Programmer Jangan Merasa Aman, Bentar Lagi Gaji Kalian Terjun Bebas

Programmer Jangan Merasa Aman, Bentar Lagi Gaji Kalian Terjun Bebas

Programmer Jangan Merasa Aman, Bentar Lagi Gaji Kalian Terjun Bebas (Pixabay.com)

Siapa bilang gaji programmer itu tinggi? Nyatanya nggak sedikit yang gajinya bahkan nggak sampe UMR. Gaji programmer tinggi itu sekarang cuma jadi gimmick marketing Universitas yang punya Jurusan IT sama bootcamp-bootcamp. Biasalah, lebih gampang nyari masa kalo diiming-imingi pendapatan tinggi.

Nggak salah juga sih narasi programmer itu gajinya tinggi. Tapi programmer apaan dulu nih? Programmer yang kerja di perusahaan non-IT, mana bisa tinggi? Yang jadi staf IT di sekolah-sekolah, mana mau (lebih tepatnya, bisa) sekolahnya menggaji tinggi. Programmer bisa digaji tinggi itu kalo kerja di Softwarehouse atau startup. Atau malah freelance. Meski begitu, semakin ke sini, gaji programmer makin turun. Dan celakanya, bisa aja karena emang harganya rusak karena ekosistem IT itu sendiri.

Kasus bajak membajak programmer

Ada masa di mana profesi ini itu dibutuhin banget dan mau minta gaji segede apa pun bakalan dikasih. Itu terjadi di era meledaknya startup di Indonesia. Saat banyak orang silau dengan kesuksesan Nadiem Makarim dengan Gojek, banyak yang ingin mengikuti jejaknya. Berbagai ide startup muncul. Ada yang sebatas ide dan nggak punya budget, juga ada yang bisa sampe bikin aplikasi tapi gagal launching. Ada yang sangat oke dan bisa dapet pendanaan berkali-kali sehingga berkembang.

Nah, di kalangan startup yang sudah dapet pendanaan, dimulailah masa bakar duit. Salah satu cara membakarnya ya dengan mempercanggih aplikasi, dan cara mempercanggih aplikasi adalah dengan merekrut programmer secara jor-joran.

Oleh karena duit yang dipake itu dari investor, ya pede aja mau merekrut programmer model gimana pun. Karena populasi programmer pada waktu itu belum banyak, akhirnya ya wajar kalo gajinya tinggi. Kasus membajak programmer dari startup lain sudah menjadi hal wajar. Ditawari gaji lebih tinggi biar mau pindah. Kalo nggak kuat iman sekaligus minus loyalitas ya bakalan cabut dan terima tawaran itu. Gajinya lebih gede. Ntar kalo dibajak lagi dengan gaji yang lebih gede, ya pindah lagi.

Trend bajak membajak, disertai dengan belum banyaknya programmer—yang jago—membuat gaji programmer makin melejit ke angka yang nggak masuk akal.

Valuation game pada startup

Para programmer pada hepi karena profesi mereka sangat prestisius. Mau lompat ke mana aja pasti bakal ada yang nerima dengan gaji gede. Saat gelombang startup makin gede, gaji programmer juga sama-sama makin gede.

Celakanya adalah, trend startup mulai meredup sekarang. Atau seenggaknya, trend bakar duit di startup udah meredup. Investor mulai ngeh, kalo pola valuation game itu nggak sehat.

Ya gimana mau sehat, konsep valuation game adalah gimana caranya startup itu valuasinya meningkat tanpa peduli bisa untung apa kagak. Si founder bakal terus ngembangin startup dengan cara bakar duit, biar valuasinya makin naik, dan harga sahamnya juga tinggi.

Oleh karena itulah setiap founder startup yang pake valuation game, selalu punya exit strategy. Entah exit dengan IPO di bursa saham, entah exit setelah diakusisi perusahaan lain. Atau ada juga kasus exit yang paling epik, yakni sang founder startup melakukan exit dengan cara menjadi Menteri Pendidikan.

Celakanya, era startup mulai meredup

Balik ke programmer. Pola valuation game ini awalnya menguntungkan mereka, karena mau minta gaji berapa pun, pasti dituruti. Celakanya saat valuation game ini ditinggalkan, alias startup itu mau fokus ngejar cuan, yang dilakukan pertama kali apa? Ya layoff karyawan besar-besaran lah.

Programmer kena layoff nggak? Ya pikir aja sendiri, aplikasinya dah jadi. Ngapain dibayar terus? Sisain beberapa untuk maintenance juga bisa. Programmer yang gajinya tinggi itu kan cuma jadi beban perusahaan. Singkirin aja lah!

Habis itu mau apa coba? Nyari startup lain? Pada layoff juga. Otomatis kalo hal itu terjadi, si programmer nggak punya nilai tawar lagi, kan? Masa iya mau minta gaji tinggi lagi pas ngelamar kerjaan baru? Mana mau tuh perusahaan. Toh ada programmer baru yang lebih muda, yang lebih pinter, yang lebih mau belajar, dan terutama sekali gajinya lebih rendah. Dan hal ini mengantar kita ke poin berikutnya, yakni populasi programmer.

Populasi programmer makin banyak, sayangnya yang butuh programmer malah berkurang

Silakan salahkan universitas yang promosi habis-habisan jurusan IT. Dengan iming-iming karier cemerlang dan gaji tinggi, banyak lulusan SMA dan SMK yang masuk jurusan itu. Makin banyak kampus buka jurusan IT, makin banyak bootcamp yang nawarin kursus programmer. Bahkan makin banyak Youtuber tutorial ngoding, maka populasi programmer bakal makin banyak.

Celakanya meledaknya jumlah programmer, justru diiringi dengan redupnya trend startup. Banyaknya programmer nggak diimbangi dengan banyaknya yang butuh. Konsep supply and demand bekerja di sini. Supply-nya bejibun, demand-nya dikit, ya otomatis harga turun. Begitu juga sebaliknya.

Beda sama kayak di India, Singapore, US, atau negara-negara lain. Populasi programmer banyak, tetapi industri yang butuh juga makin banyak. Makanya gajinya bisa tinggi.

Nasib jurusan IT bakalan jadi PGSD jilid dua?

Kasus ledakan minat di jurusan IT itu rasanya mirip ledakan minat PGSD beberapa waktu lalu. Katanya tenaga pendidik banyak dibutuhkan. Katanya peluang kerja menjanjikan. Lah sekarang, lulusan PGSD banyakan jadi CS Shopee jalur outsource. Ya kali nasib jurusan IT juga kayak gitu?

Meski demikian, mau disangkal dengan narasi apa pun, selama industri startup nggak ada ledakan lagi, maka programmer bakal makin kecil gajinya. Bagi yang mau gajinya tinggi, atau pendapatannya tinggi, nggak bisa kalo cuma leha-leha kerja kayak biasanya. Nyari kerjaan remote dari luar negeri itu bisa jadi salah satu solusi. Manfaatkan perbedaan kurs mata uang untuk dapet penghasilan maksimal. Meski begitu ya nggak cukup dengan keahlian ngoding dong. Kalo mau kerja remote, selain bisa bahasa pemrograman, harus bisa juga bahasa Inggris.

Atau kalo emang bahasa Inggris itu syulit dan nggak ada waktu untuk belajar, ya artinya cari cara lain. Kuasailah teknologi baru yang belum banyak orang bisa. Populasi programmer emang banyak, tapi populasi programmer yang bisa teknologi tertentu, apalagi bisa sampe jago, jumlahnya nggak akan sebanyak itu.

Artinya pada ceruk itu, supply lebih sedikit dan demand lebih banyak. Dengan begitu bisa mematok gaji tinggi. Itulah cara kalo masih mau gajinya tinggi. Kalo cuma jadi programmer medioker ya… siap-siap aja tergusur peradaban.

Kalo gaji programmer turun, apakah jasa pembuatan aplikasi dan website juga turun?

Saat ini semua orang tau kalo jasa bikin aplikasi atau website itu mahal. Khususnya aplikasi. Ratusan juta rupiah sekali bikin. Kalo ada yang jual jasa bikin aplikasi murah meriah di bawah sepuluh juta, biasanya programmernya lagi nyari portofolio. Kadang juga kerjanya nggak bener, dan hasil aplikasinya pasti jelek.

Pertanyaannya sekarang adalah, kalo gaji programmer makin turun, gimana dengan jasa pembuatan software, baik website, aplikasi, atau yang lain-lainnya? Harusnya makin turun dong. Soalnya faktor utama pembuatan website atau aplikasi itu super muahal, ya karena gaji programmer yang di atas normal itu.

Bentar, gini.

Pengerjaan aplikasi itu—apalagi kalo aplikasi kompleks—butuh tim. Isinya nggak cuma programmer. Ada Project Manager, ada Frontend programmer, ada Backend Programmer, DevOps. Nah itu baru programmer. Jangan heran karena programmer itu jenisnya banyak. Habis itu masih ada UI/UX Designer. Ada QA Tester. Ada yang lain-lainnya juga. Pokoknya banyak orang di satu tim.

Nah, mereka semua itu perlu digaji tiap bulannya. Itulah perhitungan harga bikin aplikasi atau website, adalah berapa total gaji di satu tim itu dikalikan dengan lama waktu pengerjaan. Makin banyak orang yang terlibat, makin panjang waktu pengerjaan, makin mahal biaya pembuatannya.

Normalnya sih turun, normalnyaaa

Lantas gimana kalo gaji programmer turun? Ya normalnya biaya bikin aplikasi turun juga dong. Kan bebannya berkurang. Memang benar. Tetapi ingat, selain bayar gaji programmer dan orang lain yang terlibat, ada juga biaya lain kayak Third Party yang dipake. Biaya server. Biaya reputasi softwarehouse itu. Iya dong, reputasi softwarehouse harus dijadikan faktor kenapa biaya pembuatan aplikasi mahal. Jadi ya mungkin biaya pembuatan aplikasi dan website bisa turun, tetapi nggak akan turun drastis kayak promo tanggal cantik di Shopee.

Intinya, turunnya gaji programmer, nggak akan bikin biaya pembuatan software turun drastis. Akan tetapi perlu diingat, apa nih yang bikin gaji turun tadi? Karena demand kurang, kan? demand kurang karena makin dikit perusahaan yang butuh, kan? Era startup makin redup kan.

Nah, pertanyaannya, kalo industrinya udah kayak gitu, yakni minat pembuatan aplikasi dan website mulai menurun, masa iya sih softwarehouse masih mau jual jasa dengan sangat mahal? Supply and demand bekerja loh.

Penulis: Riyanto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Menelisik Gaji Programmer yang Katanya Terlalu Besar

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version