Sebagai seorang sarjana pertanian, saya merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi petani. Ilmu dan pengalaman yang saya peroleh selama bertahun-tahun di bangku kuliah seharusnya cukup untuk menjadi bekal menekuni profesi ini. Profesi yang begitu krusial sebagai penjaga ketahanan pangan, penggerak roda ekonomi, dan penopang kehidupan banyak orang di negeri ini.
Namun, kenyataan di lapangan berbeda. Setelah saya terjun langsung sebagai petani, saya menyadari betapa beratnya menjadi petani di Indonesia. Tak hanya sekadar bekerja keras di lahan, menjadi petani di negeri ini butuh mental baja. SAya akan beri sederet alasan kenapa profesi ini begitu berat.
Kalian-kalian yang bilang pemuda nggak mau jadi petani adalah penyebab kemunduran pertanian Indonesia, baiknya baca ini!
Daftar Isi
Biaya produksi yang mahal, musuh petani paling utama
Sudah menjadi rahasia umum bahwa modal untuk menjadi petani terbilang tinggi. Salah satu komponen biaya terbesar adalah tenaga kerja. Untuk menggunakan jasa buruh tani, petani harus merogoh kocek sekitar Rp100.000 hingga Rp150.000 per hari. Padahal untuk berusaha tani tersebut, dari sebelum tanam sudah membutuhkan tenaga kerja, belum lagi ketika tanaman sudah mulai tumbuh hingga panen. Biasanya biaya tenaga kerja ini jadi pengeluaran yang paling banyak.
Masalah lain adalah pupuk yang langka dan mahal. Untuk mendapatkan pupuk bersubsidi, biasanya harus menggunakan kartu tani, yang sering kali malah tidak cukup membantu. Stok pupuk bersubsidi terbatas, dan jika terpaksa membeli pupuk nonsubsidi, harganya bisa melonjak hingga dua kali lipat dari harga normal. Ini membuat biaya produksi melonjak, sementara keuntungan belum tentu bisa menutupi semua pengeluaran.
Apalagi jika tanaman terkena hama atau penyakit, maka biaya untuk membeli pestisida, fungisida, dan herbisida menjadi tambahan beban yang tidak ringan.
Harga hasil panen yang tidak menentu
Walaupun petani berhasil merawat tanaman dengan baik dan menghasilkan panen yang melimpah, tidak ada jaminan bahwa mereka akan mendapatkan keuntungan. Harga hasil panen sangat fluktuatif, tergantung pada mekanisme pasar dan hukum supply-demand. Ketika pasokan di pasar melimpah, harga bisa jatuh drastis, membuat mereka harus menjual rugi panen.
Sebaliknya, ketika permintaan tinggi, harga mungkin melonjak, tetapi petani yang tidak dapat memproduksi cukup akan tetap kehilangan kesempatan mendapatkan untung.
Minimnya dukungan pemerintah kepada petani
Anak muda yang ingin terjun ke dunia pertanian harus berpikir ulang karena kurangnya dukungan dari pemerintah. Kebijakan yang seharusnya memfasilitasi petani sering kali tidak berpihak kepada mereka. Akses modal yang sulit, subsidi yang tidak merata, hingga program-program pertanian yang tidak sampai ke petani menjadi masalah tersendiri.
Pemuda-pemuda yang tertarik bertani pun kerap dihadapkan pada tantangan birokrasi yang ruwet, sehingga mereka lebih memilih profesi lain yang lebih menjanjikan dan memiliki akses yang lebih mudah.
Lahan pertanian yang semakin sempit
Salah satu masalah paling krusial yang dihadapi adalah menyempitnya lahan pertanian. Urbanisasi yang pesat dan alih fungsi lahan menjadi kawasan pemukiman serta industri membuat lahan produktif semakin berkurang. Akibatnya, banyak lahan pertanian yang hilang, sehingga ruang gerak petani menjadi terbatas.
Kondisi ini semakin memperkecil peluang bagi petani muda. Jika pun mereka berhasil mendapatkan lahan, sering kali lokasinya tidak strategis—jauh dari sumber air, sulit diakses, atau tanahnya sudah kehilangan kesuburannya. Semua tantangan ini menjadi penghalang besar bagi regenerasi petani di Indonesia.
Perubahan iklim dan ketidakpastian cuaca
Petani selalu bergantung pada cuaca, tetapi dengan adanya perubahan iklim, ketidakpastian cuaca menjadi salah satu tantangan terbesar. Musim hujan dan kemarau yang tidak lagi teratur membuat petani kesulitan dalam menentukan waktu tanam dan panen. Terlalu banyak hujan bisa menyebabkan banjir dan merusak tanaman, sementara musim kemarau yang berkepanjangan dapat mengeringkan sumber air dan membuat lahan menjadi tandus. Kondisi ini menambah tingkat risiko yang harus dihadapi petani setiap musim.
Selain itu, ada gap antara penerapan teknologi dan aplikasi di lapangan. Meskipun ada teknologi yang bisa membantu mengatasi perubahan iklim, banyak petani yang belum dapat memanfaatkannya dengan optimal karena rata-rata petani yang berusia lebih dari 50 tahun. Teknologi yang seharusnya dapat membantu mereka beradaptasi dengan perubahan cuaca, sering kali tidak mampu diterapkan di lapangan.
Menjadi petani, terlebih petani muda di Indonesia bukanlah pekerjaan yang mudah. Biaya produksi yang mahal, harga jual yang tidak menentu, kurangnya dukungan pemerintah, lahan yang semakin sempit, dan perubahan iklim yang sulit diprediksi adalah beberapa tantangan besar yang harus dihadapi setiap waktunya. Bagi saya, yang memiliki latar belakang pertanian, menyadari kenyataan ini di lapangan membuat saya lebih menghargai perjuangan mereka.
Namun, meskipun berat, menjadi petani adalah profesi yang mulia dan sangat penting. Generasi muda harus terus didorong untuk melanjutkan profesi ini, karena ketahanan pangan nasional ada di tangan mereka. Dengan dukungan yang tepat dari pemerintah dan masyarakat, serta adopsi teknologi yang semakin maju, tantangan yang ada bisa diatasi. Selamat Hari Tani Nasional! Jayalah pertanian Indonesia.
Penulis: Khanif Irsyad Fahmi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Petani Indonesia Belum Merdeka, Di Hari Kemerdekaan RI ke 79 Petani Malah Nelangsa