Rumah gadang sekarang katanya pakai atap seng. Lho, kok bisa?
Memiliki 17.508 pulau yang dihuni lebih dari 360 suku bangsa membuat Indonesia kaya akan keberagaman budaya. Keberagaman tersebut meliputi bahasa, tari daerah, upacara adat, senjata tradisional, makanan, termasuk rumah adat.
Nah, berbicara tentang rumah adat, dari puluhan rumah adat yang ada di Indonesia, bisa jadi kita hanya familiar dengan beberapa nama rumah adat saja. Coba saya tanya. Kalian tahu tidak bahwa ada rumah adat di Indonesia yang bernama rumah dulohupa, tambi, baloy dan banuan tada? Hayo, harus mikir dulu, kan? Dari provinsi mana, ya, rumah adat tersebut berasal?
Beda kalau yang ditanyakan adalah rumah gadang. Wah, dijamin hampir semua orang tahu dari provinsi mana rumah gadang berasal. Bahkan, kita bisa dengan lugas mendeskripsikan tampilan luar rumah adat tersebut. Maklum, hampir saban hari kita melihat ilustrasi rumah gadang di rumah makan nasi padang. Jadi, sudah hafal, Lur.
Namun, soal rumah gadang ini, tahukah kalian bahwa rumah adat suku Minangkabau ini menggunakan seng sebagai atapnya? Hmmm, kira-kira kenapa, ya? Apa nggak berisik banget kalau pas hujan turun lagi deres-deresnya?
Sejarah
Penasaran, saya coba tanya dengan salah satu kawan dunia maya, orang Minang, yang sekarang bekerja di Bandung. Dia membenarkan jika saat ini, sebagian besar rumah gadang memang menggunakan seng sebagai atapnya. Namun, seng tersebut tidak digunakan begitu saja, melainkan ada alasannya.
Menurut kawan saya, rumah gadang awalnya menggunakan ijuk sebagai bahan utama atap. FYI, ijuk adalah serat kasar warna hitam yang berasal dari batang pohon aren. Ijuk digunakan sebagai penutup atap karena sifatnya yang menyerap panas. Sehingga, panas sinar matahari tidak langsung masuk ke ruangan. Pada saat bersamaan, ijuk juga sempurna untuk menyimpan panas. Alhasil ketika musim hujan turun, suhu ruang tetap terjaga kehangatannya.
Adapun proses pembuatan atap menggunakan ijuk yaitu dengan menyusunnya lalu diikatkan dengan tali rotan pada reng-reng bambu. Selain ijuk, terkadang ada pula rumah gadang yang menggunakan rumput jenis alang-alang sebagai penutup atap.
Baik ijuk maupun alang-alang dipilih sebab kala itu bahan itulah yang mudah untuk dijumpai oleh masyarakat sekitar. Atap ijuk juga terbukti dapat bertahan selama puluhan tahun asal mendapatkan pemeliharaan yang tepat. Selain itu, penggunaan ijuk juga sesuai dengan filosofi Minang yang berbunyi “Alam takambang jadikan guru”. Maksudnya, masyarakat belajar dan berguru kepada alam untuk beradaptasi dan mengolahnya duna kepentingan hidup.
Susah didapat
Sayang, lambat laun bahan ijuk ini mulai susah untuk didapat. Alhasil, masyarakat Minang mencoba untuk menemukan penggantinya. Kemudian, dipilihlah seng sebagai pengganti. Sebagai material bangunan untuk bagian atap rumah, seng memiliki kelebihan di antaranya lebih murah, mudah secara teknis pemasangan, efisiensi waktu pengerjaan, serta memiliki pengaliran air hujan yang lebih baik sehingga menghindari kebocoran. Meskipun, yah, tidak bisa dimungkiri kalau doi juga punya kelemahan, yaitu mudah berkarat, menyerap panas saat musim panas dan menyimpan dingin saat musim hujan.
Namun, berhubung bahan ijuk semakin susah didapat, tak ada pilihan lain selain beralih menggunakan seng sebagai material atap rumah. Apalagi, seiring berjalannya waktu, mulai sedikit warga yang bisa merakit ijuk menjadi atap rumah gadang. Hiks. Lagi-lagi itulah yang menjadi permasalahan pelestarian budaya di negeri ini. Soal mampetnya regenerasi.
Rekomendasi rumah gadang
Meskipun kini mulai banyak rumah gadang yang menggunakan material seng sebagai atapnya, tapi rumah gadang tidaklah kehilangan pesonanya. Ia tetaplah menjadi salah satu destinasi yang wajib untuk dikunjungi manakala kita berpetualang ke Sumatera Barat. Apalagi, rumah gadang sarat dengan filosofi yang dijamin akan membuatmu semakin menghargai kekayaan budaya negeri ini.
Menurut Mbak Dessy Listiani—penulis Terminal yang sekarang berdomisili di Padang, salah satu rumah gadang yang tidak boleh terlewat untuk dikunjungi adalah rumah gadangnya Bustanil Arifin yang ada di Padang Panjang Sumatera Barat.
Alasannya, rumah gadang ini memiliki bangunan yang sangat terawat dengan apik. Lingkungan sekitarnya yang asri membuat setiap langkahmu akan ditemani dengan semilir angin sepoi-sepoi. Auto nggak mau pulang. Bikin betah banget! Bukan hanya itu saja. Di rumah gadang Bustanil Arifin ini juga ada tour guide berpengalaman yang siap untuk menuntaskan dahagamu tentang sejarah dan makna filosofis yang ada pada setiap detail rumah gadang.
Ah, iya, lupa. Ada satu pertanyaan tentang atap seng yang belum terjawab. Yaitu, apakah saat hujan nggak berisik? Hahaha… Ternyata, tidak berisik, Gaes. Kan atap tumah gadang tinggi banget. Jadi, suara hujan yang turun tidak akan terlalu mengganggu penghuninya.
Jadi, tunggu apa lagi? Beli tiket Coldplay aja sanggup, masa jelajah budaya nggak sanggup? Chuakkkss.
Penulis: Dyan Arfiana Ayu Puspita
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 5 Hal Baru yang Saya Temukan setelah Menikah dengan Orang Minang