Sisi Gelap dari Pekerjaan Menjaga Pertashop Milik Bapak Sendiri

Sisi Gelap dari Pekerjaan Menjaga Pertashop Milik Bapak Sendiri (Foto milik penulis)

Sisi Gelap dari Pekerjaan Menjaga Pertashop Milik Bapak Sendiri (Foto milik penulis)

Saling bantu membantu antara satu sama lain adalah sebuah anugerah penciptaan manusia sebagai makhluk sosial. Apa saja bentuknya boleh, tak terkecuali dalam hambatan keuangan yang membuat orang mau tak mau harus berutang. Dan sebagai penjaga Pertashop milik keluarga, saya banyak menemui peristiwa seperti itu. 

Budaya berkata bahwa membantu orang yang kesusahan adalah sebuah etika, tapi pada kenyataannya rasa ikhlas tidak bisa dipaksa. Meskipun di benak orang lain kita bisa membantunya, tapi kita sendiri yang lebih tahu kesanggupan kita dalam membantu orang tersebut. 

Tipe mereka yang mau utang

Selama menjaga Pertashop milik bapak sendiri, saya ketemu banyak orang yang utang. Berkat itu, saya jadi bisa membedakan tipe-tipe orang yang mau utang.

Tipe pertama itu yang lugas dan tegas menyatakan mau utang. Biasanya, penghutang tipe ini tepat waktu dalam membayar utang tanpa harus kita sungkan menagih.

Tipe kedua dan tipe paling umum yaitu yang mengaburkan niat tujuannya di awal. Pujian disampaikan di awal sambil mencurahkan kesulitan yang sedang mengadang. Pokoknya calon “korban” yang dituntut peka untuk mencerna niat mereka.

Kedua tipe di atas biasanya dilakukan kepada kerabat atau teman. Tujuannya biar muncul rasa iba pada kita. Apalagi kalau kita sebetulnya mau menolak membantu karena keadaan.

Tipe ketiga dan yang paling menyebalkan adalah yang datang secara acak. Diutangi oleh orang tak dikenal memang kasus yang sangat jarang terjadi. Namun, berkat pengalaman yang bekerja di zona publik, saya jadi tahu hal beginian.

Menjaga Pertashop milik bapak yang nggak ada untungnya 

Keseharian saya adalah membantu orang tua mengelola bisnis Pertashop yang tidak ada untungnya. Kalau mau lebih tahu seberapa terpuruknya usaha bapak saya, kamu bisa baca esai saya di Mojok yang dikasih judul “Pertashop: Bisnis Halu yang Kata Agen Pertamina Bisa Bikin Sugih, tapi Nyatanya Perih” oleh redaktur. 

Silakan baca di sini.

Esai itu saya tulis apa adanya, tanpa menyembunyikan sesuatu supaya khalayak iba. Satu sih yang saya samarkan, yaitu nama bapak saya. Namun, mau disamarkan atau tidak, para pemilik Pertashop di Solo Raya tahu bahwa itu kisah bapak saya.

Baca halaman selanjutnya….

Sisi gelap yang tak terduga

Sebagai operator Pertashop yang berinteraksi langsung dengan pembeli, mau tidak mau, saya harus memosisikan sebagai pendengar. Khususnya keluhan para pembeli, termasuk beban finansial yang mereka alami. Inilah sisi gelap penjaga sebuah usaha yang nggak kini ada untungnya.

Jadi, suatu kali, saya pernah diutangi oleh seorang bakul pecel lele. Nominalnya memang “cuma” Rp27 ribu. Namun, utang yang belum lunas itu kan saya ambil dari pemasukan Pertashop.

Dulu, lapaknya cuma berjarak 200 meter sebelah utara tempat saya kerja. Kini, lapaknya sudah hilang entah ke mana. Saya jadi bingung kalau mau nagih bagaimana. Semuanya berawal dari rasa akrab yang terjalin dengan baik.

Awal perkenalan dengan penjaga lapak pecel lele

Cerita bermula saat saya lumayan sering mampir ke lapaknya saat perut keroncongan di malam hari. Mungkin ada sampai tiga kali saya membeli lauk di lapaknya lalu makan di Pertashop.

Kedatangan saya yang terbilang sering ini sukses membangun rasa akrab antara dua pekerja. Awalnya, dia membeli bensin tanpa membawa uang. Setelah bensin terisi, dia bilang, “Mas, aku nggak bawa uang. Nanti malam ke warung ya.” 

Setelah mengiyakan kehendaknya, saya baru sadar kalau saya telah terkena jebakan rasa akrab. Gimana ya, kalau datang ke lapaknya, nggak mungkin saya nggak beli makan di sana. Saya jelas sungkan. Dia membeli bensin Rp10 ribu, tapi harga menu makanan paling murah nasi ampela itu Rp11 ribu. Pening.

Saya merasa terjebak

Oke, saya tidak mau ribet dengan mempermasalahkan selisih seribu rupiah. Namun, masalahnya, si penjaga lapak pecel lele itu malah ngelunjak. Dia beli bensin, tapi nggak bawa uang. Malamnya, setelah selesai menjaga Pertashop, saya disuruh datang ke lapaknya. Begitu terus. Kan saya jadi bingung di bagian pencatatan keuangan.

Sampai suatu kali, ketika malam saya ke sana, sudah tidak ada lagi bahasan soal utangnya. Saya tidak tahu dia lupa atau cuma akting saja. Yang pasti, saya sungkan untuk menagih. Nominal yang terlalu kecil untuk saya perkarakan itu bikin saya malas sekali untuk membahasnya.

Saya mulai mencoba cara dengan tidak datang ke lapaknya di malam hari. Biar dia merasa bahwa utangnya tuh belum dibayar. Namun, ya sama saja. Dia malah nggak pernah lagi ngisi bensin di Pertashop milik bapak saya.

Saat ini, saya beberapa kali melihat si penjaga lapak pecel lele itu naik motor lewat tempat saya kerja. Namun, boro-boro mau ngisi bensin, menyapa saya saja tidak.

Rasa sungkan karena usia

Selain penjaga pecel lele tadi, ada seorang pria berusia senja juga bikin saya super sungkan. Jadi, orang-orang memanggilnya Mbah Man. Saya anggap kakek ini adalah orang random karena sebelumnya kami belum pernah berkenalan. 

Memang, setiap hari saya melihatnya berlalu-lalang di depan tempat kerja saya. Saya tahu bahwa dia adalah tukang bangunan yang sedang menggarap bangunan yang ada di tenggara Pertashop milik bapak saya.

Sangat lugas minta utang

Pernah suatu ketika, Mbah Man membeli bensin. Setelah bensin terisi, beliau mendatangi saya. Tiba-tiba saja dia mengeluhkan masalah keuangan dan dengan lugas minta utang dulu. Permintaannya memang lugas, tapi kondisi saling tidak mengenal ini yang membuatnya gugur dari tipe penghutang yang pertama.

“Boleh utang, Mas? Aku tinggal di dusun ini, sekarang kerja di situ, paling bangunan itu 10 tahun pun belum jadi,” kata Mbah Man yang sukses bikin saya bingung setengah mati.

Saya jawab dengan penolakan sehalus mungkin. 

“Maaf, tidak bisa Mbah. Soalnya uang di sini bukan uang saya. Saya cuma pegawai, Mbah.” 

Jawaban saya membuat ekspresi wajahnya berubah. Yang awalnya bersahabat dan penuh senyum jadi cemberut. Saya jadi sangat nggak enak hati tidak bisa membantu. Tapi apa daya, uang di Pertashop kan memang bukan uang saya.

Sering terjadi

Saya tidak tahu apakah kejadian ini terjadi juga di Pertashop lain, khususnya yang ada di desa. Masalahnya, hal kayak gini sering terjadi.

Nggak cuma dari mulut Mbah Man, kalimat “Rumah saya cuma di sini,” sering jadi andalan untuk membuka utang. Mungkin mereka merasa auto akrab karena lapak bensin ada di tengah desa mereka. Iya, saling membantu memang penting, tapi kan bukan uang saya juga.

Merasa sangat sungkan, lalu merasa bersalah di dalam hati itu nggak enak. Seakan-akan saya jadi orang yang jahat banget karena nggak mau membantu ngasih utang. Tapi, yang saya pahami, berani menolak memberi utang dengan uang yang bukan milik kita bakal bikin masa depan lebih nyaman. Nggak ada beban utang gitu lho.

Penulis: Muhammad Arif Prayoga

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Pertashop Beneran Bangkrut Berkat Nalar Timpang Pertamina

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version