Senjakala Ojek Online di Sumenep: Dulu Berjaya, Kini Terlunta-lunta

Senjakala Ojek Online di Sumenep: Dulu Berjaya, Kini Terlunta-lunta

Selain transportasi pribadi, ojek online juga (terpaksa) jadi solusi (Unsplash.com)

Senja sudah membiru, ojek online di Sumenep digulung pilu

Ketika saya merantau ke Surabaya dan Malang, jalanan dipenuhi oleh sopir-sopir ojek online. Mereka sibuk mengantarkan penumpang ke lokasi tujuan atau mengantarkan pesanan makanan sesuai lokasi dari pemesannya. Teknologi telah memberikan peningkatan ekonomi. Dengan kecanggihan teknologi, para sopir ojek bisa meraup keuntungan besar untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.

Ketika saya memesan ojek online baik di Surabaya atau Malang, saya sering berbincang dengan sopirnya. Di tengah perbincangan, biasanya saya sering bertanya, pertanyaan yang sering saya ajukan adalah dalam sehari bisa meraup keuntungan berapa. Rata-rata para sopir ini (dulu) bisa meraup keuntungan ratusan ribu, bahkan bisa satu juta asalkan kerja lebih ekstra. 

Sayangnya, besarnya pendapatan sopir ojek online di Surabaya dan Malang, jauh berbeda dengan di Sumenep. Mereka justru tidak bisa meraup keuntungan besar. Jangankan mendapatkan keuntungan jutaan rupiah, memperoleh keuntungan ratusan ribu saja sudah sulit.

Sebenarnya, penurunan pendapatan yang dialami sopir ojek online di Sumenep baru terjadi akhir-akhir ini. Pada awal peluncuran Gojek dan Grab, mereka bisa mendapatkan banyak order. Saya pernah bertanya pada salah satu sopir ojek online, “Sudah dapat berapa penumpang, Pak?” Sang sopir menjawab, “Alhamdulillah sudah dapat delapan penumpang. Belum terhitung order makanan yang sudah dapat tujuh kali.”

Ojek online jadi fenomena

Tingginya masyarakat Sumenep menggunakan jasa ojek online pada awal peluncuran Gojek dan Grab cukup rasional. Seperti masyarakat di daerah lain, masyarakat Sumenep memiliki karakter ingin mencoba hal baru. Dan kebetulan, Gojek dan Grab merupakan jasa ojek online pertama yang ada di Sumenep kala itu. Alhasil, banyak masyarakat ingin merasakan rasanya menggunakan jasa mereka.

Bahkan, dari saking ingin mencoba rasanya menggunakan jasa ojek online, banyak dari teman saya iseng memakai jasa mereka, meski lokasi tujuan hanya berjarak satu kilo meter. Saat saya bertanya, “Apa nggak sayang sama uangmu? ”, jawab mereka adalah, “Nggak, saya cuman iseng saja. Mau tahu rasanya diantar sama abang-abang ojol.”

Hingga kemudian memasuki tahun berikutnya, eksistensi jasa ini mulai meredup. Masyarakat sudah mulai enggan untuk menggunakan jasa mereja. Rata-rata masyarakat enggan karena sudah merasa bosan. Sebab, masyarakat di Sumenep lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi. Bisa dipahami.

Supply yang jauh melebihi demand

Supply melebihi demand

Alasan masyarakat lebih memilih memakai kendaraan pribadi karena (apalagi kalau bukan karena) lebih hemat pengeluaran. Bukan karena orang Sumenep pelit, melainkan lebih pada tidak punya alasan mendesak untuk memakai jasa ojek online. Mengingat, kondisi lalu lintas di Sumenep tidak pernah macet, sehingga memudahkan masyarakat untuk sampai ke lokasi yang ingin dituju.

Berbeda dengan di kota-kota besar, yang kondisi lalu lintasnya selalu macet. Sehingga, masyarakat di kota besar lebih memilih memakai jasa ojek online agar tidak ribet dan untuk menghemat energi.

Di sisi lain, yang menjadikan para driver di Sumenep mengalami kelunglaian karena semakin menjamurnya jasa serupa. Jika pada masa awal booming hanya ada Grab dan Gojek di Sumenep, kini semakin banyak jumlahnya. Apa yang terjadi saat supply melebihi demand? Yak, kalian bisa menebaknya sendiri.

Itu sebabnya yang menjadikan para sopir ojek online di Sumenep saat ini mulai jarang mendapatkan orderan. Kebetulan salah satu teman sekolah saya ada yang menjadi sopir ojek online. Saya coba bertanya ketika bertemu  dengannya, “Sudah dapat berapa penumpang, kawan?” “Ah, sekarang sudah susah buat dapat penumpang. Hari ini saja baru dapat dua, biasanya dalam sehari tidak pernah lebih dari lima penumpang,” jawabnya.

Selesai menjawab, saya coba bertanya lagi “Kalau order makanan masih ramai?” Kawan saya menjawab, “Tidak begitu ramai seperti dulu. Kalau dulu saya bisa dapat belasan order, kalau sekarang tidak pernah lagi.”

Saya coba bertanya lebih lanjut, “Apa lainnya juga begitu?” “Ya, hampir semuanya nasib sesama sopir ojek online mengalami penurunan penghasilan sekarang,” jawabnya. 

Jawaban-jawaban tersebut menghapus cerita-cerita indah yang kita dengar ketika ojek online pertama kali memgaspal. Penghasilan tinggi, orderan ramai, dan dianggap sebagai pahlawan. Kini, nasib mereka tak lagi seindah dulu. Senja, nyatanya benar-benar membiru, dan bikin para driver ojek menatap hari dengan begitu pilu.

Penulis: Akbar Mawlana
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Sikap Customer yang Menyusahkan Driver Ojek Online

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version