Presiden Jokowi akhirnya mulai mempertimbangkan untuk menghapus sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru tahun depan. Jika bisa ketemu Pak Jokowi, saya akan bilang, nggak usah pakai pertimbangan lagi. Sudah, hapus saja, Pak!
Sistem zonasi sudah terbukti melahirkan berbagai jenis pelanggaran dan kecurangan. Misalnya dari menyiasati GPS, yang saya heran ternyata ada sih yang ngibulin teknologi macam ini, sampai berbagai jenis tipu-tipu memperdayai teknologi yang dianggap sudah mumpuni ini.
Perpindahan KK warga siluman juga banyak ditemui. Kenapa siluman? Ya karena cuma “titip” nama anak saja biar keterima di sekolah unggulan kota. Aksi ini membuat warga asli yang sudah tinggal bertahun-tahun harus menelan kekecewaan karena nggak bisa masuk sekolah impian. Ya, dari berbagai kecurangan serta ketidakadilan ini, bagi saya sebagai guru SMA, sistem zonasi adalah kebijakan pemerintah yang hanya digunakan untuk menutupi kemalasan saja. Lho, kok bisa?
Daftar Isi
Sistem zonasi adalah wujud kemalasan pemerintah!
Sistem zonasi menganggap siswa itu enaknya kalau sekolah ya yang dekat saja. Ini menunjukkan bahwa pemerintah abai terhadap kesenjangan sekolah pinggiran sama sekolah kota yang unggulan itu besar sekali. Alih-alih mencoba memperbaiki kesenjangan itu, pemerintah malah mengeluarkan kebijakan sistem zonasi. Kebijakan yang sembrono dan memang pengin enak dan gampangnya saja.
Pemerintah, dengan dalih keadilan dan pemerataan telah membuat mata kita semua seolah tak mampu melihat arti sesungguhnya. Bahkan, di awal sistem ini diberlakukan, saya sempat merasa bahwa pemerintah telah bersungguh-sungguh untuk memberikan pemerataan itu dan mewujudkan sila kelima Pancasila. Wah keren ini. Itu kata saya dulu.
Namun ternyata perkiraan saya tidak benar. Setelah kurang lebih 4 tahun sistem zonasi diterapkan, tidak ada kemajuan signifikan yang diberikan pemerintah. Kemajuan itu bisa berupa perwujudan pemerataan sarana prasarana sampai sistem supervisi pada tiap sekolah yang diperketat.
Baca halaman selanjutnya: Sekolah maju cuma di pusat kota…
Sekolah yang “maju” itu cuma sekolah favorit di pusat kota saja
Lho memang selama ini nggak ketat? Ya nggak juga, sih. Seperti yang kita ketahui bersama, sekolah yang sudah maju dari sisi manajemen sama prasarana adalah sekolah favorit yang ada di kotamadya, kota, hingga setingkat Kabupaten. Maka, sekolah pinggiran yang ada di kecamatan dan pelosok jangan berharap prasaran beres dan manajemennya mumpuni.
Di sekolah-sekolah desa ini bahkan banyak ditemui tenaga tata usaha yang jumlahnya sedikit. Belum lagi tenaga lainnya yang hampir nggak punya. Seperti tenaga pustakawan sekolah sampai laboran. Sekarang coba jalan-jalan ke sekolah kota yang mana bisa kita temui tenaga tata usaha yang jumlahnya lebih memadai. Begitu juga tenaga pustakawan hingga laboran. Lha kayak gini kok mau sistem zonasi?
Sampai saat ini, sistem manajemen serta birokrasi pemerintah belum memberikan tanda-tanda pemerataan. Pengetatan sistem supervisi sepertinya belum terlaksana dengan baik selama ada azas “pakewuh”. Tim akreditasi sekolah dan pengawas tampaknya memang nggak galak-galak. Maka nggak usah heran saat ada sekolah A yang kondisi sarana/prasarana-nya serta manajemennya jauh dari sekolah B tapi akreditasi tetap A.
Entah azas “pakewuh” ini sepertinya sudah melekat menjadi kearifan lokal kita. Azas ini biasanya dipakai saat penilaian akreditasi sekolah karena pengawas atau kepsek begitu juga tim penilai masih kenal baik. Dengan kondisi sekolah yang apa adanya, nilai akreditasi bisa muncul dengan predikat A. Ajaib kan!
Pelayanan terhadap siswa unggul masih jelek kok mau sistem zonasi!
Pelayanan terhadap siswa unggul di sekolah-sekolah pelosok pun jauh dari dikatakan prima. Keterbatasan ekstra kurikuler karena alokasi dana BOS kebanyakan sekolah pelosok lebih untuk menutupi biaya-biaya pemeliharaan serta memenuhi kekurangan sarana, menjadikan penjaringan siswa berbakat nihil adanya.
Sekarang saya ajak jalan-jalan lagi ke sekolah kota yang favorit. Di sekolah kota, jumlah ekstrakurikuler bisa sangat banyak. Jumlah pelatih profesional di bidangnya juga memadai. Sekolah ini punya alokasi dari BOS yang cukup buat menggaji pelatih profesional. Ya itu semua karena ketersediaan sarana/prasarana sudah baik. Sehingga tersedia anggaran untuk penjaringan bakat siswa unggul. Jadi tidak mengherankan banyak siswa yang punya keunggulan merasa kecewa dengan pelayanan yang diberikan.
Lewat sistem zonasi, yang memang niatnya untuk pemerataan biar adil, justru semakin membuat tidak adil. Banyaknya warga “siluman” KK yang sebenarnya orangnya nggak ada di KK berjubel memenuhi wilayah regional terdekat dengan sekolah favorit. Padahal yang pada masuk sekolah favorit ini siswa yang sesungguhnya punya motivasi belajar rendah dan sedang. Siswa yang unggul gimana? Ya harus terima mendapat pelayanan yang begitu-begitu aja untuk mengembangkan potensinya.
Lucunya, saat ada siswa berprestasi dari sekolah pinggiran yang kemudian tiba-tiba mengalahkan siswa dari sekolah favorit, beberapa pejabat birokrat merasa bangga dan menyatakan ini sebagai wujud keberhasilan sistem zonasi. Padahal jika ditelisik lagi, siswa-siswa pintar yang ada di sekolah pelosok ini, yang menurut saya memang pintar, harus berjuang keras dengan keterbatasan serta lingkungan sosial yang tidak mendukung pengembangan bakat mereka.
Hanya ilusi semata
Saat prestasi-prestasi siswa pinggiran ini bermunculan, saat itulah pembuat kebijakan sistem ini merasa berada di jalan yang benar. Mereka merasa tak perlu berbuat apa-apa lagi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Tuh, anak pintar di mana saja bisa pintar, kan? Kurang lebih begitulah argumennya. Padahal itu cuma ilusi semata kalau tidak ada perbaikan dan pemerataan. Terus, setelah itu, apa upaya dari pemerintah? Ya nggak ada. Nggak usah pakai upaya apa-apa kan tetap bisa berprestasi.
Anak-anak unggul di sekolah dengan minim fasilitas dan manajemen memang bisa tetap pintar dengan upaya yang berat. Sedang anak biasa-biasa saja dengan motivasi belajar rendah bisa dengan asyik menikmati fasilitas pendidikan memadai. Mereka bisa sih jadi pintar dengan dukungan sekolah yang bagus. Sedangkan anak yang memang pintar harus berjuang dan tidak menutup kemungkinan mengalami kemunduran belajar karena faktor lingkungan.
Ini seperti yang saya jumpai sendiri. Anak pintar yang harus masuk sekolah di desa. Awalnya tentu dia bisa mempertahankan semangat kompetitif belajarnya. Tapi akhirnya dia memutuskan ogah kuliah. Bukan karena tidak mampu sih. Namun karena kebanyakan temannya ogah melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah.
Nah, kalau sudah begini, untuk apa sistem zonasi tetap dijalankan? Hapus saja! Selama tidak ada komitmen untuk meningkatkan kualitas sekolah, ya mending zonasi dihapus saja.
Penulis: Hanifatul Hijriati
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Masih Ada Sekolah Favorit dan Orang Tua Pindah KK Anak, Sistem Zonasi Gagal Total!