Semoga orang-orang yang melalui Sawangan Depok setiap hari diberi ketabahan dan umur panjang…
Bagi warga yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya, kemacetan lalu lintas bukanlah hal yang baru. Pertanyaan basa-basi seperti, “Gimana perjalanan pulang tadi? Macet nggak?” rasanya sudah mendekati sikap bodoh dan bebal.
Pertanyaan tersebut mungkin tidak berpengaruh bila dilontarkan kepada seorang pekerja yang kantornya hanya berjarak 1 kilometer dari tempat tinggal. Tapi, silakan dihitung, berapa banyak orang yang tidak kecipratan rezeki nomplok macam itu?
Daftar Isi
Awal mula perkenalan dengan Sawangan Depok
Keresahan saya terhadap lalu lintas perkotaan mencapai puncaknya ketika muncul kebijakan terkait pemindahan tempat kerja. Istri saya—yang berkarier di salah satu perusahaan pelat merah—dipindahkan ke kawasan BSD, tepat setelah keluarga kami pindah ke Depok.
Keputusan sudah kadung dibuat. Konsep ruang hidup manusia tak selayaknya keong dan rumahnya yang bisa dibawa ke mana saja. Nasib mau tidak mau mesti dijalani demi pundi-pundi rupiah.
Alhasil, sebagai suami yang masih bekerja remote dan baik pekerti, saya berprinsip untuk mengantarkan istri dari Depok-BSD-Depok tak kurang dari 80 kilometer tiap hari. Di situlah masalahnya: ada neraka yang harus dilalui bernama Sawangan.
Dalam sejarahnya, Khmer Merah memang membuat Kamboja dijuluki sebagai neraka dunia. Namun, saya lebih setuju apabila gelar itu buru-buru diserahkan saja kepada daerah Sawangan Depok!
Pengalaman buang umur di daerah tengik ini
Sejujurnya, saya sudah mulai terbiasa melewati kemacetan satu tahun belakangan. Namun, hal itu masih tergolong masuk akal lantaran sebagian besar rute yang ditempuh merupakan jalan arteri untuk empat mobil.
Kepadatan pun masih masuk kategori “manusiawi”. Sebab jika dilalui menggunakan motor, kaki saya hanya turun beberapa kali di sejumlah titik. Bahan bakar motor pun mampu lebih irit berhubung kecepatan motor dapat bertahan di angka 30-40 kilometer per jam.
Mulanya, saya mual dengan kondisi di atas. Akan tetapi, hal tersebut tak ada seujung kuku jika dibandingkan dengan jalur Sawangan Depok di jam sibuk. Penampakannya cukup membuat para pengendara ingin berkata kasar: deretan mobil dan motor sejauh mata memandang, sebagaimana melihat pasir di padang gurun!
Saking mepetnya jarak antar-sepatbor, sepatu atau sandal dipastikan selalu menapak ke bumi. Ujung setang dan footstep pun tidak jarang beradu. Jarum speedometer mentok di angka 5-10 kilometer per jam.
Pengendara mobil justru sedikit agak laen. Stok kesabaran mesti dijaga sungguh-sungguh karena selain bensin yang terjun bebas, body mobil bisa jadi sudah tak semulus itu ketika sampai di garasi.
Guna mengakalinya, saya berkorban untuk berangkat pukul 5 subuh supaya saya dan istri hanya merasakan neraka saat perjalanan pulang. Hasilnya bikin agak lega: barisan motor dan mobil yang hanya sepanjang 2 kilometer. Betapa neraka dunia itu benar-benar ada!
Neraka dunia Sawangan Depok tidak datang dari langit
Situasi neraka ini tentu memiliki sejumlah faktor penyebab. Pertama, daerah Sawangan Depok hanya memiliki dua jalur mobil. Itu belum ditambah ratusan motor yang menyempil di kanan-kiri. Maka, bagi mobil yang hendak menyalip, lebih baik tahu diri.
Kedua, aspal di daerah Sawangan itu tukang tipu. Seolah-olah halus padahal banyak bopeng yang bertebaran. Jadi, tidak usah heran bila muncul adegan tabrakan beruntun akibat nasib malang salah satu pengendara yang kejeblos. Ban dan shock breaker secara rutin jadi korbannya.
Ketiga, daerah Sawangan Depok dan sekitarnya (termasuk Meruyung, Cinangka, dan lain-lain) merupakan kawasan permukiman alias padat penduduk. Ini artinya, jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992). Keadaannya kian sumpek tatkala petang menjelang di bulan puasa.
Keempat, Sawangan dan wilayah sekitarnya—entah mengapa—senantiasa dilalui oleh rombongan truk atau bus besar, tidak peduli jam berapa pun. Perkara inilah yang membikin Sawangan Depok makin sesak. Kalau sudah begini, keterampilan dalam berkendara betul-betul diuji lantaran besi-besi truk hanya terpisah satu-dua jengkal dari badan orang.
Kelima, minimnya sistem transportasi publik yang memadai untuk gelombang pekerja yang bepergian keluar Depok dan ke arah Depok. Dalam hal ini, saya bisa menjadi contoh konkret bahwa kereta, bus, maupun angkot bukanlah pilihan rasional jika ingin tiba di kantor—dalam hal ini kawasan BSD—tepat waktu. Masih banyak PR menyangkut struktur moda transportasi yang terintegrasi antara satu wilayah dengan yang lain.
Pemerintah mesti turun tangan. Ya iyalah, memangnya siapa lagi?
Sejatinya, saya malah takut kalau-kalau Sawangan go international karena level kemacetannya yang boleh jadi membuat warga New York geleng-geleng kepala. Biarlah Depok disebut Kota Belimbing saja, nggak usah sok-sokan nyaingin Kamboja!
Dan hal ini, menurut hemat saya, mesti ditangani langsung oleh pemerintah setempat dengan perencanaan jangka panjang nan matang. Pembangunan infrastruktur transportasi publik perkotaan, pengaturan jam operasional kendaraan-kendaraan besar, perbaikan jalan, dan sebagainya itu, memangnya tugas siapa?
Sebab apabila tidak diurus sedini mungkin, saya ngeri lagu “Hell Awaits” dari Slayer jadi anthem wajib para pelintas Sawangan Depok yang sepi dan merana.
Penulis: Muhammad Faisal Akbar
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Depok Memang Unik dan Ajaib, tapi Jadi Tempat Tinggal Terbaik.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.