Beberapa bulan yang lalu saya sempat didiagnosis menderita bipolar disorder. Sejujurnya hati kecil saya belum 100% mengamini diagnosa tersebut. Namun, kali ini saya hanya ingin menceritakan bagaimana sih rasanya mendengar bu dokter bilang kalau kamu perlu minum obat-entah sampai kapan untuk meringankan penyakit yang bahkan tidak terlihat.
Awal mula ini semua salah sejak Covid-19 menyerang. Hidup di rumah berbulan-bulan bagi saya-yang terbiasa hidup bareng teman di pesantren lumayan nggak mudah. Jelas saya tahu bahwa di luar sana masih banyak orang yang tidak seberuntung saya. Namun, tulisan ini memang bukan ajang lomba tentang siapa yang paling menderita, seperti yang sering terjadi di dunia maya. Saya cuma mau bercerita meski belum tentu juga ada hikmahnya.
Bagian yang berat dari kisah ini saya kira terletak pada awal permulaan. Waktu saya masih bertanya-tanya tentang apa yang salah pada diri saya. Sebelum pada akhirnya saya terpaksa memberanikan diri mengatakannya kepada Ibu.
Saat itu sudah berhari-hari lamanya saya menangis di kamar tanpa sebab yang jelas. Hingga pada suatu pagi, pintu kamar yang selalu saya kunci rapat dari dalam didobrak paksa oleh ibu saya. Walaupun dobrakannya nggak ngefek-ngefek amat, tapi itu cukup membuat saya kaget dan trauma hingga saat ini. Saat itu Ibu bengak-bengok bilang, “Buka, Ayo buka!” Kira-kira nggak beda jauhlah sama polisi 86.
Akhirnya dengan kondisi muka bengep habis nangis berhari-hari itu saya bukakan pintu untuk ibu saya. Ibu langsung bertanya dengan nada yang lumayan tinggi. Pertanyaan Ibu saat itu cukup padat, singkat, namun tidak jelas. “Ngopo koe!” Bingung jawaban apa yang pas untuk pertanyaan ini, saya malah makin nangis dan meminta ibu saya untuk keluar saja dari kamar saya.
Namun, sesuai dengan dugaan anda, Ibu yang berusia tiga kali lipat lebih tua dari saya tentu nggak mungkin langsung keluar begitu saja. Alih-alih bertanya dengan lembut, Ibu malah bersulut-sulut seperti sedang menginterogasi orang yang kesurupan. Pada titik itu saya juga curiga bahwa Ibu memang mengira saya sedang kesurupan.
Dengan nafas yang masih sesak sehabis menangis, saya berusaha mengatakan bahwa saya merasa sedang depresi. Sesaat kemudian, tanpa pikir panjang Ibu menjawab, “Kabeh wong ki yo depresi, ra mung koe tok.” Saya tertohok oleh jawaban itu. Namun, terlepas dari itu saya tetap dapat memahami jawaban ibu. Tentu Ibu kaget karena belum pernah melihat ada anaknya yang seperti ini.
Setelah kejadian drama tersebut saya akhirnya diperbolehkan kembali ke Jogja, tempat di mana pesantren saya berada, juga sekalian memeriksakan diri saya ke psikiater.
Saya sangat malu dan berusaha menutupi serapat mungkin rencana saya untuk pergi ke psikiater. Teman-teman pondok saya tidak ada satu pun yang mengetahui akan hal itu. Saya pergi motoran sendiri memeriksakan diri ke poli jiwa yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan oleh saya.
Pada saat mengantre di poli jiwa ada kejadian unik yang kalau diingat-ingat lagi lumayan bikin geli. Ya walaupun saat itu tetap menyedihkan, sih.
Saya duduk tepat di depan poli jiwa di sebuah rumah sakit swasta di Yogyakarta. Persis di belakang tempat duduk saya duduklah dua pemuda yang sedang asyik mengobrol. Di tengah-tengah pembicaraan tiba-tiba saya mendengar celetukan salah satu dari mereka. “Heh, sing lungguh ning kene ki wong edan kabeh po?” yang kemudian disusul gelak tawa dua pemuda itu.
Sialnya tidak ada satu menit setelah celetukan itu, nama saya dipanggil dengan lantang dan juelas oleh mbak-mbak perawat untuk masuk ke poli jiwa. Saya sangat malu tapi masih bersyukur bahwa saya mengenakan masker pada waktu itu.
Setelah selesai memeriksakan diri, seperti yang Anda tahu saya didiagnosis menderita bipolar. Saya merogoh kocek cukup dalam hanya untuk mendengarkan kata-kata yang tidak saya harapkan. Saya menghamburkan kurang lebih Rp800 ribu untuk itu dan menebus obat yang harus diminum selama sebulan.
Merasa agak terpukul dengan kejadian yang saya alami, saya merasa butuh bercerita kepada teman saya. Pun tak lupa mengabari Ibu dan kakak saya yang sudah mentransfer uang untuk saya memeriksakan diri. Hanya sekadar ingin meyakinkan mereka bahwa uangnya saya gunakan dengan semestinya.
Tidak dinyana-nyana, beragam respon saya dapatkan dari mereka. Seorang teman saya yang mahasiswa jurusan psikologi berkata, “Nggak apa-apa, semua orang juga punya masalah kejiwaan kok.” Dalam benak saya kalimat ini seperti berkata, “Mbok pikir koe tok sing stress, Buos?”
Lain pula dengan yang satu ini, ibu saya mengirimi pesan di Whatsapp yang panjangnya nggak kalah dari tol Cipali. Isinya ia meminta saya untuk tidak stress, ia bilang saya hebat bisa memutuskan hubungan dengan mantan pacar saya dua tahun lalu. Juga keren karena mau menghindarkan diri dari dosa, dan bertaubat kepada Allah. Padahal yang ia tidak tahu, justru saya yang diputusin dan merengek-rengek untuk bisa balikan. Terlebih lagi semua ini tidak ada hubungannya blas dengan mantan pacar saya. Nggak tahu juga ibu saya dapet ide ngarang dari mana.
Yang lumayan nggemesin ini adalah kakak saya. Sejauh ini ia saya nilai sebagai manusia yang paling intelek di rumah saya. Sebab, ia selalu masuk sekolah favorit dari TK hingga S2. Mulanya ia tidak berkomentar banyak tentang hal ini. Namun, beberapa minggu kemudian ia mengirimkan sebuah link Instagram. Isinya kurang lebih quotes dan imbauan agar tidak mudah self-diagnosis terhadap penyakit bipolar. Padahal jelas-jelas dia sendiri yang ikut urunan agar saya bisa memeriksakan diri ke psikiater saat itu.
Akhir kata, jika ditanya bagaimana rasanya didiagnosis dengan bipolar disorder tentu saya tidak mau bilang rasanya seperti kamu menjadi Iron Man. Selain udah basi, saya juga nggak tahu darimana datangnya sound TikTok yang mendadak viral itu.
Mungkin, apabila disimpulkan, perasaaan didiagnosis dengan bipolar disorder ini lebih seperti ketika kamu kecokot laos pas lagi enak-enaknya makan gule. Alias pahit, Buosss.
BACA JUGA Suara Hati Muslimah yang Diberi Jilbab sejak Balita dan Kini Ingin Melepasnya dan tulisan Yambuk lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.