Sambat: Sepucuk Surat untuk Manusia-Manusia Bertwibbon

manusia bertwibbon

manusia bertwibbon

Akhir-akhir ini, selain karena PLN yang memicu gerakan sambat massal dari warganet karena adanya pemadaman di sebagian wilayah—ada pula gerakan sambat massal bagi kaum tak percaya diri macam saya. Penyebabnya adalah mereka yang memasang twibbon di akun Instagramnya.

Oh my lov, betapa julidnya diri ini. Mereka adalah golongan manusia yang dirahmatiNya karena mendapatkan universitas dan prodi impian yang diimpikan oleh banyak pemimpi. Bisa saya tebak, para pemimpi itu menuliskannya di meja belajar, tembok, cover buku, coretan belakang buku—yang disandingkan dengan daftar mantan ataupun gebetan—sampai tempat buang hajat sekalipun tak luput dari nama kampus impian tersebut.

Saya juga tidak luput dari kebiasaan tulis-menulis seperti para pemimpi itu. Menuliskan nama kampus tersebut di setiap media yang sekiranya bisa saya tulis. Sayangnya, di tempat buang hajat tidak saya tulis, karena kebetulan dindingnya adalah keramik bermotif dan gelap. Yah ketahuan~

“Kuliah di mana, Neng?” Bukan hanya tetangga selemparan batu yang sering menanyakan pertanyaan itu. Tukang ojek pengkolan, tukang sayuran, tukang ikan, tukang sol sepatu, bebek, kecoa, tikus, ayam, tembakau, tomat—ah, seluruh semesta bergeming menanyakan hal yang sama. Sungguh membosankan!

Saya juga punya mimpi memakai twibbon yang gemas macam duit bulanan yang Mama saya kasih tiap bulan itu. Memakai almet-almet yang ke manapun pergi diketahui oleh seluruh warga millenial Indonesia—karena kalangan nenek-kakek, ibu-bapak, tante-om tidak semuanya tahu.

Bisa dibayangkan, cintakuuu—dengan memposting foto yang ciamik dibalut dengan twibbon gemas dari universitas-universitas ternama itu bisa jadi salah satu senjata yang mampu membuat orang tua merasa berhasil, teman-teman dan sahabat bangga, Bapak dan Ibu guru semakin yakin atas metode ajarnya, pacar makin sayang, dan bagi kamu-kamu yang sedang menggebet seseorang punya modal lebih! Mashooook, kan?

Realitanya, perjuangan agar twibbon itu legal disematkan pada foto kita tidaklah mudah. Saya bukan salah satu manusia yang mampu memposting foto gemas dengan twibbon itu—sungguh sangat sakit memang. Melihat postingan mereka dikomentari oleh teman-teman lain yang memposting foto dengan twibbon juga. Sedangkan saya dan orang-orang yang tak kesampaian hanya bisa menangis di pojokan kamar. Menyedihkan~

Tapi, saudara-saudara seiman—bahwa bola berbentuk bundar—yang saya sayangi, ini bukanlah akhir dari segalanya. Tidak menggunakan twibbon bukan berarti jalanan sukses bagi kita buntu. Lihatlah Bill Gates—beliau tidak memposting twibbon kok. Lihatlah Jack Ma—tidak juga. Pendiri Es Teler 77, Mba Kalis Mardiasih atau redaktur mojok, bahkan bang Jerome Polin—yang saat ini sedang naik daun karena matematika dan mantappu djiwanya—pun tak bertwibbon kok.

Oke, mari temani saya untuk berkontemplasi.
1…2…3…
Sedurhaka-durhakanya kita terhadap Tuhan, Dia takkan balas dendam dengan menjadikan kewenangan-Nya sebagai kesempatan emas untuk berbuat semena-mena. Di balik semua yang Tuhan putuskan, pasti punya konsekuensi yang sesuai dengan modal yang kita punya sekarang. Misalkan perihal universitas, mimpi saya bersekolah di UGM dengan prodi Farmasi. Sedangkan saya tidak tahu bahwa di sana manusianya tidak sespesies dengan saya. Katakanlah tingkat keambisan mereka 20, sedangkan saya hanya 0—sekian. Terbayang? Ilmu saya tidak mumpuni di impian saya itu.

Maka Tuhan mengganti mimpi saya dengan sesuatu yang lebih baik. Ditaruhlah saya di dalam kumpulan manusia yang tingkat ambisnya tidak jauh berbeda, sehingga saya pun bisa menyesuaikan. Bukan berarti saya pesimis terhadap diri saya sendiri. Hanya saja, dengan melihat keputusan Tuhan yang memutuskan saya agar bersekolah di sekolah swasta dengan prodi yang sama menjadikan saya lebih baik dari sisi tekanan psikis.
Dan pesan saya—manusia yang panas-an—untuk kalian yang sedang iri dengan unggahan twibbon-twibbon durjana itu, segeralah adukan pada pemilik pembuat twibbon. Adukan diri kalian, diri kita, yang sulit memenangkan pertarungan dengan “kesadaran diri” bahwa woyyy, kita tidak tahu apa-apa perihal masa depan. Bisa jadi mereka yang sekarang bertwibbon itu sedang banyak yang naksir aku yang tidak bertwibbon. Ah, keirian perihal twibbon ini membuat otot-otot otak semakin tegang saja, my lov~

Bagi kalian pro-twibbon, harap tenang di tempat. Karena tidak akan terjadi penyerangan secara brutal dari kami manusia kontra-twibbon. Karena di masa depan, bisa jadi artikel saya ini mengundang gelak tawa kamu, Mas yang mungkin saat ini bertwibbon.

Salam twibbon!

Exit mobile version