Situs Trowulan: Bukti Ketidakmampuan Kita dalam Menjaga Warisan Nenek Moyang

situs trowulan candi berahu mojok

situs trowulan candi berahu mojok

Bagi pemerhati sejarah, Situs Trowulan adalah nama kawasan yang tidak asing lagi di telinga mereka. Situs Trowulan sendiri adalah kawasan yang ditetapkan sebagai Cagar Budaya Tingkat Nasional sejak tahun 2013. Kawasan ini pun telah didaftarkan sebagai Warisan Budaya oleh pemerintah kepada UNESCO sejak 2009, namun entah bagaimana kelanjutannya kini.

Sebelumnya, Situs Trowulan ini berbeda dengan Trowulan sendiri. Perbedaannya adalah Situs Trowulan adalah kawasan yang mencakup 11 x 9 km persegi dan terdiri dari dua kecamatan di dua kabupaten yang berbeda, yakni Mojoagung Jombang dan Trowulan Mojokerto. Sedangkan Trowulan sendiri adalah nama sebuah kecamatan di Mojokerto. Gampangnya gini, Kecamatan Trowulan itu adalah bagian dari Situs Trowulan, bingung nggak? Ya itu lah pokoknya berbeda.

Sebagai warga asli Mojokerto, ketika saya melihat Trowulan selalu saja muncul rasa heran di dalamnya. Bukan karena merasa tidak ada sesuatu yang spesial dari Trowulan atau bahkan merasa tidak bangga terhadapnya. Namun, rasa heran itu lebih diakibatkan karena belum sepenuhnya percaya kalau Trowulan itu sedang dianggap sebagai bekas ibu kota Majapahit yang masyhur di telinga penduduk Nusantara. Mosok iyo se Trowulan iku biyen ibu kota Mojopait? Begitulah kira-kira kalau saya membahasakannya.

Memang benar kalau banyak literatur sejarah maupun bukti fisik seperti candi, lingga-yoni, petirtaan, arca, prasasti, dan berbagai bukti lain yang mendukung agar Trowulan bisa dianggap sebagai bekas Ibukota Majapahit. Saya pribadi percaya karena memang sudah banyak bukti kuat dan valid dari penelitian para ahli di bidangnya.

Namun, rasa kurang percaya saya pun bukan tanpa alasan, ada banyak faktor yang mendorong saya berpendapat demikian. Salah satu contohnya adalah momen ketika mengajak teman kuliah saya ke Mojokerto dan berkeliling Trowulan. Ekspektasi saya ketika itu bilang bahwa teman saya bakal kagum dengan apa yang ada di Trowulan. Tapi pada nyatanya, tidak ada respon berarti yang ditunjukkannya, dia malah terkesan bosan dengan apa yang disuguhkan dengan nuansa klasik bekas ibukota Kerajaan Majapahit ini.

Baiklah, mungkin kita bisa menganggapnya tidak mengerti arti sejarah yang begitu dahsyat dari Trowulan atau mungkin menganggap teman saya kurang ajar karena menganggap Trowulan itu biasa-biasa saja. Tapi, pertanyaannya adalah apa gunanya status Kawasan Cagar Budaya Tingkat Nasional serta didaftarkan ke UNESCO sebagai Former Capital City Of Majapahit Kingdom kalau orang yang notabene hidup di Indonesia saja belum mengenal apa itu Majapahit, apa itu Trowulan, atau bahkan apa itu sejarah?

Saat saya mencari literatur di internet tentang Situs Trowulan ini, rata-rata unggahan beritanya ada di kisaran 2009 saat Trowulan didaftarkan ke UNESCO, 2013 saat Situs Trowulan ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Tingkat Nasional, dan berita heboh tentang diizinkannya pembangunan pabrik baja di dekat situs Candi Wringin Lawang, serta saat Trowulan dianggap sebagai “World Endangered Siteoleh World Monuments Fund (WMF). Lalu berbagai tulisan yang mengisahkan nasib Situs Trowulan yang digadang-gadang sebagai cikal bakal terbentuknya negara yang terbentang dari Sabang hingga Merauke ini.

Jika Candi Borobudur, Candi Prambanan, Museum Sangiran, dan beberapa tempat bersejarah lain bisa dianggap sangat bernilai oleh banyak kalangan, kenapa Situs Trowulan hanya stuck menjadi Kawasan Cagar Budaya yang tidak ada bedanya dengan tanpa status itu. Lebih lucunya lagi, coba kalian buka Wikipedia yang membahas Situs Trowulan, terdapat informasi-informasi error yang sebenarnya sangat penting untuk diketahui oleh masyarakat secara luas walaupun hanya sekadar peta. Bukan bermaksud lebay atau terlalu menganggap serius hal tersebut, tapi saya anggap itu adalah hal yang seharusnya tidak terjadi.

Masalahnya, Wikipedia adalah salah satu sumber informasi yang kerap diakses oleh masyarakat umum. Tapi, ternyata di dalamnya ada kesalahan secara sistem dan dibiarkan hingga saya membikin tulisan ini. Hal tersebut akan membuat saya mengulangi kembali tentang keraguan saya terhadap Trowulan sebagai Former Capital Of Majapahit Kingdom.

Mungkin ada benarnya menganggap para peromantisisasi Sejarah Kerajaan Majapahit lebih mending ketimbang melihat situs sejarah yang tak lebih dari sekadar bangunan tua. Tetapi sayangnya, sejauh apa pun rasa gemas dan kekecewaan tetap tiada artinya jika hanya mencari kesalahan-kesalahan orang lain.

Situs Trowulan hanyalah salah satu contoh ketidakmampuan kita dalam menjaga nilai-nilai peninggalan nenek moyang. Masih banyak situs-situs terbengkalai yang bahkan lebih memprihatinkan lainnya, seperti yang saya lihat dengan mata kepala saya sendiri bangunan bekas benteng Keraton Kartasura yang tidak terawat sebagaimana mestinya selayaknya peninggalan yang pernah menghiasi panggung sejarah Indonesia.

BACA JUGA Mengenal Rabu Wekasan, Hari Penuh Sial dalam Masyarakat Jawa dan tulisan Muh. Fadhil Nurdiansyah lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version