Dokter cum influencer pilih tanding bernama Tirta pernah meladeni “gelut” penantangnya via media sosial. Seperti arus air yang berjalan mulus, Tirta meladeni dengan meng-quote tweet si penantang tersebut. Pun sebaliknya, pihak lawan pun juga. Sama-sama punya basis massa, Tirta menanggapi semisal mau geger, mbok ayo datang ke lokasi yang sudah ditentukan. Mau tahu lokasinya di mana? Rumah Sakit Sardjito!
Bayangkan, saudara-saudara. Lha wong ada orang main TikTok sambil nunggu koleganya koma di Rumah Sakit saja sudah kepalang edan, apalagi geger gedhen di halaman rumah sakit. Bukan perkara pemilihan lokasi yang disetujui lho, ya, tapi ya mbok dipikir dengan akal sehat. Jyan nggak mashoook.
Ada pasien sedang sakit keras, usianya tinggal beberapa menit saja, bukannya diberi pengalaman terbaik di sisa hidupnya, malah melihat orang geger. Belum lagi di sana banyak satpam. Sudah pasti lah kedua manusia yang sedang kerengan ini bakalan dipisahkan. Kadang sisi berani untuk gelut juga kudu dibarengi oleh akal sehat.
Namun, kabarnya sih nggak jadi geger. Rumah Sakit Sardjito hanya jadi titik temu, lantas mereka mancal entah ke mana. Tapi ya kalau beneran terjadi, Rumah Sakit Sardjito dijadikan tempat geger, itu blas wagu banget. Saya punya rekomendasi yang lebih syahdu untuk gelut. Emangnya menikmati kopi saja yang bisa syahdu, geger gedhen pun juga perlu diromantisasi!
Pertama, Alun-alun Lor. Lapangan terbuka, penuh rumput, angin sepoi-sepoi, dan bau-bau ketimpangan kerajaan yang membuat adrenalin kalian bakal berasa jadi perajurit Mataram. Dadamu bakal bergemuruh, aliran darah akan semakin cepat, dan kebanggaan menyeruak di kepala. Tapi ya itu, membanggakan untuk siapa? Lha wong geger gedhen ki kadang terlahir dari rahim emosi hati.
Namun serius, Alun-alun Lor amat strategis bagi kalian yang kalau gelut sampai ndlosor di tanah. Nggak bakalan kotor karena di bawah adalah rumput. Paling ya hanya gatel-gatel saja. Halah hanya gatel kok, terpenting adalah geger di depan tempat paling wahid satu Jogja… Ya, itulah pokoknya.
Berhubung di lokasi tersebut banyak wisatawan, lumayan bisa nyambi penggalangan dana. Tinggal letakkan kotak amal. Lantas kasih saja campaign begini: DONASI UANG UNTUK NALAR YANG HILANG.
Kekurangannya hanya satu, masuk tempat ini amat sulit. Nggak tahu disewakan atau nggak. Coba kita tanya InBox Music yang pernah menginjak-injak tempat tersebut dengan membawa artis-artis ibukota.
Kedua, Bunderan UGM. Katanya nih, katanya lho ya, tempat ini merupakan episentrum tawuran dari beberapa sekolah yang terkenal garang di Bilangan Utara. Sekolah apa saja, ya kalau itu saya nggak tahu. Bagi kalian yang waktu SMA pernah lewat situ, lantas dicegat dan ditanyai asal sekolah mana, maka alasan titik ini jadi rekomendasi geger gedhen nggak perlu diragukan lagi.
Kapan lagi geger gedhen sambil dilihat oleh pengguna jalan yang mentas di area ini? Hiburan bagi yang liwat, sekaligus dianggap bahwa mereka yang sedang geger gedhen itu kehilangan otaknya. Bukan hanya kurang gawean, tetapi buat apa? Ya, selain gayeng dan menghibur, sih.
Kekurangannya ya tempat ini dekat dengan rumah sakit. Selain mengganggu, takutnya menghambat akses ambulans yang hendak masuk ke rumah sakit. Sisi positifnya ya kalau terluka karena geger gedhen, bisa langsung masuk ke rumah sakit ini. Nih ya, sayangnya, Rumah Sakit Panti Rapih nggak menerima keluhan pasien otaknya minus.
Ketiga, tengah jalan di malam hari. Sekalian saja wes, geger gedhen di jalan-jalan arteri kota Jogja ketika malam. Selain syahdu untuk “olahraga”, pun ada yang menemani, yakni bocah-bocah klitih. Sambil mendengarkan lagu Adhitia Sofyan, “Terbawa lagi langkahku ke sana, mantra apa entah yang istimewa, ku percaya selalu ada geger gedhen di Jogja.”
Ah, memang, Jogja selalu romantis. Bukan hanya masalah upah, tetapi juga sumpah serapah yang kadang bisa bikin darah tumpah ruah. Medeni, ah.
BACA JUGA Perbedaan Mendasar Daerah Istimewa Yogyakarta, Kota Yogyakarta, Yogya, dan Jogja dan tulisan Gusti Aditya lainnya.