Purbalingga seharusnya mustahil miskin melihat potensinya. Tapi, realitas jauh lebih nyata ketimbang prediksi dan analisis potensi
Dalam hidup, kita sering kali dihadapkan pada sebuah paradoks. Misalnya, ada orang pintar tapi kariernya biasa-biasa aja. Padahal, biasanya orang pintar selalu punya kesempatan lebih untuk mendapatkan karier yang cemerlang. Atau sebaliknya, sosok yang dianggap bodoh, nakal, dan nggak punya keterampilan, malah punya karier yang mentereng di perusahaan ternama. Yah ada faktor keberuntungan dan hal-hal lain di luar kalkuasi yang kadang bisa menjadi penentu nasib seseorang. Nah situasi yang sama juga berlaku untuk sebuah daerah.
Di Jawa Tengah, ada beberapa daerah yang punya potensi bagus, mulai dari lokasi yang strategis, industrialisasi yang berkembang, dan kekayaan alam yang berlimpah. Tapi sayangnya, hal itu tidak mampu menjadikan daerah tersebut kaya. Sebaliknya mereka tenggelam dalam keadaan miskin. Nah salah satu daerah yang punya predikat seperti ini adalah Purbalingga.
Purbalingga adalah sebuah paradoks tentang daerah industri yang nggak memperlihatkan gemerlapnya kekayaan sebuah daerah. Pasalnya begini, di sana, terdapat beberapa industri berorientasi ekspor yang harusnya bisa jadi penggerak ekonomi daerah.
Di sana berdiri beberapa industri rambut dan bulu mata palsu yang orientasinya sudah ekspor. Setidaknya terdapat 19 perusahaan berasal dari penanaman modal asing (PMA) dan 10 penanaman modal dalam negeri (PMDN) di industri ini. Penyerapan tenaga kerjanya pun sebenarnya cukup signifikan.
Setidaknya industri ini mampu menyerap lebih dari 40 ribu tenaga kerja di perusahaan inti dan 23 ribu di perusahaan plasma (penyedia bahan baku atau sub kontraktor). Dari industri ini saja, Purbalingga menjadi magnet investasi yang signifikan.
Industri logam Purbalingga, dan lainnya
Apakah hanya itu saja? Tentu tidak. Purbalingga juga dikenal punya industri logam (knalpot) yang setidaknya didukung oleh 178 unit usaha. Setiap tahunnya mereka dapat memproduksi ratusan ribu knalpot yang jangkauannya adalah pasar nasional.
Purbalingga juga punya sektor pertanian yang tumbuh cukup baik, mulai dari padi, tanaman seperti hortikultura (stroberi, duku, kapulaga), serta perkebunan kelapa dan lada juga memberikan kontribusi signifikan terhadap PDRB.
Tapi keseluruhan catatan di atas tidak mampu mendorong Purbalingga sebagai kabupaten yang baik dari sisi ekonomi. Kita mulai dari sisi pertumbuhan ekonominya. Nah data dari BPS menyebutkan kalau pertumbuhan ekonomi di daerah yang dijuluki Kota Perwira ini hanya 4,55 persen pada tahun 2024. Pertumbuhan ini sedikit di bawah rata-rata pertumbuhan provinsi yaitu 4,90 persen. Padahal pada tahun sebelumnya, pertumbuhan ekonominya sebenarnya sempat naik di angka 5 persen
Indikator lain
Indikator lain yang bisa dianalisis mengenai lesunya ekonomi Purbalingga itu dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita yang tergolong rendah, yaitu 33,36 juta per tahun. Jadi, sederhananya, rata-rata per individu di purbalingga itu menghasilkan pendapatan 33,36 juta per tahun atau setara 2.7 juta per bulan.
Angka ini tampak positif kalau dibandingkan dengan UMK Purbalingga yang berada di angka 2,3 juta, tapi ingat, itu nilai rata-rata ya. Kalau dilihat dari cakupan provinsi, angka ini sangat rendah. Bahkan pada periode sebelumnya PDRB per kapita daerah ini sempat di angka 20-an juta.
Angka PDRB yang rendah mengindikasikan kalau nilai tambah yang dihasilkan per individu masih kecil. Kondisi seperti ini biasanya terjadi di sebuah daerah yang industri padat karyanya memiliki tingkat upah yang mepet dengan UMK, sehingga keuntungannya lebih banyak dinikmati oleh pemilik modal atau mengalir ke luar daerah. Selain itu, bisa jadi, angka 33,36 juta itu ditopang oleh pendapatan segelintir orang di daerah tersebut kan?
Soalnya gini, dengan PDRB per kapita segitu, pengeluaran tahunannya pun tentu minim. Data dari BPS Purbalingga menyebutkan kalau pengeluaran per kapita warga Purbalingga Rp11,34 juta/tahun. Nah kira-kira pengeluarannya berapa ratus ribu per bulan tuh.
Angka kemiskinan yang memprihatinkan
Untuk memvalidasi bahwa daerah ini memang kategori miskin, nggak afdal rasanya kalau nggak melihat tingkat kemiskinannya. Setidaknya pada tahun 2024, tingkat kemiskinan di daerah ini tuh 14,18 persen, bahkan tahun sebelumnya sempat hampir menyentuh angka 15 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dari tingkat rata-rata kemiskinan provinsi dan nasional. Ini membuat Purbalingga sempat masuk dalam daftar 5 daerah termiskin di Jawa Tengah.
Bayangin, kamu punya industri ekspor di dalamnya, tapi penghunimu di dalam malah kebanyakan miskin. Paradoks nggak tuh.
Situasi ekonomi yang nggak ideal ini pada akhirnya berpengaruh juga pada Indeks Pembangunan Manusia di Purbalingga yaitu di angka 70,99. Kategori yang sebenarnya nggak buruk-buruk amat tapi tertinggal, bahkan dengan daerah nggak kreatif seperti Kendal yang IPM-nya di angka 74,34. Paling kentara adalah angka rata-rata lama sekolah di daerah ini hanya 7,36 tahun.
Artinya rata-rata penduduknya nggak tamat SMA (9 tahun). Ini mengindikasikan perlunya investasi besar dalam pendidikan untuk meningkatkan kualitas manusianya. Tapi ya sulit, lah wong pendapatan penduduknya hanya fokus untuk makan sehari-hari.
Pemerintah Purbalingga semestinya sudah tahu tentang ini
Jadi alur kronologis mengapa Purbalingga ini sebenarnya bisa kaya tapi malah miskin itu sederhana begini, tingkat pendapatan yang rendah ditambah angka kemiskinan yang tinggi membuat sektor ekonomi baru sulit tumbuh di daerah tersebut. Pengeluaran per kapita yang rendah menandakan kalau orang Purbalingga itu nggak doyan jajan. Sehingga sektor usaha dan pariwisata pun sulit untuk dikembangkan.
Yah wajar pengeluarannya rendah, kan upahnya juga kecil. Lapangan kerjanya pun hanya bertumpu pada industri besar yang nggak didorong melakukan hilirisasi industri turunan yang bisa membuka lapangan kerja baru.
Purbalingga bisa lepas dari lingkaran setan ini kalau, pemerintah melakukan intervensi ketat terhadap komponen pendapatan. Ini akan mendorong masyarakat akan menetap di Purbalingga karena punya ekspektasi pendapatan yang memadai. Jadi mereka nggak memilih merantau.
Di sisi lain, langkah yang perlu dibarengi adalah mendorong kualitas pendidikan sehingga produktivitas pun jadi naik. Kemudian mengembangkan sektor informal seperti UMKM dan pariwisata supaya menarik wisatawan untuk banyak berkunjung ke Purbalingga.
Semua rekomendasi di atas saya rasa sudah dipahami dengan baik oleh para pejabat daerah setempat. Tinggal mau diterapkan atau tidak.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Menghitung Gaji dan Biaya Hidup yang Masuk Akal untuk Hidup Enak dan Layak Di Malang
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
