Sisi Gelap Bekerja sebagai Sales Asuransi, Tiap Bulan Rungkat karena Ambisi Senior

Sisi Gelap Bekerja sebagai Sales Asuransi, Tiap Bulan Rungkat karena Ambisi Senior

Sisi Gelap Bekerja sebagai Sales Asuransi, Tiap Bulan Rungkat karena Ambisi Senior

Jadi sales asuransi ternyata tak semudah yang ada di angan. Seperti cerita kawan saya, yang harus babak belur merasakannya

Tak ada yang keliru dengan menjadi selektif dalam memilah-milah pekerjaan. Sayangnya, banyak orang masih terjebak dalam narasi “yang penting dapat kerja dulu”. Hal itu akhirnya bikin mereka menerima tawaran yang tampak menjanjikan di awal, tapi berujung mengecewakan bahkan merugikan dirinya sendiri.

Seperti yang dialami sahabat saya—teman dekat sejak SMA hingga kuliah. Ia sebenarnya adalah sarjana pendidikan, tapi memutuskan ogah menjadi guru karena merasa tak bisa berharap banyak pada sistem yang labil seperti sekarang ini. Bagaimana tidak, la wong sertifikasi tetap diwajibkan, tapi lulusan jurusan lain pun buktinya bisa ambil bagian untuk jadi pengajar. Lalu di mana letak keistimewaan gelar pendidikan jika kompetensinya masih terus dipertanyakan?

Akhirnya, ia lebih memilih melipir ke jalur yang berbeda: menjadi sales asuransi. Di permukaan, pekerjaan ini memang terdengar menjanjikan. Potensi penghasilan lebih besar dan menawarkan lingkungan kerja yang dinamis. Tapi kenyataannya tak seindah itu. Di balik target yang terus menumpuk, masih ada ambisi senior yang malah membebani junior. Menjadikan sales junior seperti sapi perah yang kudu rela diperas tenaganya untuk memuaskan keuntungan seniornya.

Saya menulis ini bukan untuk menjatuhkan profesi apa pun, tapi ingin membantu kamu melihat sisi suram dari sebuah pekerjaan yang mungkin tak disampaikan saat wawancara. Karena pekerjaan bukan hanya soal bisa dapat uang. Tapi juga tentang apakah kamu bisa tidur tenang tanpa merasa hidupmu hanya jadi bahan bakar untuk ambisi orang lain.

Belum kerja, tapi sudah disuruh nyicil tab untuk tugas perusahaan

Idealnya, sebuah perusahaan yang profesional pasti akan memberikan atau minimal meminjamkan alat kerja seperti komputer, tablet, atau handphone kepada karyawan mereka. Bahkan, kalau ownernya baik hati atau cukup lumo, mungkin ada fasilitas kendaraan operasional untuk memudahkan aktivitas saat kunjungan di lapangan.

Namun, dalam dunia sales asuransi, kenyataannya berbeda jauh. Sahabat saya, yang baru saja memulai karier di bidang ini, malah harus mengeluarkan uang sendiri untuk membeli tablet yang katanya “penting” demi menunjang pekerjaannya. Kalau tidak mampu bayar langsung? Tenang saja, bisa dicicil dulu, yang penting segera dipenuhi.

Situasi ini tentu terasa aneh dan memberatkan. Apalagi bagi mereka yang baru memulai dan belum mendapatkan penghasilan sama sekali. Alih-alih mendapat dukungan dari perusahaan, calon karyawan malah dituntut “berinvestasi” dulu demi pekerjaan yang belum pasti hasilnya.

Ini bukan hanya soal alat, tapi bagaimana sistem kerja yang diterapkan sudah membebani sejak awal. Bahkan sebelum mereka benar-benar mulai bekerja. Tak ayal sahabat saya akhirnya kewalahan dan merasa terjebak, karena modal utama untuk bertahan bukan lagi semangat dan keterampilan, melainkan kemampuan untuk mengeluarkan uang terlebih dahulu. Sebuah ironi pahit yang menjadi salah satu sisi gelap dari dunia sales asuransi.

Sales asuransi: kerja kantoran tapi cuma dianggap mitra

Setelah melewati masa awal jadi sales asuransi yang cukup menguras tenaga, mulai dari mencicil tablet, mengikuti pelatihan yang bayaran katanya “menyusul”, hingga diminta hadir ke kantor hampir setiap hari. Sahabat saya mulai menyadari satu fakta pahit lagi: ternyata statusnya hanya sebagai mitra. Meskipun aktivitas hariannya tak jauh beda dengan pekerja kantor pada umumnya. Datang pagi, ikut briefing, turun lapangan mencari nasabah, bahkan sesekali lembur demi mengejar target.

Dalam praktiknya, istilah “mitra” seolah hanya jadi tameng perusahaan untuk lepas tangan dari tanggung jawab. Mereka menuntut loyalitas dan performa layaknya pegawai tetap, tapi tidak menyediakan gaji pokok, tunjangan, ataupun perlindungan kerja yang layak. Semua berbasis capaian polis asuransi.

Kalau target tercapai, baru ada hasil. Kalau tidak? Ya, cukup terima nasib. Di sinilah absurditasnya terasa. Kamu kerja di gedung kantor, pakai seragam, duduk di ruangan rapat, tapi status hukummu nyaris tak lebih dari pekerja lepas. Dan kalau sewaktu-waktu kamu tidak perform, jangan heran kalau pintu keluar dibukakan tanpa banyak penjelasan.

Senior ngebet bonus, junior sering jadi korban

Tak cukup hanya dibebani cicilan tablet dan status kerja yang tak pasti, sahabat saya juga harus menghadapi satu ujian lain saat jadi sales asuransi yang datang dari dalam tim sendiri: ambisi senior. Awalnya, ia sempat berharap akan mendapat arahan dari para senior yang katanya sudah makan asam garam dunia asuransi. Tapi ekspektasi itu segera runtuh. Alih-alih diarahkan atau dibimbing, ia justru merasa seperti pion dalam permainan yang aturannya ia belum pahami sepenuhnya.

Bukannya belajar berkembang, ia malah lebih sering diposisikan sebagai pelengkap demi melancarkan target pribadi orang lain.

Bukan sekali dua kali ia kehilangan prospek nasabah karena senior terlalu kemaruk mengambil alih. Bahkan saat target pribadi mereka sebenarnya sudah melampaui batas aman. Penjualan yang mestinya menjadi pencapaian bersama, justru hanya tercatat atas nama senior. Sebaliknya, ketika hasil nihil, semua beban ditumpahkan ke junior yang dianggap kurang maksimal. Situasi kerja yang seharusnya saling mendukung justru berubah jadi ajang tarik-ulur kepentingan pribadi.

Dalam sistem seperti ini, jelas saja junior bukan dibentuk untuk tumbuh, tapi dijadikan bahan bakar demi ambisi senior yang sudah lebih dulu nyemplung di dunia sales asuransi.

Sisi gelap sales asuransi

Itulah beberapa sisi gelap yang kerap tersembunyi di balik dunia sales asuransi. Tentunya, kisah yang saya ceritakan ini sangat subjektif dan bersumber dari pengalaman pribadi sahabat saya, jadi bukan untuk menakut-nakuti siapa pun. Tujuannya lebih kepada mengajak kita semua untuk meninjau ulang narasi “yang penting dapat kerja dulu”. Tidak semua pekerjaan layak dijalani tanpa memperhatikan kualitas lingkungan dan perlakuan terhadap pekerja.

Khawatirnya, kalau narasi itu terus digaungkan, praktik-praktik tidak adil dan perlakuan yang kurang manusiawi terhadap para sales, atau bahkan pekerja di bidang lain, justru akan semakin meluas dan diterima begitu saja. Meski demikian, saya tetap yakin bahwa tidak semua perusahaan dan lingkungan kerja setoxic itu.

Masih ada tempat di mana sales diperlakukan secara layak. Di mana senior tidak cuma fokus mengejar bonus pribadi, tapi juga benar-benar membimbing dan mendukung junior untuk berkembang dengan cara yang profesional dan penuh rasa kemanusiaan. Semoga tempat seperti itu bukan hanya angan-angan belaka, dan semakin banyak bermunculan.

Sebab di tengah tekanan target dan persaingan kerja yang ketat, setiap pekerja berhak mendapatkan ruang yang sehat dan adil. Bukan sekadar menjadi pion yang dimanfaatkan untuk keuntungan segelintir orang.

Jadi, bagi kamu yang sedang menjalani atau baru ingin memulai pekerjaan ini, jangan pernah kehilangan harapan. Masih ada peluang untuk menemukan lingkungan yang menghargai usaha dan keberadaanmu. Tetap semangat, wong lanang iku tulang punggung dudu tulang-tulung.

Penulis: Dimas Junian Fadillah
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Susahnya Jadi Agen Asuransi, Jadi Musuh Masyarakat karena Dianggap Penipu dan Gila Komisi

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version