Tidak semua budaya dan sifat orang barat itu sama. Kalau kalian berasumsi semua orang barat itu doyan ngomong, doyan speak up dan sebagainya untuk menunjukkan kalau mereka ngerti ini dan itu, kalian keliru. Sama halnya kayak saya dulu.
Tahun 2015 lalu saya beruntung bisa berkunjung ke Helsinki, Finlandia. Waktu itu, saya baru saja selesai studi S2 di Inggris dan masih punya waktu selo beberapa bulan sebelum visa studi saya habis.
Yang saya tahu sebelum pergi ke Finlandia adalah stereotip bahwa orang sana introver, bicara seperlunya, dan mengartikan pembicaraan secara harafiah atau literal. Mereka tidak suka berbasa-basi dengan ungkapan “how are you?” atau “see you later” seperti orang British atau Amerika. Mereka juga tidak suka kalau ada orang masuk ke rumah mereka mengenakan sepatu. Yah, sangat berbeda dengan tipikal orang barat yang sering kita lihat di film-film itu. Lantaran perbedaan dengan Inggris itulah saya jadi tertarik pergi ke Finlandia.
Ada satu budaya menarik dari negara asal Nokia dan Angry Birds ini, yaitu sauna. Ini bukan sauna plus plus ya, melainkan sauna yang sudah gitu saja. Di negara berpenduduk 5,5 juta orang ini, konon tempat sauna di sana jumlahnya mencapai 2 jutaan. Banyak sekali, ya? Jelas, karena di dalam rumah dan apartemen pun ada sauna.
Selain kayu bakar, sumber panas untuk sauna sudah banyak yang berasal dari listrik. Sauna sudah mendarah daging bagi orang Finlandia. Biasanya mereka bersauna untuk pengobatan, sekadar rileks, dan menghangatkan diri khususnya saat musim dingin tiba. Bahkan pada zaman dulu, sauna juga dipakai untuk ruang melahirkan. Dalam seminggu, setidaknya orang Finlandia pergi ke sauna sebanyak 1-2 kali. Ruang sauna jadi salah satu ruang yang paling penting di tempat tinggal mereka.
Ceritanya, saat tiba di Finlandia, saya mendapat tumpangan apartemen dari seseorang yang saya kenal beberapa minggu sebelumnya di Couchsurfing. Karena sesama lelaki dan seumuran dengan saya, teman saya ini bersedia menampung saya selama beberapa hari. Ketika saya memakai kamar mandinya, saya melihat ada pintu lagi menuju ruang sauna kecil. Di sana terdapat bangku bertingkat 2 dari kayu dan tungku berisi batu di sudutnya. Lalu malam itu, setelah seharian jadi tour gude keliling saya di Helsinki, teman saya bertanya:
“Would you like to try a sauna?”
Pertanyaan itu akhirnya datang juga. Menarik, nih, batin saya.
Tetapi, ada satu hal yang tidak saya sangka. Jadi, ruang sauna di sana—khususnya untuk umum—biasanya terpisah antara laki-laki dan perempuan. Lazimnya, orang Finlandia kalau sauna melepas semua pakaiannya, termasuk pakaian dalam. Dan itulah yang teman saya lakukan. Nah, lho! Harus banget, ya???
………
Mari kita berhenti sejenak. Coba bayangkan, orang yang baru kamu kenal secara langsung dalam sehari, tiba-tiba saja cuek melepas semua pakaiannya di depanmu. Kemudian dia ngacir dan duduk manis di ruangan kecil yang panas dan beruap, bersiap untuk berkeringat dan menghabiskan waktu bersamamu. Hanya ada kalian berdua.
Apa yang ada di pikiranmu?
Pikiran saya bergumul sejenak. Bukan hanya waswas nanti diapa-apain, melainkan juga karena saya insecure dengan body saya ini. Gimana yah, sudah kurus (btw, berat badan saya turun 10 kg selama kuliah, lho), item, dekil pula. Untung saja saya nggak panuan. Dibandingkan kawan saya yang cukup ideal dan putih terawat itu, jelas saya merasa agak terintimidasi.
Sepengalaman saya, di Inggris tidak ada budaya seperti ini. Paling tidak, tidak “seekstrem” ini karena tipikal orang Inggris (paling tidak, England—hayooo, apa bedanya England, Britain sama UK?) cenderung pemalu bila berhadapan dengan orang asing.
Dengan tetap mengenakan celana pendek, saya masuk ke ruang sauna. Oh ya, sebelumnya, tungku sudah dinyalakan sehingga tumpukan batu tadi serta ruangannya memanas. Sesekali teman saya akan menyiramkan air ke tumpukan batu itu agar ada uap panas menyembur dan suhu ruangan terjaga. Beneran panas buangeeettt, Lur! Suhu ruangan sauna di Finlandia bisa berkisar mulai dari 50-an derajat Celcius.
Sembari mencerna apa yang sedang saya lakukan sekaligus melawan naluri untuk berpikiran yang aneh-aneh, kami duduk berkontemplasi sambil sesekali ngobrol selama beberapa menit, lalu bergantian ke kamar mandi untuk shower 1-2 menit, balik lagi masuk ke ruang sauna beberapa menit, shower lagi, dan seterusnya sampai merasa sudah cukup. Kira-kira begitu ritualnya.
Teman saya bercerita, di area pedesaan Finlandia sana, pas musim dingin, alih-alih shower orang biasanya menyelingi saunanya dengan apa coba? Berguling-guling di salju!
Benar-benar hardcore.
Pernah sekali waktu saat keliling Helsinki, saya melewati satu tempat sauna publik. Di terasnya, saya melihat sekumpulan bapak-bapak sedang duduk santai hanya berbalutkan handuk. Sepertinya mereka sedang menunggu giliran atau sedang selingan pengganti shower tadi. Orang-orang yang lewat ya biasa saja saking lumrahnya di sana. Coba kalau di Malioboro ada pemandangan seperti itu, welah, sudah diviralin, digerebek, terus dihujat habis-habisan kali!
Meski bukan sauna versi tradisional dan versi lengkap, setelah mencoba beberapa kali, sauna di Finlandia memang beneran bikin relaks. Cenderung bikin ketagihan malah. Selain bermanfaat bagi kesehatan, dalam situasi yang intim dan relaks seperti itu, pikiran dan obrolan kita pun jadi lebih tenang dan apa adanya. Sepertinya, inilah latar belakang munculnya istilah “sauna diplomacy”.
Iya, sauna diplomacy.
Banyak kedutaan Finlandia di luar negeri memiliki ruang sauna yang—kalau perwakilan negara tuan rumahnya juga mau, nih—juga digunakan untuk ruang diskusi dan negosiasi politik maupun urusan kenegaraan lainnya. Saya kurang paham ya kalau yang di Jakarta. Ehe.
Gimana, sudah geleng-geleng kepala belum?