Kalau kita bicara soal pemuda, hampir selalu muncul dua wajah: wajah penuh semangat, gairah, optimisme—dan wajah penuh cemas, waswas, bahkan gamang soal masa depan. Keduanya sering datang berbarengan, dan tak jarang bercampur dalam satu tubuh. Bayangkan wajah pemuda Kota Probolinggo: di satu sisi mereka punya energi yang berlimpah, tapi di sisi lain mereka juga terhimpit oleh realitas kota kecil yang kadang terasa terlalu sempit untuk mimpi-mimpi besar.
Kota Probolinggo, bagi banyak orang Jawa Timur, mungkin bukan nama pertama yang muncul ketika menyebut kota dengan geliat anak mudanya. Malang sudah punya citra kota pelajar sekaligus basis komunitas kreatif. Surabaya sudah kadung jadi pusat urban modern yang menggaungkan startup, festival musik, dan ekosistem digital. Bahkan Banyuwangi sudah bertransformasi dengan jargon “Sunrise of Java”-nya yang dielu-elukan ke mana-mana. Lalu Probolinggo?
Ya, Probolinggo tetap Probolinggo: kota pelabuhan yang sering hanya disebut sepintas lalu ketika orang bicara tentang Bromo, atau sekadar tempat transit kereta api sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur. Itu saja sudah cukup menjelaskan betapa kota ini punya kompleks cemas tersendiri di mata pemudanya: kota yang indah, punya potensi, tapi sering diabaikan.
Nongkrong, warkop, dan laptop sebagai ritual
Mari jujur. Kalau kita jalan-jalan sore di Probolinggo, terutama di sekitar jalan utama atau kawasan kampus, kita akan menemukan banyak pemuda nongkrong. Nongkrong di warung kopi dengan setia ditemani wifi, atau nongkrong di pinggir jalan dengan gitar akustik seadanya. Ada yang sibuk mengetik di laptop, entah sedang menulis tugas kuliah atau sedang coba bikin konten untuk YouTube dan Instagram. Ada yang berdiskusi penuh semangat, seolah-olah warung kopi itu ruang sidang PBB mini.
Di balik itu semua sebenarnya ada denyut kehidupan yang nyata. Pemuda Probolinggo punya energi. Mereka membentuk komunitas musik indie, bikin film pendek dengan kamera seadanya, menggelar acara literasi di pojok kota, sampai bikin usaha rintisan yang mencoba peruntungan lewat jualan online. Mereka mungkin kalah modal, kalah akses, tapi tidak kalah semangat.
Hanya saja, energi itu sering terhenti di tembok besar bernama “tidak ada ruang”. Kota ini memang mempercantik diri: taman kota dipenuhi lampu warna-warni, alun-alun dipercantik, mural-mural menghiasi tembok. Tapi bagi pemuda, fasilitas itu kadang hanya tampak seperti etalase yang indah, bukan ruang nyata untuk berkarya.
Kalau mau bikin gigs musik, misalnya, izin bisa ribetnya minta ampun. Kalau mau bikin pameran seni, akses gedung publik bisa susah. Dan, kalau mau bikin komunitas literasi, fasilitas minim. Pada akhirnya, banyak pemuda memilih jalan pintas: ya sudah, nongkrong lagi saja, sambil berharap keajaiban datang dari kopi saset.
Probolinggo bersolek, tapi pemuda jadi penonton
Belakangan, pemerintah kota memang tampak rajin bersolek. Probolinggo punya wajah baru: alun-alun yang instagramable, event-event festival tahunan, sampai jargon smart city yang selalu digembar-gemborkan. Dari luar, semua tampak menjanjikan.
Tapi pertanyaannya: untuk siapa semua ini? Pemuda justru sering merasa ditempatkan hanya sebagai penonton. Ketika ada festival besar, mereka dilibatkan sekadar jadi panitia teknis atau pengisi acara dadakan. Tapi ketika bicara soal perencanaan kota, soal bagaimana ekosistem kreatif dibangun, suara mereka jarang terdengar.
Ironis sekali. Pemerintah kota begitu sibuk “memoles wajah” untuk menyambut investor dan turis, tapi lupa memberi ruang hidup yang sehat bagi anak mudanya. Kota terasa lebih ramah pada tamu ketimbang pada warganya sendiri.
Tak heran, banyak pemuda merasa harapan mereka sering tak diindahkan. Mereka hanya disuguhi etalase: lihatlah, kota ini indah! Kota ini modern! Tapi di balik itu, kesempatan untuk tumbuh bersama kota masih minim.
Harapan yang sederhana
Padahal, kalau ditanya, harapan pemuda Probolinggo sederhana. Mereka ingin ruang berkarya yang benar-benar hidup. Ruang publik yang tidak hanya jadi tempat selfie, tapi juga jadi tempat tumbuhnya gagasan. Akses untuk usaha kecil yang tidak selalu dibenturkan dengan birokrasi. Kesempatan pendidikan dan pekerjaan yang lebih luas, supaya mereka tidak selalu merasa kota ini hanya tempat singgah sebelum merantau.
Mereka tidak ingin dipandang sebelah mata. Mereka ingin kota ini melihat mereka sebagai aset, bukan beban. Sebagai subjek pembangunan, bukan objek yang hanya dipakai ketika butuh.
Pemuda, Kota, dan Dilema Cinta Tak Dibalas
Tapi ya itu tadi: rasa cemas selalu ada. Banyak anak muda yang akhirnya memilih pergi. Mereka kuliah di Malang, Surabaya, atau luar Jawa, lalu tidak kembali. Bagi mereka, Probolinggo terlalu sempit untuk ambisi besar. Kota ini jadi rumah yang hangat tapi tidak bisa memberi nafkah mimpi.
Cemas yang paling terasa adalah: siapa yang akan menjaga denyut kota ini kalau semua pemuda potensial justru hengkang? Kota bisa bersolek secantik apa pun, tapi kalau anak mudanya tidak merasa betah, maka yang tersisa hanya bangunan tanpa jiwa.
Di titik inilah “cemas harap” jadi dilema khas pemuda Probolinggo. Mereka punya energi, tapi sering tidak punya panggung. Mereka punya mimpi, tapi jalannya terjal. Dan, mereka punya cinta pada kota, tapi cinta itu sering tak dibalas.
Banyak yang bertahan karena cinta. Mereka tetap menggelar acara musik meski audiensnya bisa dihitung dengan jari. Mereka tetap menulis puisi meski hanya dibaca segelintir orang. Pun, mereka tetap membangun komunitas meski tanpa dukungan dana. Itu semua dilakukan karena rasa sayang pada kota.
Tapi lama-lama cinta juga bisa lelah kalau tidak pernah diakui. Apalagi kalau cinta itu hanya dibalas dengan jargon, brosur pariwisata, atau baliho program pemerintah. Pemuda bisa patah hati, lalu memilih pergi.
Cemas harap yang tak pernah padam di Probolinggo
Namun, seperti kata pepatah lama, pemuda memang makhluk yang tidak pernah benar-benar putus asa. Mereka bisa cemas, tapi juga bisa menemukan harapan dari hal-hal kecil. Dari gigs musik di garasi rumah, dari kelas literasi di ruang tamu, dari komunitas kecil yang berkumpul di warkop. Dari hal-hal kecil itu, mereka menjaga bara agar tidak padam.
Barangkali, di sela rasa cemas itu, ada harapan yang diam-diam tumbuh: bahwa suatu hari kota ini akan berubah. Bahwa pemerintah kota akan benar-benar melihat mereka sebagai aset. Bahwa Probolinggo tidak lagi hanya jadi tempat transit, tapi jadi rumah yang ramah untuk mimpi.
Sampai hari itu datang, pemuda Probolinggo akan terus hidup dengan dilema cemas harap. Mereka cemas akan masa depan, tapi tetap berharap pada kemungkinan. Mereka cemas pada kota yang terasa sempit, tapi tetap berharap kota ini bisa memberi ruang. Dan, mereka cemas pada cinta yang tak terbalas, tapi tetap berharap suatu hari cinta itu akan diakui.
Dan barangkali, justru di titik itulah letak kekuatan pemuda: mereka bisa cemas sekaligus berharap dalam satu nafas.
Penulis: N.A. Tohirin
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Probolinggo Itu Kota di Jawa Timur, dan Kami Bukan Orang Madura meski Pakai Logat Madura
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
