanan. Dan motor ini tahan.
New Shogun 110 mungkin nggak bisa nyambung ke Bluetooth. Tapi dia bisa nyambung ke akal sehat saya sebagai manusia yang butuh kendaraan, bukan fashion show berjalan yang setahun dipakai remuk.
New Shogun 110 mengajarkan satu hal penting: teknologi yang baik bukan yang paling baru, tapi yang paling bisa dipercaya dan sudah teruji.
Kalau kamu lihat New Shogun 110 lewat hari ini, jangan remehkan. Itu bukan motor usang. Itu simbol perlawanan terhadap pasar yang terlalu doyan fitur tapi lupa soal fungsi. Motor itu mungkin terlihat tua, tapi jangan salah, ia masih menyimpan semangat mekanik jujur, dan kekuatan yang bahkan bisa bikin pabrikan gelisah.
Karena sekali kamu kenal Shogun, kamu bakal paham: bukan dia yang harus ditinggalkan, tapi sistem yang bikin dia dilupakan.
Penulis: Budi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 10 Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta Masuk 100 Besar Terbaik Nasional
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
