Melihat Sisi Gelap Jakarta Selatan yang Terkenal Berkelas dan Elite

Pengalaman Jadi Petugas Survei di Jaksel: Melihat Sisi Gelap Jakarta Selatan yang Terkenal Berkelas dan Elite Mojok.co

Pengalaman Jadi Petugas Survei di Jaksel: Melihat Sisi Gelap Jakarta Selatan yang Terkenal Berkelas dan Elite (unsplash.com)

Daerah Jakarta Selatan atau yang lebih dikenal dengan singkatan Jaksel terkenal sebagai kawasan berkelas dan elite. Konten-konten di media sosial memotret Jaksel sebagai tempat kerja karyawan-karyawan necis dan wangi. Jaksel juga terkenal sebagai daerah dengan rumah gedongan berpagar tinggi. 

Beberapa label itu memang tidak sepenuhnya keliru. Mereka yang bekerja di SCBD, salah satu daerah perkantoran di Jakarta Selatan, mayoritas memang necis dan wangi. Selain itu, beberapa rumah memang terlihat sangat besar sepertinya muat untuk satu RT.

Akan tetapi, pekerjaan saya sebagai surveyor atau petugas survei memberi kesempatan untuk melihat sisi lain dari Jaksel. Pada saat itu saya bekerja sebagai petugas survei yang bertanggung jawab mengambil data koordinat. Data yang saya ambil akan digunakan sebagai referensi untuk diterapkan pada peta wilayah.

Nah, pengambilan data itu mengharuskan saya berdiam diri di depan rumah orang sembari alat membaca koordinat. Itu mengapa, mau tidak mau saya turut mengamati lingkungan sekitar ketika mengambil data. 

Kurang lebih selama 6 bulan saya menjelajahi berbagai daerah di Jaksel. Mulai dari daerah paling selatan di Jagakarsa hingga sisi paling utara di Kebayoran Lama. Rentang waktu yang cukup lama membuat saya cukup mengenal seluk-beluk Jaksel. Bahkan, saya bisa mengetahui sisi gelap kawasan yang terkenal berkelas dan elite ini. 

Saya menemukan rumah paling besar di Jaksel

Sebagai seseorang yang berasal dari Jogja, saya tidak pernah melihat seseorang punya rumah hingga berhektar-hektar. Sangat jarang, kalaupun ada mungkin hanya satu rumah dalam satu kompleks. Berbeda dengan Jaksel, tepatnya di kawasan Kebayoran Baru, di sana ada banyak sekali rumah dengan luas berhektar-hektar. Bahkan, salah satunya adalah rumah paling besar yang pernah saya jumpai sepanjang hidup. 

Apabila dibandingkan dengan bangunan di Jogja, rumah yang luas itu mungkin setara dengan Masjid Gedhe Bantul atau Gedung DPRD Sleman. Lantas terbesit dalam pikiran, pemiliknya bekerja sebagai apa ya? Saya yakin pekerjaannya nggak main-main yang gajinya hanya UMR, apalagi UMR Jogja. 

Rumah-rumah gedongan itu biasa dijaga oleh seorang satpam. Sebuah pemandangan yang masih asing bagi saya. Sepanjang hidup saya, satpam itu ya jaga kantor mentok-mentok mal. Lha ini malah jaga rumah. Tapi, kalau ditimbang-timbang, nilai rumah mewah itu memang sama berharganya dengan kantor maupun mal.

Pemukiman yang nggak mendapat sinar matahari

Pengalaman saya sebagai surveyor di Jaksel tidak hanya berhenti sampai di situ. Nyatanya, pemukiman di Jaksel tidak hanya dipenuhi rumah-rumah gedongan dengan luas berhektar-hektar. Saya juga menjumpai kondisi rumah atau kawasan yang berbeda 180 derajat. 

Ini bukan berarti saya menjelek-jelekan daerah tersebut ya. Saya hanya ingin menceritakan bahwa ketimpangan itu begitu nyata di Jaksel. Kawasan yang berbanding terbalik itu berada di daerah Jagakarsa dan Pasar Minggu. Lokasi pastinya, sekitar bantaran Kali Ciliwung. Di sana warga hidup berhimpitan hingga matahari susah menerobos hingga ke jalan-jalan. Bahkan, jalanan gang hanya bisa dilewati dengan jalan kaki. 

Bukan hanya pemukiman yang padat, daerah tersebut juga sering diterpa banjir. Salah satu pendamping survei mengungkapkan, pernah membantu evakuasi banjir yang setinggi leher orang dewasa. Sebuah pengalaman yang nggak mungkin dijumpai oleh orang-orang yang tinggal di rumah gedongan. 

Baca halaman selanjutnya: Kinerja kelurahan …

Kinerja kelurahan di kawasan elite yang nggak maksimal

Hal lain yang saya dapatkan ketika survei di Jaksel adalah terjun langsung berkoordinasi dengan pemangku kebijakan setempat. Saya nggak ingin menyamaratakan apa yang saya rasakan saat berkoordinasi, tapi semoga ini bisa menjadi kritik dan pembelajaran untuk kita semua.

Sejauh pengalaman, entah mengapa, petugas kelurahan yang menaungi kawasan-kawasan elite cenderung lebih berbelit-belit dan nggak terlalu baik dalam pelayanan. Berbeda ketika berkoordinasi dengan kelurahan yang menaungi pemukiman padat. Kami sebagai pihak pembantu pemerintah diberikan pelayanan yang lebih layak.

Boro-boro diberikan pendampingan saat mengambil data, pihak kelurahan di kawasan elite malah nggak terlalu peduli dengan kehadiran kami. Bukannya ingin dilayani seperti raja atau bagaimana ya, tapi sekadar ingin menjelaskan rundown program aja dilempar sana-sini.

Pengalaman tersebut cukup ironi. Kawasan elite seharusnya punya keseimbangan wilayah yang lebih baik, baik dari segi ketertiban dan birokrasi. Lha yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Nggak jarang saya dan tim harus menjelajah wilayah sendiri. Ujung-ujungnya, ada-ada saja masyarakat yang skeptis dengan pengambilan data. 

Setelah 6 bulan menjelajah Jaksel dari ujung ke ujung, saya simpulkan Jakarta Selatan adalah kawasan yang unik. Daerah yang lekat dengan potret berkelas dan elite ini punya sisi gelap yang jarang dimunculkan. Mulai dari kawasan yang padat penduduk dan rawan banjir hingga pemerintahan daerah setempat yang tak acuh. Sedihnya, pemerintahan yang tak acuh itu justru terjadi di daerah-daerah elite. Apakah kenyamanan yang dinikmati selama ini memang berdampak pada tumpulnya pelayanan dan kinerja ya? 

Penulis: Muhammad Iqbal Habiburrohim
Editor: Kenia Intan 

BACA JUGA Fresh Graduate Solo Culture Shock Kerja di Jakarta, Cukup Jadi Pengalaman Sekali Seumur Hidup Aja

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version