Situbondo (Mungkin) Tidak Akan Pernah Punya Bioskop Lagi, Tidak Hari Ini, Tidak di Masa Depan

Situbondo (Mungkin) Tidak Akan Pernah Punya Bioskop Lagi, Tidak Hari Ini, Tidak di Masa Depan

Situbondo (Mungkin) Tidak Akan Pernah Punya Bioskop Lagi, Tidak Hari Ini, Tidak di Masa Depan

Sudah hampir satu dekade saya merantau dari Situbondo, dan di antara banyak hal yang stagnan, ketiadaan bioskop adalah yang kerap diresahkan oleh sebagian kecil masyarakat. Buat orang Situbondo, menonton film di bioskop di masa sekarang adalah hal yang perlu usaha lebih. Setidaknya mereka perlu menggeber kendaraan sekian puluh kilometer ke kabupaten tetangga untuk sekadar menonton film rilisan terbaru. Sekilas tidak sedikit orang di lingkungan pertemanan saya yang rela berjalan lebih jauh hanya untuk nonton bioskop. Namun demikian, saya tetap yakin Situbondo masih akan cukup lama untuk kembali menikmati bioskop.

Sebenarnya Situbondo pernah punya cukup banyak bioskop. Saya sendiri terlalu muda untuk bisa mengalami sendiri masa kejayaan bioskop di Situbondo. Berdasarkan cerita dari generasi orang tua saya, di daerah pusat kota saja ada lebih dari dua bioskop yang selalu ramai dikunjungi berbagai kalangan, terutama jika ada film terbaru Rhoma Irama. Bekas kejayaan itu sebenarnya masih tersisa dalam bentuk gedung bekas bioskop yang terbengkalai di sekitar terminal Situbondo.

Perubahan perilaku konsumen dan dinamika bioskop Situbondo

Kejayaan bioskop di Situbondo sayangnya tidak bertahan lama. Konon karena adanya tren VCD di sekitar dekade 90-an, terjadi pergeseran perilaku konsumen dalam mengkonsumsi media hiburan. VCD telah mengubah masyarakat yang sebelumnya mengandalkan bioskop untuk memperoleh hiburan audio visual, menjadi tontonan rumahan yang bisa lebih fleksibel pemutaran kontennya. Sejak saat itulah satu per satu bioskop di Situbondo mengalami kemunduran hingga hilang tak bersisa hari ini.

Era VCD bertahan kurang lebih dua dekade terlihat dari maraknya toko VCD di awal 2000-an. Saya sendiri sudah bisa merasakan betapa menjamurnya toko VCD baik yang original maupun bajakan di Situbondo. Genre film Bollywood dengan Shakh Rukh Khan sebagai bintang utama, nyaris menghiasi setiap TV bahkan di perkampungan. Di masa ini, orang Situbondo relatif memiliki selera yang seragam.

Sampai akhirnya VCD juga mulai terdisrupsi kehadiran media sosial dan streaming platform seperti YouTube di era 2010-an. Masyarakat mulai terekspos dengan tren hiburan yang lebih luas. Seiring dengan berkembangnya industri film di Indonesia, perlahan masyarakat mulai FOMO alias takut ketinggalan zaman untuk bisa mengikuti perkembangan film terbaru baik karya dalam negeri maupun luar negeri.

Dengan exposure tren hiburan dan konsumerisme yang dihadirkan oleh media sosial, perlahan kalangan muda Situbondo mulai merindukan kehadiran bioskop di Situbondo yang dulu sempat terbengkalai.

Hukum ekonomi dan tantangan pembukaan ulang bioskop

Walau mulai tumbuh keinginan sebagian masyarakat untuk bisa menikmati bioskop kembali, nyatanya sudah hampir 3 dekade lamanya tidak ada satupun bioskop beroperasi di Situbondo. Pada dasarnya, pembukaan bioskop adalah keputusan bisnis yang tidak lepas dari analisis keekonomian yang dilakukan pengusaha. Kecilnya daya beli, perilaku konsumen, dan minimnya ukuran pasar adalah beberapa aspek ekonomi yang menurut saya menjadi faktor mengapa saya cukup pesimis bioskop akan kembali hadir di Situbondo dalam waktu dekat.

Aspek daya beli ini adalah yang paling utama mengapa di Situbondo minim sekali franchise ternama yang hadir dan bertahan. Jangan dulu kita berharap franchise kebutuhan tersier seperti bioskop XXI atau Cinepolis untuk buka cabang di Situbondo. Sementara franchise kebutuhan primer (makanan) macam *FC hanya bertahan setahun di Situbondo karena sepi peminat. Tidak bisa dimungkiri, sebagai daerah dengan UMR zona degradasi di Situbondo, masyarakat belum sampai di titik konsumtif untuk kebutuhan tersier. Konsekuensinya tidak banyak bisnis tersier yang bisa bertahan lama dan memperoleh proyeksi finansial yang membutuhkan.

Rendahnya daya beli juga mempengaruhi perilaku konsumsi sebagian besar masyarakat Situbondo. Daya beli yang kurang kuat membuat konsumen lebih sensitif terhadap harga. Konsumen di Situbondo sebagian besar masih di level price-oriented consumer (mengutamakan harga), bukan value-oriented consumer (mengutamakan nilai dan pengalaman). Sementara itu, bisnis bioskop tentu tidak akrab dengan perang harga dan memang berfokus pada nilai pengalaman yang ditawarkan.

Anak muda mungkin butuh, tapi bagaimana dengan yang lain?

Terakhir adalah ukuran pasar atau konsumen yang bisa dimaksimalkan. Mungkin sebagian anak muda kota merasa sudah cukup banyak orang yang ingin bioskop hadir lagi. Namun demikian, secara obyektif perlu diukur seberapa banyak konsumen yang mampu rutin mengunjungi bioskop. Selama jumlah masyarakat berdaya beli tinggi masih sedikit, selama itu pula pengusaha akan berhitung berkali-kali sebelum memutuskan menghadirkan franchise bioskop di Situbondo.

Kesimpulannya, kerinduan sebagian masyarakat terhadap kehadiran bioskop di Situbondo tidak terlepas dari faktor ekonomi dan perilaku konsumen. Selama masih sedikit opsi pekerjaan formal yang tersedia, selama itu pula daya beli masyarakat secara umum akan kurang kuat. Sehingga sedikit kemungkinan ada minat para investor dan pengusaha untuk menghadirkan opsi hiburan tersier ke Situbondo. Itu juga saya belum memasukkan resistensi kultural dari kaum konservatif di Situbondo, yang mungkin saya bahas di lain waktu.

Penulis: Hafizh Rafizal Adnan
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Baluran Sering Dikira Punya Banyuwangi, Bukti Situbondo Gagal Memanfaatkan Potensi Daerah

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version