SIM Itu Memang Harusnya Susah Didapat, Bukan Malah Dipermudah, apalagi Berlaku Seumur Hidup!

Kenapa sih Pada Protes Akses NIK Kudu Bayar? Kayak Nggak Paham Aja Biasanya Gimana SIM

Kenapa sih Pada Protes Akses NIK Kudu Bayar? Kayak Nggak Paham Aja Biasanya Gimana (I Wayan Adisaputra via Shutterstock.com)

Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi ketiban pekerjaan aneh. Pekerjaan itu datang dari seorang advokat, Arifin Purwanto, yang minta petunjuk apakah masa berlaku SIM lima tahunan yang diadopsi selama ini bertentangan terhadap konstitusi atau tidak.

Menurut Arifin itu bertentangan. Blio penginnya SIM berlaku seumur hidup layaknya KTP. Sebab, permohonan perpanjangan SIM, kata blio, sama kayak pertama kali bikin SIM yang sulitnya minta ampun, tak relevan, dan merugikan. “Terutama pada saat ujian teori dan praktik,” begitulah kira-kira penggalan dalam permohonannya, kukutip dari laman resmi Mahkamah Konstitusi.

Terus terang, menurut saya itu aneh. SIM jelas tidak boleh berlaku selamanya. Bayangkan saja orang-orang yang sekarang memiliki SIM, di kemudian hari kondisinya sudah tak layak mengendarai apa pun: sakit-sakitan, misalnya, atau kecanduan alkohol kronis. Atau bisa saja kemampuan otak dan mental mereka sudah menurun akibat usia. Sementara mereka sendiri tidak menyadarinya atau bahkan menyangkalnya. Siapa tahu, kan?

Kalau SIM ada masa kedaluwarsa, mereka yang masuk kategori di atas pastinya nggak akan lolos sewaktu memperpanjang. Sehingga jalanan tidak diramaikan oleh pengendara yang kondisinya meragukan.

Orang mulai bertanya-tanya, dan itu bagus

Meski begitu, kita boleh saja berterima kasih kepada Arifin, kendati permohonannya masih dalam proses perbaikan dan kuyakin bakal ditolak, sesungguhnya telah membuka ruang dialektika. Orang-orang mulai menimbang-nimbang apakah proses pembuatan SIM selama ini sudah tepat atau gimana?

Adalah Kepolisian Resor (Polres) Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang seolah-olah gercep menyerap pembicaraan itu dengan mengusulkan reformasi materi ujian praktik permohonan SIM; khususnya untuk motor (SIM C). Mereka ingin meniadakan apa yang disebut sebagai tes ketangkasan zig-zag serta memutari “angka 8” kepada calon pengemudi.

Alasan Polres macam-macam, tapi tidak kuat-kuat amat. Misalnya mereka bilang, item zig-zag dan memutari “angka 8” dalam ujian praktik SIM C tak nyambung dengan apa yang diperkenalkan pada materi teori. Ujian praktik SIM C menurut Polres harusnya berkutat pada aksi-reaksi dan keseimbangan saja; kayak di luar negeri gitu.

Selanjutnya alasan utama mereka, tentu bukan karena mengakui ujian praktik SIM itu “nggak ngotak”. Tapi lebih kepada kajian internal tentang kecelakaan lalu lintas yang melibatkan sepeda motor, dengan 1500 kasus per tahun di Bantul. “Penyebabnya didominasi oleh manusianya: kurangnya konsentrasi, dan kecerobohan,” kata AKBP Ihsan, Kepala Polisi Bantul. Maka tidak ada hubungannya dengan keterampilan melewati “angka 8”. Lalu semua orang menyambut baik wacana ini.

Padahal, kita perlu khawatir jika nantinya jalanan dipenuhi pengemudi motor yang tidak ditempa oleh zig-zag dan “angka 8”. Karena ujian ketangkasan zig-zag dan “angka 8” itu, adalah bekal untuk calon pengendara motor agar khatam berkendara di mana pun dan dalam keadaan lalu lintas apa pun. Justru alasan dan kajian Polres Bantul-lah yang sepertinya nggak nyambung kalau kata mereka ketangkasan tidak ada hubungannya dengan kecelakaan.

Skill issues

Kajian Polres Bantul seolah-olah hanya berbicara apa yang tampak, atau benar-benar kecelakaan berat yang tercatat. Sedangkan yang jelas-jelas sering terjadi tapi tidak menyebabkan korban fatal seperti kecelakaan tunggal ringan, pasti tidak masuk dalam kajian mereka.

Ambil contoh pengendara motor menyenggol kendaraan lain saat meliuk-liuk di jalanan macet. Kasus ini pasti tidak tercatat karena para pihak seringnya berdamai. Dan kasus ini lebih disebabkan kompetensi yang minim ketimbang konsentrasi, karena kalau dia mahir, hal itu tak akan terjadi. Kalaupun mereka-mereka yang tidak mahir itu tidak menabrak yang lain, mereka bisa saja jatuh sendiri ketika tak mampu bermanuver di jalanan berlubang misalnya. Dan kans keselamatan jiwa pasca jatuh sungguh sangat mengancam. Ini jelas akan meresahkan pengguna jalan lain yang kebetulan lewat, dan bagaimana kalau mereka terlindas setelah jatuh?

Sekian di antara pembaca setia Mojok juga pasti pernah ngedumel atas kegilaan lalu lintas. Entah karena pengemudi angkot kek, motor, mobil pribadi yang arogan dengan skill seadanya. Semua itu pernah menguji iman kita untuk banyak-banyak istighfar.

SIM memang harusnya sulit didapat, bukan justru dipermudah

Sadar atau tidak, penyebab kejadian-kejadian miris lalu lintas semacam itu hulunya adalah memperoleh SIM yang mudah; lewat calo tentu saja. Nah, kalau bikin SIM harus melewati ujian yang sulit dan calo pun diberantas habis, hal-hal sepele tapi membahayakan di atas setidaknya akan jarang. Bahkan, kesemrawutan lalu lintas dan kemacetan juga bisa berkurang, sebab saat itu jalanan sudah agak sepi sekalipun di jam-jam sibuk.

Kenapa sepi? Karena hanya orang-orang yang mahir yang memiliki SIM nantinya, sedangkan jumlah yang mahir pastilah segelintir.

Kalaupun jalanan tetap ramai, perasaan kita bisa tenang sebab mereka yang berada di jalan sudah ditempa oleh ujian praktik permohonan SIM. Memang kecelakaan tidak bisa diterka-terka. Tetapi jika mereka yang mahir saja bisa kecelakaan, lantas bagaimana mereka yang tidak mahir? Sisi inilah yang luput dari kajian Polres Bantul.

Berantas calo SIM adalah kunci

Kita harus mulai menanamkan budaya untuk tidak malu dan tidak komplain ketika gagal memperoleh SIM lewat jalur yang jujur, lewat tes yang “horor” itu. Sebab, memang tidak ada, sekalipun di negara maju, seseorang memperoleh SIM dengan sekali coba. Ujian SIM adalah tapisan awal untuk menyeleksi mana orang-orang yang layak berada di jalan, mangkanya mendapatkannya harus sulit. Yang penting penyelenggara SIM juga harus jujur, tidak dengan sengaja mempersulit agar disuap atau pergi ke calo.

Tentu penegakan hukum seperti razia SIM dan terutama pemberantasan calo harus lebih serius ditangani. Sama aja boong kan, kalau calo tetap “dipelihara”, eh maksudku berkeliaran di kantor-kantor Satpas? Kayak sekarang ini, jalanan amat meresahkan lantaran banyak yang pakai SIM tembak.

Ngomong-ngomong, kenapa calo SIM tidak pernah benar-benar punah, padahal dari tahun ke tahun selalu ada narasi serius memberantasnya? Ah, semua orang pasti sudah punya gambaran tentang apa yang terjadi…

Penulis: Wasrio Nur Ilham
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Lolos Ujian SIM Tanpa Calo, Bangganya di Mana?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya

Exit mobile version