Saya Anak Polisi dan Masih Percaya Ada Polisi Baik di Indonesia

Saya Anak Polisi dan Masih Percaya Bahwa Ada Polisi Baik di Indonesia terminal mojok

Beberapa hari ke belakang, polisi jadi bahan perbincangan banyak orang. Saya percaya, masih ada polisi baik di bumi Nusantara.

Waktu itu Jalan Kaliurang sepi sekali. Hanya ada saya yang sedang berbaring karena lelah sehabis mengantar kawan-kawan saya pasca-mabuk semalam. Ditakdirkan sebagai manusia yang sulit mabuk di tongkrongan itu memang sulit. Satu sisi saya harus jadi sapu ranjau kawan-kawan yang goblok-goblok kala mabuk, sisi satunya saya jadi nggak tahu nikmatnya mabuk.

Saya berbaring di dekat trotoar depan Fakultas Kimia Universitas Gadjah Mada. Kaki saya rasanya kebas luar biasa. Saat itu, hanya ada polisi yang berjejeran, mereka diam saja menatap saya. Saya kaget mak tratap luar biasa. “Pukul tiga pagi, sedang apa polisi-polisi itu?” Begitu yang muncul dalam benak saya. Kunang-kunang makin banyak saja ketika saya melihat mereka yang terus-terusan diam.

Saya duduk untuk menghormati kehadiran mereka. Jelas tubuh saya bau arak. Mulut saya bukan lagi bau naga, melainkan bau surga dunia bernama lapen yang entah sudah dicampur apa. “Mau nangkap saya, nih,” begitu yang ada di pikiran saya.

Mereka melulu diam. Seperti diamnya Jalan Kaliurang yang nggak pernah pergi ke mana-mana, nggak seperti Warung Ijo yang pergi mengkhianati dengan perlahan para mahasiswa yang gemar mabuk.

“Pak?” panggil saya saya. Mereka diam. “Mau menangkap saya?” Mereka masih diam. “Tapi saya nggak punya duit, lho. Percuma nangkap saya,” kata saya. Mereka diam walau jelas kata-kata yang keluar dari mulut saya tadi bakalan menyinggung mereka.

Setelah saya meludahi tangan lantas mengucek mata, saya sadar satu hal; malam itu saya mabuk. Sambil tertawa kemekelen, saya berkata, “Bajingan, jebul saya dari tadi sedang ngomong sama polisi tidur Jalan Persatuan. Pantas saja mereka baik, nggak lekas menilang atau mencari-cari kesalahan saya.”

***

Tagar #PercumaLaporPolisi naik di lini masa Twitter. Isinya bak sebuah kertas aduan kepuasan masyarakat atas kinerja polisi kita selama ini. Sejatinya, itu adalah keuntungan bagi polisi. Yah, hitung-hitung sebagai survei gratis. Namun nahas, Polri justru melawan balik dengan tagar #PolriSesuaiProsedur. Menggelikan memang, namun mau bagaimana lagi, kita hidup di dunia yang penuh dengan citra.

Tagar #PercumaLaporPolisi sebenarnya adalah buntut dari series reportase Project Multatuli. Dibuka dengan “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan”, dan ditutup dengan label hoaks dari Kepolisian Luwu Timur, yang tercatut dalam reportase tersebut. Alih-alih mawas terhadap kinerja, mereka malah sembarang udel ngasih label hoaks.

Tagar tersebut meluas di Twitter, nggak hanya kasus seksual yang diabaikan, bahkan para netizen menyasar kasus pribadi mereka seperti dompet yang hilang, ditilang dengan tidak sesuai prosedur, melaporkan kasus kehilangan yang justru mengeluarkan uang lebih banyak dari uang yang hilang tersebut, dan masih banyak lagi. Bahkan sampai kasus polisi yang memperkosa anak di bawah umur. Ah, dunia.

Ketika geger gedhen belum nyilik, muncul satu tokoh pilih tanding yang embuh dari mana, mak mbendunduk membuat sebuah utas yang luar biasa mencengangkan. Namanya adalah Yunus Saputra, dalam bio Twitter-nya menyebutkan bahwa ia adalah Kepala Analis CCIC Polri. Entah niatnya apa, dari utas yang ia buat, netizen justru makin yakin bahwa #PercumaLaporPolisi adalah sebuah kebenaran.

Nggak sepenuhnya ngawur, ada sebuah kata-kata dari utas itu yang menyentil benak saya, yakni “…anda telah menyakiti generasi2 Polri yang sudah susah payah memperbaiki kinerja dan profesionalisme dari dalam institusi.”

Satu pertanyaan prinsip muncul ke permukaan, apakah masih ada polisi baik di negeri ini? Kecuali polisi tidur yang saya sua ketika mabuk tadi, tentu saja.

***

Demo Omnibus Law yang menggulung Jalan Malioboro Yogyakarta Oktober 2020 silam adalah demo terakhir yang saya ikuti. Gas air mata beterbangan sepanjang aksi massa. Teriak para pengunjuk rasa, beradu dengan kerasnya barisan polisi di depannya. Sedang saya, sibuk mimik es teh di pinggiran Malioboro, membantu para pedagang kukuti dagangannya.

Ya, saya adalah demonstran yang nggak keren-keren amat. Saya nggak pernah orasi di depan massa aksi. Saya hanya ekor dan selamanya menjadi ekor. Gas air mata membuat badan saya penguk sekali sore itu. Pelupuk mata saya juga diolesi dengan odol oleh peserta aksi yang lainnya. Ketika mereka teriak, saya ikut berteriak. Ketika mereka menekan barisan, saya hanya bisa ikut-ikutan.

Nihil hasil, tentu saja. Puan Maharani dengan segala power-nya berhasil mematikan satu mikrofon milik rekannya. Saya pulang dengan menunduk begitu dalam. Kesedihan melanda ketika saya menginjakkan kaki di rumah. Bangsat, saya bahkan seorang demonstran yang pulang ke rumah seorang polisi. Benar, ayah saya adalah pensiunan polisi.

Di kamar saya hanya diam dan melihat ke langit-langit kamar yang mulai banyak rembesan air hujan. Dinding kamar saya ada tulisan ACAB, buku-buku begundal yang berjejeran di lemari kamar, bahkan adalah hasil uang pensiunan ayah saya. Sialan, uang pensiunan polisi saya habiskan untuk membuat sebuah graffiti bertuliskan “All Cops Are Bastards”. Uang rakyat yang berhulu dari pajak, sih, lebih tepatnya.

***

Satu tahun sudah pasca-demonstrasi besar Omnibus Law. Isu perihal polisi kembali naik dan menjadi topik. Masih sama, yakni kepercayaan masyarakat yang kian pudar kepada lembaga yang harusnya melindungi dan mengayomi itu. Tagar #PercumaLaporPolisi yang digaungkan Project Multatuli itu menyebabkan adanya serangan DDos terhadap situs.

Nggak berhenti sampai sana saja, polisi seakan nggak paham perihal UU Pers. Akun @humasreslutim sekonyong-konyong menuliskan secara gamblang nama asli dari Lydia. Padahal, nama itu disamarkan untuk menjaga privasi aslinya. Bahkan mereka memberikan stampel hoaks pada laporan tersebut alih-alih memberikan kejernihan.

Polisi, menjadi sebuah momok menakutkan alih-alih berada di pihak masyarakat. Dari demo Omnibus Law yang saya ikuti, Kepala Analis CCIC Polri yang bikin utas nggak jelas itu, sampai polisi-polisi @humasrelutim yang memberikan stampel hoaks alih-alih membuka kembali kasus tersebut, membuat nyali saya kian kecil kala mengatakan, ayah saya yang seorang pensiunan polisi, adalah salah satu dari sekian sedikitnya polisi baik di Indonesia.

***

Polisi baik jelas ada. Sayangnya, mereka tertutup oleh polisi-polisi menyebalkan yang sering kita sua di mana-mana. Kalau jelek, disebut oknum. Nah, kalau baik bakalan dikata “Ini dia citra kepolisian Indonesia.” Ya, nggak salah, kan? Seperti yang saya sebut di awal; kita hidup dalam dunia yang penuh citra.

Almarhum ayah saya, jelas adalah sosok ayah yang baik, ia bertanggung jawab dan tentu saja menafkahi dengan ajeg. Namun entah bagaimana ketika ia menjalani profesinya sebagai seorang polisi. Baik kah? Mengutamakan masyarakat atau hanya sebagian kecil golongan kah? Saya nggak tahu. Semoga saja sih iya. Arti lain, kehadiran polisi baik di negeri ini bukan sekadar mitos, sayangnya terlalu banyak takhayul yang menyertai di sekitarnya hingga mengaburkan eksistensi riilnya.

Demo Omnibus Law 2020 yang penuh dengan tempik sorak membuat saya kontemplasi sejenak. Ingin rasanya memukul polisi-polisi yang berjejer di depan saya, menengok demo 2016 silam ketika saya maba, kepala saya pernah dikepruk oleh salah satu oknum polisi.

Lantas saya berpikir masak-masak, ketika saya memukul polisi di baris depan demo Omnibus Law tersebut, bagaimana jika ada orang terkasih yang sedang menunggu dirinya pulang? Entah istri, pacar, atau malah anaknya? Atau malah orang tuanya? Orang tua yang dengan sabar menunggu kabar, pun menunggu transferan gaji anak-anaknya? Saya menjadi ciut. Nyatanya, Ahimsa milik Mahatma Gandhi ada benarnya juga.

Lantas gemuruh dan gejolak muncul. Bagaimana jika salah satu polisi di depan saya ini adalah mereka yang berlagak menjadi preman ketika ada di daerah urban, memeras para pedagang atas dalih premanisasi keamanan, atau malah mereka yang suka bikin story WhatsApp dengan caption “Pacar kamu bisa gini nggak?”, hati saya mencelos. Mendidih.

Kesadaran saya penuh ketika menatap polisi tidur Jalan Persatuan dekat UGM yang berjejeran. Semalam mereka melihat saya mabuk, kini mereka kembali menjalankan fitrahnya dengan goleran di jalan. “Kamu lihat saya mabuk semalam, tapi kamu nggak nangkap atau menganti dengan denda berupa rupiah,” begitu batin saya.

Namun saya yakin, polisi baik itu ada. Walau polisi tidur yang menjadi salah satu contoh konkretnya. Atau mungkin ada yang lainnya, hanya saja belum terlihat hilalnya.

Sumber Gambar: Pixabay

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version