Sop Saudara, Kuliner Makassar yang Namanya Bikin Salah Paham tapi Rasanya Bikin Ketagihan

Sop Saudara, Kuliner Makassar yang Namanya Bikin Salah Paham tapi Rasanya Bikin Ketagihan

Sop Saudara, Kuliner Makassar yang Namanya Bikin Salah Paham tapi Rasanya Bikin Ketagihan (Gunawan Kartapranata via Wikimedia Commons)

Sop saudara merupakan kuliner khas Sulawesi Selatan yang sering kali disalahpahami oleh masyarakat luar daerah Makassar. Isian sop dikira daging saudara pemiliknya padahal isiannya cuma daging beserta jeroan sapi. Selain coto Makassar dan pallu basa, sop saudara memang menjadi salah satu kuliner yang digandrungi warga Makassar. Warung sop ini tak pernah sepi walau buka hingga menjelang pagi.

Disuguhkan dalam mangkuk kecil dan ditemani oleh sepiring nasi, sop saudara berisi daging atau jeroan sapi, sohun, dan perkedel kentang ini sangat nikmat disantap saat cuaca dingin. Biar lebih nikmat, terkadang ada yang menambahkan telur itik rebus ke dalam sop.

Kuah sop saudara lebih encer daripada coto Makassar

Kuliner Sulawesi Selatan memang kebanyakan berbahan utama daging sapi. Contohnya coto Makassar, pallu basa, sop konro, dan tentu saja sop saudara. Berbeda dengan coto Makassar dan pallu basa yang kuahnya kental, kuah sop saudara cenderung encer dengan rasa gurih dan segar.

Dari segi warnanya pun berbeda. Coto Makassar dan pallu basa umumnya memiliki kuah kecokelatan yang pekat. Hal ini disebabkan banyaknya rempah yang digunakan kuliner Makassar tersebut. Apalagi salah satu bumbu utama coto Makassar adalah kacang tanah yang sudah dihaluskan. Sementara itu bumbu utama pallu basa adalah kelapa parut yang sudah disangrai.

Sop saudara beda lagi. Kuahnya agak bening karena hanya kaldu sapi yang digunakan untuk merebus daging sapi secara perlahan. Makanya rasa kuahnya berbeda.

Harganya lebih murah dibanding coto Makassar

Saya sendiri lebih banyak menikmati sop saudara dibanding coto Makassar. Bukan karena coto Makassar kalah enak, tetapi karena harga sop saudara lebih murah meriah di kantong mahasiswa. Cukup berbekal uang jajan Rp6 ribu, saya sudah bisa mendapatkan semangkuk sop.

Sedangkan coto Makassar sering kali dibanderol seharga Rp10 ribu hingga Rp15 ribu semangkok. Itu pun kalau ketupatnya gratis, kalau tidak ya harus bayar lagi.

Namun pengeluaran saya juga bisa jadi banyak jika saat makan sop saudara ditemani berpiring-piring nasi, berbutir-butir telur, dan bergelas-gelas es teh. Ditambah lagi bayar parkir karena setiap warung ada tukang parkirnya.

Paru sapi menjadi isian yang paling enak

Saat ditanya isian sop, saya tak pernah alpa menjawab paru atau daging paru. Soalnya paru sapi yang sudah digoreng itu sangat nikmat saat masuk ke dalam mulut. Teksturnya yang garing di luar dan empuk di dalam membuatnya seakan-akan menari bersama kuah sop yang hangat.

Selain dari segi tekstur, rasanya yang gurih juga mengalahkan jeroan sapi lainnya. Apalagi dibandingkan usus yang agak kenyal dan hati yang padat, pokoknya sop isian paru sudah paling juara. Makanya saya agak heran pada orang-orang yang terkadang cuma memesan sop saudara dengan isian daging saja. Seakan-akan hanya daging sapi yang enak, bagian lainnya dari sapi tidak enak. Atau jangan-jangan mereka mikirnya hanya daging sapi yang layak dimakan. Huhuhu.

Semangat persaudaraan seorang perantau jadi akar nama sop saudara

Bermula dari menjadi seorang perantau di Kota Makassar pada 1954, H. Abdullah alias H. Dollahi bekerja di warung sop daging selama empat tahun lamanya. Saat dia merasa sudah cukup dengan pengalaman yang didapatkan, dia kemudian berani membuka warungnya sendiri.

Lantaran tidak ingin mirip dengan nama warung tempat kerja sebelumnya, akhirnya H. Abdullah memilih menggunakan nama sop saudara yang memiliki arti “saya orang Pangkep (salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan) bersaudara”. Penamaan sop yang unik itu dia lakukan karena merasa semua orang di Makassar adalah saudaranya walaupun aslinya dia adalah perantau dari Pangkep.

Dari kisah H. Abdullah ini, semuanya seolah mengingatkan saya bahwa cita rasa terbaik memang lahir dari pengalaman, kedekatan dengan sesama manusia, dan keberanian. Mungkin itulah kenapa setiap sendok sop saudara selalu terasa hangat. Bukan hanya di perut, tapi juga di hati.

Penulis: Achmad Ghiffary M
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 5 Makanan Khas Makassar selain Coto dan Konro yang Cocok dengan Lidah Jawa.

Exit mobile version