Konstitusi merupakan pondasi dasar dari sebuah negara yang berisikan prinsip-prinsip fundamental dalam aspek ketatanegaraan. Menurut Saldi Isra, bagaimana framework dan sistem sebuah negara dapat dilihat dari bagaimana konstitusinya. Konstitusi memberikan panduan bagaimana negara dijalankan dan apa saja variabel-variabel yang menjadi prioritas negara.
Menurut Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan pada kedaulatan rakyat (demokrasi). Hal ini secara tegas tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Pasal 1 ayat (2) “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Sayangnya, tidak ada satu pasal pun di dalam konstitusi yang berbunyi “Indonesia adalah negara sepak bola”, sekali lagi tidak ada. Jadi, kalau ada pengamat sepak bola yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara sepak bola maka dapat disinyalir kalau pengamat sepak bola tersebut tidak menyukai mata pelajaran pendidikan Kewarganegaraan. Bisa jadi saat pelajaran pendidikan Kewarganegaraan sang pengamat malah bolos tidur di UKS.
Konsekuensi logisnya, karena sepak bola tidak tertuang dalam konstitusi, maka ya jangan kaget kalau sepak bola bukanlah prioritas di negara ini. Lha wong hukum dan demokrasi yang jelas-jelas tertuang dalam konstitusi saja sering diabaikan je. Hukum dan demokrasi malah sering hanya dijadikan obyek birahi kekuasaan.
Kembali soal konstitusi, mengingat sepak bola tidak tertuang dalam konstitusi dan otomatis bukan menjadi variabel prioritas, maka ya nggak usah gumun kalau tetek-bengek mengenai sepak bola Indonesia seperti mindset, birokrasi, sarana, dan prestasi kita buobrok dan tertinggal dari negara-negara Asia Tenggara. Ibarat berkendara, Indonesia masih menggunakan Astrea 800 sedangkan Thailand, Vietnam, dan Malaysia sudah menggunakan PCX Hybrid. Bahkan Indonesia juga kalah dengan negara semenjana sekelas Filipina yang telah menggunakan kendaraan Vario. Ajurrr.
Di tengah pandemi Covid-19, kompetisi resmi sepak bola Indonesia tidak berjalan. Polisi ora sudi memberikan izin keramaian. Namun, tidak usah kaget. Kan sepak bola bukan prioritas di negara ini. Tapi anehnya, kompetisi antar kampung alias tarkam justru semakin bergeliat. Para pemain profesional turut serta ambil bagian sebagai pemain tarkam musiman yang dalam dinamikanya tidak menutup kemungkinan bisa juga menjadi pegawai tetap tarkam. Jadi statusnya berubah dari pemain profesional yang tarkam menjadi pemain tarkam yang profesional.
Perihal “dilarangnya” kompetisi sepak bola resmi dan fenomena bergeliatnya tarkam yang juga mengundang kerumunan masyarakat, jangan-jangan, masih jangan-jangan lho ya, negara memiliki visi out of the box untuk menjadikan sepak bola tarkam sebagai ujung tombak untuk memajukan prestasi sepak bola nasional. Konsep ini logis juga sih. Dari sisi ekonomi dan efisiensi, sepak bola profesional (resmi) terbukti gagal.
Negara cukup banyak mengeluarkan uang, namun prestasi sepak bola tak kunjung diraih. Jangankan level Asia atau bahkan dunia. Untuk sekelas Asia Tenggara, sekali lagi, sekelas Asia Tenggara saja kita belum pernah juara sejak Sea Games 1991.
Jadi, mungkin inilah cara berpikir yang sangat tidak populer yang mungkin sedang disiapkan oleh negara, dengan menjadikan tarkam sebagai ujung tombak untuk memajukan prestasi sepak bola kita yang telah lama terpuruk. Lagi pula sepak bola kan bukan variabel prioritas negara, ono yo karepmu, ora ono yo ora popo.
Teman saya bernama Deni Agus Prayikno, seorang makelar togel yang sudah tobat beberapa hari lalu mengungkapkan rasa herannya pada saya. “Dik, Ketua PSSI itu kan mantan jenderal polisi bintang tiga, bahkan pengurus-pengurus PSSI sekarang juga banyak dari petinggi Polri, lha kok bisa polisi tidak memberikan izin, Kapolri dan jajaran petingginya kan pasti juniornya Pak Mochamad Iriawan di Akpol, apa tidak sungkan mereka pada sang senior karena tidak memberikan izin?”
Saya dengan berat hati menjawab dengan sedikit bumbu suudzon tentunya. “Mungkin Den, beliaunya dulu adalah senior yang galak sehingga kurang dihormati junior”. Ini kira-kira saya saja lho Pak Iwan Bule, pliss jangan dimasukkin hati ya kalau Anda membaca esai ini.
Sekali lagi saya ingin kembali mengingatkan bahwa Indonesia itu bukan negara sepak bola. sepak bola tidak ada dalam konstitusi. Jadi, udahlah nggak usah berharap banyak pada sepak bola Indonesia. Berharap banyak pada sepak bola Indonesia ujung-ujungnya nyesek doang, serius.
BACA JUGA Melihat Sepak Bola Amerika Serikat Bikin Saya Sedih sama Negeri Sendiri.