Saya Beruntung Nggak Pernah Tinggal di Kota Romantis seperti Jogja dan Bandung

UMR Jogja Harus Naik Drastis, Tidak Bisa Tidak! upah minimum yogyakarta

UMR Jogja Harus Naik Drastis, Tidak Bisa Tidak! (Shutterstock.com)

Di masa awal kuliah, saya sempat menyesal. Pasalnya saya melewatkan kesempatan untuk menetap sementara di berbagai kota romantis seperti Bandung dan Jogja. Kemampuan otak waktu itu cuma bisa mengantarkan saya kuliah pada PTAIN di Semarang. Belum mampu membuat saya tembus pada PTN favorit di Bandung atau Jogja.

Untungnya, perlahan tapi pasti, rasa menyesal itu berubah jadi syukur. Pasalnya, semakin saya dewasa, semakin terlihat bahwa tinggal (bermukim) di kota romantis itu nggak seenak yang dibayangkan. Sebelum orang Bandung atau Jogja tersinggung, izinkan saya menjelaskan alasannya sebagai berikut.

Nggak perlu macet-macetan saat musim liburan

Kota romantis memang selalu identik sebagai destinasi wisata. Baik yang ada di dalam negeri maupun luar negeri. Kalau di luar negeri, sebut saja Paris. Sedangkan di dalam negeri, ada Bandung dan Jogja.

Di kota romantis yang dijadikan destinasi wisata dalam negeri kerap terjadi kemacetan pada musim liburan. Saking seringnya kemacetan saat musim liburan pada sebuah kota romantis di Indonesia, pemerintah daerahnya meminta penduduknya sendiri untuk di rumah saja selama liburan. Mungkin, supaya nggak menimbulkan kerumunan dan kemacetan, tapi wisatawan luar malah bebas datang.

Padahal, nggak semua penduduknya bebas kerja saat liburan. Masih banyak para karyawan dan buruh serabutan yang mesti kerja saat liburan. Kalau sehari nggak kerja, besok mau makan apa? Pemerintah kok cuma bisa ngasih instruksi, bukan solusi, rak mashok.

Kalau tinggal di luar kota romantis saat liburan nggak bakal macet-macetan. Jalan pasti akan lebih lengang. Yaaa setidaknya nggak macet lah.

Nggak perlu merasakan patah hati di kota romantis

Tinggal di kota romantis, harapannya bukan hanya jatuh cinta dengan kotanya saja. Tapi, bisa juga jatuh cinta dengan salah satu penduduknya. Syukur-syukur kalau cintanya bukan cinta monyet. Melainkan cinta yang lebih serius, cinta yang hanya dapat dipisahkan oleh maut.

Akan tetapi, selama saya berteman dengan beberapa orang yang pernah tinggal lama di kota romantis Indonesia, nggak sedikit yang merasakan patah hati di sana. Bahkan ada yang nggak sempat meneguk manisnya madu asmara. Soalnya selalu ditolak oleh para gebetannya.

Menurut seorang teman, patah hati di tengah kota romantis itu sangat pedih. Pasalnya, di berbagai sudut kota romantis, banyak muda-mudi memadu kasih. Musisi jalanan melantunkan lagu indah dan bahagia. Di tengah kondisi kota yang sedang riang gembira, mungkin orang yang sedang patah hati bakal merasa cuma dia satu-satunya yang sengsara di kota tersebut.

Baca halaman selanjutnya

Kecewa dengan kota romantis…

Kecewa dengan kota romantis

Bayangan umum terhadap kota romantis adalah indah. Setiap sudut kotanya menyapa kita dengan mesra. Suasana kotanya bikin seseorang makin nyaman. Dan, bau kotanya merasuk ke dalam hidung dengan manja.

Kota romantis di Indonesia selalu dianggap sempurna. Nyaris tanpa cela. Kalau pun ada yang mengkritik, paling cuma dianggap orang iri. Atau, dicap sebagai orang cari perhatian.

Padahal, faktanya, kota romantis di Indonesia nggak selalu indah. Macet ada di mana-mana. Transportasi umum kurang terurus. Pemerintahnya nggak becus.

Maka, nggak heran kalau penduduk kota romantis banyak yang kecewa terhadap daerahnya sendiri. Sebab, nggak sedikit dari mereka  yang punya ekspektasi ketinggian terkait tinggal di kota romantis. Nyatanya, kota romantis belum bisa memenuhi ekspektasi sederhana seperti ingin hidup bahagia di kota tersebut.

Melihat sisi gelap kota romantis

Setiap kota itu sama seperti uang logam. Memiliki dua sisi. Ada sisi baik atau positif. Dan, ada sisi jelek atau gelapnya. Tak terkecuali kota romantis.

Akan tetapi, mayorits wisatawan cuma melihat sisi indah dan baik dari sebuah kota romantis. Jarang sekali yang mau melihat sisi gelapnya. Memang nggak ada kewajiban bagi wisatawan untuk melihat sisi gelap dari sebuah kota romantis. Tapi, setidaknya wisatawan harus peduli dengan sisi gelap kota romantis.

Pasalnya, cukup banyak sisi gelap dari kota romantis di Indonesia. Sedikit contohnya adalah klitih di Jogja dan oknum geng motor sadis. Ada juga ketimpangan ekonomi masyarakat. Sisi gelap kota romantis ini hanya bisa dilihat oleh penduduknya sendiri. Orang yang sering plesiran ke sana pun belum tentu sadar sisi gelap tersebut, karena mereka sudah dibutakan sisi romansanya.

Begitu sekiranya berbagai alasan yang membuat saya bersyukur nggak pernah tinggal di kota romantis. Memang benar kata band Souljah, tak selalu yang bersinar itu indah. Telah terbukti di kota romantis macam Bandung dan Jogja.

Penulis: Ahmad Arief Widodo
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Mengurungkan Niat Kuliah di Jogja Adalah Keputusan Terbaik yang Pernah Saya Ambil

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version