Sudah sejak lama, salah satu penulis yang saya ikuti di media sosial kerap membagikan foto buku-buku yang ia baca. Dan buku karangan Haruki Murakami adalah diantaranya. Saat itu, saya belum punya niat membaca novel terjemahan apapun selain karangan Paulo Coelho. Tapi, ketika saya sedang jalan-jalan di goodreads, saya temukan quotes Murakami yang penuh makna. Quote dari novel-novelnya beberapa sangat kompleks, beberapa tersaji sederhana, dan semuanya sangat benar maknanya dari kacamata saya.
Norwegian Wood berjudul asli Noruwei no Mori, ditulis oleh Haruki Murakami dan diterbitkan pada tahun 1987, kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris pada tahun 2000. Genre novel ini adalah coming-of-age, sebuah genre yang berfokus pada perkembangan moral dan psikologi tokoh protagonis dari zaman muda menuju dewasa. Novel ini telah diadaptasi ke dalam sinema oleh Tran Anh Hung pada tahun 2010 dan dipertontonkan dalam Venice International Film Festival. Tulisan saya kali ini akan mengupas (sedikit saja) tentang reaksi saya membaca dan nantinya menonton karya satu ini.
Novel ini dibuka dengan adegan di mana seorang Toru Watanabe (tokoh protagonis utama yang menjadi pencerita) sedang duduk di kursi pesawat yang akan terbang ke Jerman. Dari speaker pesawat, mengalun lagu Norwegian Wood karya the Beatles. Lagu tersebut menjadi pencetus utama kembalinya ingatan Watanabe ke masa mudanya di Jepang tahun 1960-an. Toru berteman karib dengan Kizuki. Kizuki berpacaran dengan Naoko. Tiga orang tersebut sering menghabiskan waktu bersama. Meskipun Naoko adalah kekasih sahabatnya, namun Toru justru merasa kikuk jika berada dalam keadaan berdua saja bersama Naoko. Toru dan Naoko bahkan kadang tidak terlibat dalam percakapan. Kizuki adalah lem perekat dan pencair suasana.
Singkat cerita, Kizuki diceritakan bunuh diri dengan memerangkapkan diri di dalam mobil dan meracuni dirinya sendiri dengan gas. Suasana berubah sangat kelam. Toru sangat terpukul dan tidak menemukan satu alasan mengapa sahabatnya bunuh diri di umur 17 tahun. Semuanya begitu tidak masuk akal bagi Toru. Begitu juga bagi Naoko. Naoko mengunjungi Toru dan sering berjalan kaki berdua. Meski begitu, mereka sangat menghindari membicarakan kematian Kizuki. Toru melihat bahwa Naoko mungkin membutuhkan penghiburan, sehingga ia sering berjalan beberapa langkah di belakang Naoko, bukan di sampingnya. Toru adalah pencerita yang baik, Murakami membentuk karakter ini cukup kuat. Sifat Toru yang pendiam, introvert, dan suka memperhatikan apapun di sekitarnya sampai mendetail, cukup membawa saya masuk ke dalam cerita.
Cerita berlanjut sampai pada hari ulang tahun Naoko. Toru datang ke rumah Naoko, membawakannya kue, mengobrol, dan melakukan hal yang orang dewasa lakukan. Saya baru ingat, novel ini mengandung beberapa adegan dan tersirat topik sex disorder para karakternya. Sehingga sepertinya novel ini dapat dikategorikan sebagai novel dewasa.
Setelah hari ulang tahun Naoko, Toru tidak pernah mendapati Naoko mendatangi atau menghubunginya. Naoko mengirimi Toru surat, berkabar bahwa dirinya harus pergi untuk beberapa waktu. Toru membalas surat tersebut dengan permintaan maaf. Toru juga bertanya apakah Naoko merasa tersakiti akibat perlakuan Toru. Segala hal menjadi samar di antara keduanya. Naoko menjawab, dia tersakiti karena dirinya sendiri.
Selama nihilnya kemunculan Naoko, seorang karakter masuk ke kehidupan Watanabe: Midori, gadis periang yang sangat attractive. Midori pernah satu kelas kuliah dengan Toru dan menyapanya saat sedang makan siang. Midori tertarik untuk mengenal Toru lebih jauh meskipun ia dan Toru sama-sama tahu bahwa Midori sudah punya kekasih.
Pada suatu waktu, Naoko mengabari Toru bahwa dirinya dirawat di sanatorium (semacam tempat penyembuhan pasien penyakit jiwa), di tempat yang jauh dari pusat kota, tempat yang sepi dan jauh dari keramaian. Dokter sudah memperbolehkan Naoko dikunjungi sehingga perempuan itu mengabari Toru dan berharap Toru akan mengunjunginya. Senang bukan main, Toru segera melakukan perjalanan ke sanatorium. Ia harus berjalan kaki masuk ke dalam hutan dan menemukan Reiko, perawat Naoko yang juga pernah menjadi pasien di situ. Reiko memiliki kisah pahitnya sendiri.
Naoko terpukul dengan kepergian Kizuki dan sakit hati terhadap perlakuan Toru saat hari ulangtahunnya. Tapi ia tidak mengungkapkannya. Ia berkata kebalikan dari apa yang hatinya mau katakan. Ketika Toru akan pulang, Naoko bertanya apakah Toru mencintainya. Toru bilang iya. Naoko berharap Toru dapat menunggu sampai kesembuhannya.
Di asrama, Toru juga mengenal Nagazawa, seorang mahasiswa yang cukup kaya yang hampir setiap malam selalu menghabiskan waktu bersama para wanita. Toru masuk ke dalam arus kehidupan Nagazawa. Dari Nagazawa, Toru mengenal Hatsumi (kekasih Nagazawa). Hatzumi teramat baik untuk Nagazawa dan Toru selalu berpikir mengapa dari sekian banyak lelaki, Hatzumi bisa amat yakin bahwa ia mencintai Nagazawa. Di tengah novel diceritakan bahwa beberapa tahun kemudian, setelah Nagazawa meneruskan sekolah ke Jerman, Hatzumi menikah dengan lelaki lain dan bunuh diri setelah dua tahun pernikahannya. How ironic!
Kembali ke 1960-an, plot cerita Murakami terbangun dengan baik dan smooth. Kehidupan Naoko di sanatorium, perkembangan hubungan Toru dan Midori, kebiasaan keluar malam Toru bersama Nagazawa, dan hal-hal menarik lainnya ditumpahkan sedikit demi sedikit oleh Murakami. Saya tidak akan menceritakan plot novel ini sampai habis. Yang jelas, ada 4 karakter yang bunuh diri dalam cerita ini. Kizuki dan Hatzumi sudah saya ceritakan. Dua lainnya bisa Anda coba telusuri di dalam novel.
Saya menghabiskan sekitar 3-4 minggu melahap novel ini.
Di tengah pembacaan novel ini, saya iseng mencari filmnya di Youtube. Pertama yang saya temukan hanyalah trailernya saja. Dagu saya sampai hampir jatuh ketika saya melihat siapa yang memerankan Midori. Dia adalah Kiko Mizuhara, seorang model Jepang yang punya hubungan khusus dengan salah satu idol K-Pop yang saya gemari. Saya jadi tambah penasaran. Akhirnya saya menemukan filmnya utuh di Youtube dan menontonnya sampai habis. Film ini masuk seleksi pada 67th Venice Film Festival in Competition, Toronto Film Festival Official Selection, dan Dubai Film Festival.
Sejauh ini, menurut saya, tidak terdapat perbedaan mencolok antara sinema dan aksara. Antara film dan novelnya. Saya jadi lebih bisa membayangkan adegan-adegan dalam novel setelah saya meneruskan pembacaan saya. Dan saya mengerti betul adegan mana yang akan muncul dalam film, berdasarkan ingatan saya terhadap plot di dalam novel. Seperti mencocokkan puzzle.
Yang kurang dalam sinema ini, adalah, Tran Ahn Hung hanya mendekati penceritaan Murakami dari sisi cinta dan kehilangan. Padahal menurut saya, novel ini lebih kental menceritakan kehidupan dan kematian. Beberapa karakter teguh memaknai kehidupan, sementara lainnya menceburkan diri pada kematian dini. But overall, saya sangat menyukai film ini, sebesar saya menggemari novelnya.
Membaca tulisan Murakami seperti mengunjungi tempat-tempat asing. Saya terpana dan ingin terus menelusuri hal-hal menarik yang Murakami tawarkan. Pemilihan diksi dan aliran plot yang halus, juga, yang paling membuat saya kagum adalah cara Murakami meramu setting. Dia menceritakan sesuatu amat detail. Semua indera ia gunakan. Maka tak sulit bagi saya membayangkan segala sesuatunya di otak saya ketika membaca.
Kata orang, Norwegian Wood adalah novel yang selalu ada di tiap rumah di Jepang. Dalam arti, karya ini sangat populer. Juga, di Eropa dan Amerika pada umumnya. Pada masanya, gaya penulisan Murakami dinilai berbeda dengan penulis Jepang kebanyakan. Ia berani mengambil gaya menulisnya sendiri. Dan mungkin saking terpesonanya saya terhadap karyanya, lain waktu saya akan menulis lebih dalam tentang dunia literasi seorang Haruki Murakami.
“I don’t care what you do to me, but I don’t want you to hurt me. I’ve had enough hurt already in my life. More than enough. Now I want to be happy.”
Bagi saya, perkataan Midori di atas punya makna yang sangat dalam. Dalam hati saya meresapinya:
“Aku tidak peduli apa yang akan kau lakukan padaku, tetapi aku tidak ingin kau menyakitiku. Aku sudah pernah tersakiti dalam hidupku. Lebih dari cukup. Sekarang, aku ingin bahagia.”
Semoga tulisan ini membantu setiap orang yang sedang mencari bahan bacaan fiksi di usia 20-an. Dari buku Norwegian Wood kita bisa mendapatkan masukan bahwa bacaan yang tidak hanya melulu romance. Tidak selalu teenlit atau chicklit. Bagi pembaca yang ingin beralih dari dunia fiksi yang ringan namun belum ada keinginan membaca buku-buku sastra, saya rasa Norwegian Wood bisa jadi jalan tengah dari kedua polaritas tersebut.
Selamat memaknai setiap tulisan yang kita baca.