Beberapa hari belakangan, semesta berita sempat dihebohkan oleh informasi yang berasal dari kawasan ibu kota. Perihal minimarket yang mendapat perintah dari Satpol PP untuk menutup etalase rokok, agar tidak dilihat oleh anak-anak. Usut punya usut, hal ini bertepatan dengan program Jakarta Bebas Rokok. Jadi, menurut petugas yang berwenang, kegiatannya ya menutup pajangan rokok.
Tanpa maksud tidak menghargai segala daya upaya yang dilakukan di lapangan dalam program Jakarta Bebas Rokok, dengan segala kerendahan hati saya, mohon maaf sebelumnya, Pak/Bu. Hal tersebut kok rasa-rasanya agak klise. Bahkan, jika pengin bebas rokok, apa yang dilakukan masih hanya sebatas mengatasi apa yang muncul di permukaan. Ibarat Iceberg Theory kepunyaan Heinrich, inti permasalahan atau persoalan lain yang belum terlihat/terselesaikan, justru lebih banyak, Pak/Bu. Pada titik tertentu, boleh jadi belum terjamah sama sekali.
Dibanding hanya menutup satu etalase dengan segala produk rokoknya, apa nggak sekalian tutup etalase Kinderjoy, Hotwheels, permen cokelat, juga produk lain yang harganya kerap kali membikin para orang tua mengalami momen dag-dig-dug-ser saat membayarnya, Pak/Bu? Yakin saya, bukan hanya Jakarta. Para orang tua di seluruh Indonesia, di wilayah mana pun, akan bebas dari sensasi dag-dig-dug-ser saat berkunjung ke minimarket mana pun bersama anak-anaknya. Hehehe.
Ya, gimana ya. Etalase rokok dan hal lainnya sah-sah saja disensor atau diberi tirai. Intinya agar tidak terekspos oleh anak-anak yang belum cukup umur saat jajan ke mini market yang dimaksud. Namun, apakah hal tersebut diimbangi juga dengan edukasi kepada para pemilik toko, manajer toko, penjaga toko sekaligus kasir, dan pihak lain yang terkait? Oke. Kalaupun sudah, apakah memang dilakukan secara berkala, agar secara perlahan orang-orang di sekitar tersadar dan menjadikan persoalan tersebut sebagai bagian dari perhatian utama untuk program Jakarta Bebas Rokok?
Sederhananya, ya percuma aja dong, Pak/Bu. Etalase rokok ditutup oleh tirai yang warnanya apa pun-terserah-bebas, tapi ketika ada anak di bawah umur pengin beli rokok, ujung-ujungnya malah dikasih juga. Artinya, penjual yang permisif juga akan memberi pengaruh negatif. Lain halnya jika para penjual punya rem atau pakem tersendiri, semisal anak di bawah umur beli rokok, langsung tidak akan diproses sama sekali.
Apalagi, diketahui bahwa aturan ini tanpa sanksi tertentu. Hanya peringatan saja. Yah, Pak/Bu. Imbauan terkait PPKM yang terbilang sangat urgent dan relate dengan situasi terkini saja banyak yang melanggar. Apalagi tetek bengek soal merokok, termasuk larangan untuk merokok di area tertentu dan proses jual-belinya.
Oh, iya. Saya memang bukan perokok aktif. Kendati begitu, bukan berarti saya memusuhi para perokok. Bukan itu poin yang pengin saya sampaikan. Toh, orang di sekitar saya sudah paham bahwa, ketika merokok, asapnya nggak seenak jidat persis disemburkan langsung ke wajah. Tahu tempat. Terpenting, tidak merokok secara serampangan di depan dan/atau pada saat menggendong anak. Ini menjadi salah satu hal yang fundamental jika harapannya adalah agar anak bebas rokok.
Jangan lupakan juga peran orang tua dan lingkungan di sekitar, Pak/Bu. Jika diabaikan, kegiatan menutup etalase rokok dengan tirai hanya akan menjadi hal yang percuma. Sia-sia belaka sekaligus buang-buang tenaga. Apalagi jika tidak diimbangi dengan edukasi kepada orang terdekat sampai dengan pihak toko atau mini market. Untuk para orang tua, kalau memang mau beli rokok, ya, minimal nggak nyuruh-nyuruh anaknya gitu. Tahu batasannya.
Meski sulit dimungkiri bahwa, tantangan berat berikutnya justru datang dari lingkungan sekitar yang sangat sulit diduga. Bisa jadi kerabat, peer group, atau orang lain yang tidak dikenal. Seperti tokoh yang diidolakan, misalnya. Pada akhirnya, pilihan akan dikembalikan kepada masing-masing: apakah tetap ingin menjadi perokok aktif, tidak sama sekali, atau hanya coba-coba dan merokok sesekali.
Sebenarnya program Jakarta Bebas Rokok ini bisa dimulai dengan membuat aturan tegas yang lebih masuk akal. Misalnya, mengharuskan tiap perusahaan atau ruang publik punya smoking area, agar jelas batasannya. Atau pertegas sanksi bagi pelanggar aturan. Kenyataannya, solusi masalah rokok ini simpel banget: beri batasan dan jelas dan tegas dalam menegakkan aturan.
Oh, iya. BTW, tirai penutup etalase juga bukannya tanpa konsekuensi sama sekali, Pak/Bu. Cepat atau lambat, ada waktu di mana anak menjadi penasaran dan akan bertanya,
“Pa/Ma/Om/Tante, itu yang ditutup sama tirai apa?”
“Oh, itu rokok, nak.”
“Oh, rokok. Rokok itu apa? Rasanya gimana?”
Nah, lho. Kalau nggak dijawab dengan baik dan rasa penasaran anak dipendam, ujung-ujungnya akan ada momen coba-coba di waktu mendatang. Sebelum hal itu terjadi, anak-anak biasa berkompromi dengan sesuatu yang sudah bisa mereka takar. Misalnya saja dengan berkata, “Pa/Ma, kalau gitu aku mau Kinderjoy aja, deh!”