Mungkin ini akan jadi unpopular opinion atau hal yang tidak mengenakkan untuk didengar, tapi jujur saja, hidup di desa, apalagi di Kediri sebenarnya nggak enak-enak amat. Walaupun lahir dan lama dibesarkan di Kabupaten Kediri, tidak lantas membuat kami menjadikannya sebagai kampung halaman ternyaman.
Bentar, kalian jangan ngamuk dulu. Saya tahu, Kediri adalah salah satu dari banyak kota kecil yang banyak diimpi-impikan sebagian orang untuk tempat tinggal di masa tua. Tapi, kota ini sepertinya belum terlalu cocok untuk kami yang terbiasa hustle culture.
Saya dan doi beberapa waktu terakhir ini sering ngobrol betapa boringnya kami selama di Kediri, meski baru beberapa hari di rumah. Sebelumnya doi pindah dari Jogja, sedangkan saya baru menyelesaikan pekerjaan setelah 2 tahun domisili di Kota Malang. Kehidupan pedesaan Kediri, jadi hal yang begitu mengagetkan buat kami.
Apa yang kami rasakan setidaknya seperti ini.
Daftar Isi
Kediri, “neraka” bagi introvert
Kabupaten Kediri memang terkenal dengan orang-orangnya yang ramah. Namun kadang kala itu adalah problem bagi beberapa orang introvert, terlebih kaum anti-sosial.
Para kaum yang mudah kehabisan energi sosial sering tak tahan kalau harus lama-lama hidup di desa. Pasalnya semua orang saling mengenal, hingga tak jarang selalu menganggap siapapun sebagai saudara sendiri. Kami jadi memiliki tugas tambahan seperti basa-basi, meladeni percakapan dengan orang sekitar walaupun tidak punya kepentingan.
“Kan tinggal diabaikan saja, kenapa ribet?”
Well….
Tidak ada privasi
Sisi gelap hidup di pedesaan Kabupaten Kediri selanjutnya adalah tidak ada batasan karena hampr semua orang dianggap seperti sedulur sendiri.
Pernah suatu hari saya sedang sendirian di rumah mengerjakan tugas di depan laptop. Tiba-tiba terdengar suara orang jalan kaki dan masuk dari pintu sebelah yang tembusannya itu ke dapur rumah. Kadung sudah deg-degan dan siap-siap bawa gunting, ternyata dia adalah tetangga yang kalau menemui bapak langsung nyelonong begitu saja.
Setelah baru tau kalau di situ ada saya, orang tersebut baru manggil-manggil dan minta permisi. Saya saat itu cuman bisa heran, dan membayangkan, misal tidur siang gitu pasti keganggu orang nyelonong.
Harus siap jadi bahan gosip tetangga
Meskipun Kediri punya image sebagai kota kecil yang aman dan nyaman, tapi itu tidak relevan bagi saya.
Bapak saya adalah orang yang bisa dibilang cukup berpengaruh di lingkungan RT. Namun itu tidak lantas membuat saya lolos jadi bahan gosip tetangga.
Ada saja yang selalu dibicarakan. Mulai dari cara berpakaian, sering atau tidak seringnya keluar, hingga cara berjalan pun dikomentari. Tak hanya saya, orang lain pun kena, bahkan yang tidak menyenggol mereka sama sekali. Ada salah satu tetangga saya yang pendiam dan mohon maaf giginya kurang rapi saja bisa jadi bahan jokes mereka. Kok iso lho.
Saking seringnya mereka menggibah, saya sampai hafal jadwal mereka. Kalau di sini jadwal ibu-ibu gibah ada beberapa sesi. Pertama adalah sekitar jam 8 pagi ketika urusan dapur dan memasak sudah selesai. Mereka auto ngumpul di teras salah satu rumah tetangga yang bisa dibilang itu basecamp. Sesi kedua biasanya dimulai jam 5 sore kalau mereka sudah mandi, wangi, dan siap untuk pergi salat magrib ke musala.
Baca halaman selanjutnya
Bingung mau ngopi di mana di Kediri
Keluhan yang tidak jarang kami rasakan setelah pindah ke Kediri adalah susah nyari tempat ngopi. Pilihannya sedikit dan konsep tempatnya itu-itu saja di daerah kabupaten atau kota. Kalau nggak lesehan ya coffee shop tema kerikil dan unfinished.
Belum lagi pulangnya harus berpapasan dengan kaum jamet yang suka balap liar. Jangankan kalau cuma balapan, mereka suka sorak-sorak gak jelas tiap orang lain lewat yang tentu saja bikin kami sakit telinga.
Nggak cuma itu, culture shock yang kami rasakan di pedesaan kabupaten adalah setelah maghrib sudah sepi banget. Bahkan nyaris sudah tak ada lagi orang berseliweran atau sekadar bertamu di rumah orang.
Ugal-ugalan adalah “budaya”
Satu lagi sisi gelap Kabupaten Kediri yang bikin kami nggak nyaman adalah banyak kendaraan plat AG yang berkendara dengan ugal-ugalan. Tak jarang pas di jalan sering menemui orang-orang yang nggak disiplin banget dalam berlalu lintas. Mulai dari nerobos lampu merah, hingga menyalip kendaraan secara brutal.
Meskipun belum sepenuhnya berdamai dengan sisi gelap hidup di pedesaan Kabupaten Kediri itu, kami tetap memilih Kediri sebagai tempat pulang. Yah, meski mengisi hari-hari memaksa diri berdamai dengan perasaan bosan, saya lumayan yakin, seiring berjalannya waktu, kami menjadi nyaman. Semoga.
Penulis: Nurlailatul Hidayah
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kediri, Kota di Jawa Timur yang Menyimpan Kisah Cinta Paling Tragis dan Abadi dalam Sejarah