Meski telah lama meninggal, sosok seorang ayah tak akan pudar jasanya.
Saya takut membercandai sebuah kematian. Bagi saya pribadi, kematian adalah sebuah tonggak berdirinya sebuah monumen bagi siapa saja yang ditinggalkan. Entah sebuah monumen penuh dengan cedera, atau malah monumen pelepasan dengan cara yang baik dan indah. Bagi saya, siapa pun yang ditinggal dalam sebuah monumen bernama kematian, memiliki rasa nyeri yang beraneka ragam.
Anna Karenina, dalam balut magis ciptaan Tolstoy, dalam salah satu bagian mengatakan, “Semua keluarga yang berbahagia sama saja, tetapi setiap keluarga yang murung punya kemurungannya sendiri-sendiri.” Jika boleh serampangan menarik benang merah, tiap kematian pun memiliki kemurungannya sendiri-sendiri.
Saya mendatangi pemakaman bapak kawan saya. Dari jauh, hadir pula kawan saya yang lain seraya berteriak, “Hei, anak yatim junior, salim sini sama anak yatim senior!” Buajingaaan, hati saya mencelus. Bukan mencelus karena olok-olok itu, melainkan karena saya ini lebih senior yatimnya ketimbang kawan saya yang baru datang itu.
Belum kering makam bapak kawan saya, kami bertiga tertawa bersama di rumah duka. “Tri Masketir-nya Alexandre Dumas, kok, anak yatim,” kata saya. Bangsatnya kali ini nggak ada yang tertawa.
Ditinggal sosok Bapak di usia muda, saya, tentu saja mengalami limbung yang amat parah. Tiap hari menangis, harus mendatangi santunan untuk anak yatim yang diselenggarakan oleh Polres-polres di Jogja, besoknya wajah saya nampang di baliho depan kantor polisi dengan tajuk “Polrestabes X Peduli Kasih”. Astaga, jika dipikir, saya lebih ikhlas dibercandai kawan ketimbang jadi onani amal orang-orang yang embuh ke mana akal sehatnya.
Namun, ada juga salah satu kawan yang bersyukur bapaknya meninggal. “Pitikih,” kata saya sebagai permulaan sekaligus kekagetan, ha kok iso bapaknya seda malah bahagia? Katanya, ia bersyukur karena telah lama blio sakit-sakitan. Ia lebih ikhlas dan lapang jika bapaknya meninggal saja. “Artinya, kan, sudah nggak harus menderita,” katanya.
Sering bertambahnya usia, saya makin banyak bertemu dengan para penyintas rasa sunyi sebagai yatim. Rasa ditinggal sosok bapak memang berbeda-beda, namun, toh, nyerinya sama jua. Siapa, sih, yang tak kalut ditinggal sosok orang tua? Begitu pikir saya, sampai pada satu momen yang amat krusial, saya bertemu dengan orang-orang yang begitu fasih meng-handle kesedihan.
“Aku sudah lama hidup dengan bapak yang toxic. Ia ingin aku jadi atlet, namun aku ingin jadi musisi. Ketika blio meninggal pada saat aku usia belasan, aku sedikitnya lega,” kata salah satu kawan saya. Saya hanya bisa ndomblong. Ternyata, rasa sakit bisa bertumpuk dan bahkan bisa menjadi akumulatif.
Ikhtisar yang sumir bahkan menyebutkan bahwa ditinggal sosok ayah sampai mempertemukan dirinya dengan obat-obatan penenang. Ada pula yang mempertemukan mereka dengan kerasnya jalanan. Bahkan, paling nyeri, ada yang mempersilakan dirinya untuk terjebak dalam sebuah hal yang gelap dan kelam.
Sejarah panjang sosok bapak, mungkin tidak seindah kisah ibu. Bahkan agama menyebutkan sosok ibu tiga kali, lantas bapak satu kali. Banyak pula yang mengatakan tidak akrab dengan bapaknya sendiri. Namun, dalam sebuah tasbih paling sunyi di sepertiga malam seperti saat saya mengetik ini, doa untuk almarhum Bapak tak kalah riuh.
Hal itu diamini oleh beberapa orang yang saya kenal dalam penyintas yatim tadi. “Saya lahir dari jerih payah sosok ayah yang menyemburkan air kehidupannya,” katanya. “Maka doa-doa terbaik wajib almarhum dapatkan ketika saya sedang rindu, atau sedang gundah kepada persoalan dunia.”
Curhat di depan makam bapak itu rasanya membuat tenang, walau kesannya ya aneh juga ngobrol sama batu nisan. Namun, sebagai anak yatim senior, saya mencoba dan itu memang menyenangkan. Saya bebas bercerita apa saja. Tak ada jawaban tak masalah, justru semisal curhatan saya dijawab, ya saya bakalan mlayu njrantal.
Kadang, sebagai anak yatim yang menyingsing bersama kesunyian, bercerita tanpa harus mendengar tanggapan itu lebih baik. Biasanya, saya akan bercerita, membawakan lagu Beatles kesukaannya—Eleanor Rigby—dan lantas menangis. Entah bagaimana dengan metode para penyintas yatim yang lain, semua punya caranya sendiri dalam melarung kesedihan kan, ya?
Setelah itu saya hanya bisa pulang dengan umbel yang berat, mata yang sembab, namun lega. Amat lega. Membayangkan sosok Bapak masih ada di rumah, jasa-jasa yang tak akan pernah musnah, atau setidaknya membalas nyanyian saya; I don’t wanna fall asleep, I don’t wanna pass away.
BACA JUGA ‘Hospital Playlist’: Mengagumi Hubungan Ayah dan Anak ala Lee Ik Jun dan Uju dan tulisan Gusti Aditya lainnya.